Menyatu dengan Alam dalam Secangkir Kopi

Kopi robusta, arabika, dan cemilan tradisional khas Kedai Kopi Pak Rohmat


Saya tak bisa menceritakan bagaimana rasa kopinya, karena saya bukanlah kopi holic. Bagi saya semua kopi enak, tak perlu berbagai filosofi untuk menikmatinya. Yang terpenting bukanlah kopi apa yang diminum, tapi bersama siapa kita menikmati dan apa yang diobrolkan. Karena itu saya sering memaknai ngopi; ‘ngobrol pintar’.


Jenuh dengan suasana warung kopi di kota, saya mencoba mencari tempat ngopi dengan nuansa berbeda. Sebuah kedai kopi di Samigaluh, Kulon Progo menarik perhatian saya ketika berselancar di dunia digital. Kedai Kopi Menoreh Pak Rohmat namanya. Setelah melihat ulasan-ulasannya di internet, akhirnya tekad saya bulat untuk menyambangi bersama seorang kawan yang datang jauh dari kota seberang. Jauh-jauh dia datang ke Yogya hanya untuk menemani saya ngopi (mungkin saya yang terlalu PeDe, heuheu).

Perjalanan ke Kedai Kopi Pak Rohmat memakan waktu sekitar satu setengah jam dari pusat Kota Jogja. Memasuki Wilayah Kulon Progo jalan mulai berkelok dan naik turun. Motor Mio saya meraung-raung ketika menaklukan tanjakan sepanjang Jalan Boro dengan beban dua orang di atasnya. Meski begitu, pemandangan perbukitan di kanan-kiri jalan serta udara segar khas pegunungan membuat perjalanan panjang kami terasa menyenangkan.

Sampai di lokasi, tidak ada tampilan kedai kopi sama sekali dari depan. Hanya ada gapura kecil bertulis nama kedai milik Pak Rohmat itu. Agak ragu, apakah benar ini tempat yang ada di internet.

Monggo Mas, mlebet mawon,” sambut seorang pria yang belakangan saya tahu namanya Pak Rohmat sembari menjabat tangan kami.

Ternyata kedai kopi terletak di belakang rumah. Ada beberapa gazebo dari kayu dan bambu di sana. Suasana sepi, hanya ada kami berdua pelanggan saat itu. Seorang wanita paruh baya mengantar daftar menu dengan senyum ramah. Cukup bervariasi menu yang tersedia, mulai dari minuman, cemilan, sampai makanan berat. Harganya juga cukup bersahabat dengan kantong mahasiswa seperti saya ketika diterpa paceklik tanggal tua. Setelah bertanya-tanya tentang menu yang ada, akhirnya kami memesan segelas kopi arabika, robusta, dan cemilan tradisional.

Sambil menanti pesanan datang, kami menikmati nuansa pegunungan yang asri. Suasana yang tenang karena jauh dari hiruk pikuk kota, serta sejuknya udara khas pedesaan sangat cocok untuk melepas lelah. Syaraf-syaraf yang tegang karena cukup ekstremnya medan perlahan mulai melemas. Karena agak lama menunggu pesanan, obrolan kami ngalor-ngidul, tentang apa saja di sekitar kami, tentang hal-hal kecil yang kerap dianggap remeh, tentang anak kucing yang ikut naik ke meja kami, tentang rambut kriwil anak tetangga, dan semua hal sederhana. Tentunya bukan tentang cinta, karena kita semua tahu, tak ada cinta yang sederhana. Lagi pula, sejak dulu saya begitu payah soal cinta.

Sebuah momen langka bagi saya. Karena selama ini setiap nongkrong di warung kopi bersama kawan-kawan, hal-hal yang dibrolkan melulu tentang bobroknya pemerintah, penggusuran seenaknya atas nama pembangunan, sesatnya birokrat kampus, hilang arahnya pergerakan mahasiswa, tentang mahasiswa yang semakin tak ideologis, sampai pada bagaimana menyelamatkan dunia dari ancaman freemason dan illuminaty.  Bukan tema obrolan yang sederhana, bukan?

Kedai Kopi Pak Rohmat juga memiliki kebun kopi sendiri. Dari kedai, kita bisa menjangkaunya dalam waktu dua puluh menit berjalan kaki. Sayangnya kami tak sempat ke kebun karena masih ada hal yang harus diselesaikan. Selain bisa menikmati kopi khas Pegunungan Menoreh di tempat, kita juga bisa membeli kopi kemasan yang juga diproduksi sendiri oleh kedai kopi milik Pak Rohmat itu.

Pesanan yang ditunggu akhirnya datang. Dua cangkir kopi dan cemilan-cemilan seperti kacang rebus, tahu isi, singkong rebus, dan gebleg (makanan khas Kulon Progo) semakin melengkapi obrolan kami. Saya tak bisa menceritakan bagaimana rasa kopinya, karena saya bukanlah kopi holic. Bagi saya semua kopi enak, tak perlu berbagai filosofi untuk menikmatinya. Yang terpenting bukanlah kopi apa yang diminum, tapi bersama siapa kita menikmati dan apa yang diobrolkan. Karena itu saya sering memaknai ngopi; ‘ngobrol pintar’. Bukan obrolannya orang-orang pintar. Tapi obrolan orang-orang bodoh yang masih setia belajar supaya agak pintar. Karena masih merasa bodoh, maka saya banyak ngobrol tentang berbagai hal supaya bisa sedikit agak pintar.


Satu hal yang saya dapatkan di sini, tapi tidak di tempat lain, saya seolah bisa meniadakan diri dan menyatu bersama alam yang bersahaja dalam secangkir kopi. Tak terpikir lagi untuk memakan bangkai orang lain yang membuat saya merasa lebih suci. Keangkuhan yang kerap membutakan mata lebur oleh kesederhanaan. Tidak butuh waktu lama untuk kami menadaskan semua yang disajikan. Padahal sebelum berangkat kami sudah menandaskan seporsi pecel madiun di depan Amplaz. Bahkan sisa-sisa sambal kacangnya masih sangat lekat di lidah. Seperti kenangan saat bersamanya yang masih lekat di lubuk hati terdalam. Tak terasa matahari mulai condong ke barat. Tandanya kami harus segera bergegas untuk kembali tenggelam dan bergelut dengan ingar bingar kehidupan kota. [ ]

Komentar