Absenteisme

Sumber gambar: Pixabay

KASIH, senja di ufuk barat kian menua. Satu hari lagi waktu ku habiskan dalam penantian. Penantian tanpa kepastian. Mega-mega terlihat tenang, juga anggun. Cahaya kemerahan membuatnya kian cantik. Menampilkan lukisan abstrak namun penuh pesan illahiah. Dulu senja itulah yang selalu kau nanti. Kau memandanginya tanpa bosan. Dan aku selalu di sampingmu, diam, tanpa suara. Tak sekalipun kau palingkan wajahmu dari arah terbenamnya surya. Tak sedikitpun nyaliku menegurmu. Kadang sebersit senyum terukir di bibirmu. Kadang kemurungan yang tampak. Kadang matamu memerah, menyimpan amarah yang siap membakar dan menghancurkan apapun. Tak jarang juga kau tatap senja yang semakin menua itu dengan pandangan kosong. Ya. Kosong, Kekasih. Hingga senja itu hilang sama sekali, ditelan kegelapan malam.

Senja usai, tak berarti usai pula aktivitasmu. Kini kau rebahkan tubuh mungilmu itu menatap langit. Aku ikut rebah. Alam memang selalu bisa membuat siapapun takjub akan keindahannya. Habis senja, gemerlap bintang yang mengelilingi rembulan hadir menggantikannya. Kau masih sama, kadang tampak bahagia, murung, marah, juga kosong. Terus kau pandangi mahakarya Tuhan itu. 

Wajahmu tampak semakin sayu dibalut gelap malam yang semakin menghitam.
Aku sendiri lebih menyukai malam, daripada fajar, siang, atau senja. Di tengah gelapnya malam aku bisa menyembunyikan setiap kesedihan. Menyamarkan setiap kegelisahan. Dan mengaburkan, hemm… kemunafikan. Aku memang tidak percaya diri. Aku selalu tampil sebagai orang lain. Dan hanya di malam harilah aku bisa melepas topeng yang menutupi wajahku sejak fajar hingga senja. Hanya malam, waktu dimana aku menjadi benar-benar aku.

Kau masih tetap memandangi bintang-bintang itu. Seperti tiada bosan. Seakan tak mau kehilangan sedetikpun. Hawa dingin yang mulai menusuk sama sekali tak kau hiraukan. Hingga akhirnya aku terlelap.

Sepertiga malam aku terbangun. Dan kau masih tetap terjaga. Kau masih saja menatap langit itu. Kali ini dengan wajah hikmat. Terpikir olehku untuk menawarkanmu secangkir teh. Atau setoples kecil biskuit. Tapi aku tak punya nyali. Kau tampak begitu menikmati aktivitasmu. Dan aku tak berani mengganggu, meski sebatas menawarkan secangkir teh hangat. Ku putuskan untuk kembali menemanimu menikmati sisa malam. Masih dalam diam. Hingga fajar subuh mulai menyingsing. Warna rembulan yang mulai pucat itu semakin pudar, tersamarkan semburat merah di ufuk timur. Kilaunya menerpa wajah pucatmu yang tampak lelah. Sangat lelah. Saat itu aku merasa sangat iba, Kasih. Ingin kutawarkan bantal, atau selimut, atau bahu. Tapi apalah daya, untuk menyapa saja aku gagu. Untuk menanyakan keadaanmu saja aku membisu. Tak punya nyali, Kasih. Aku hanya mampu mengutuk diriku atas ketidakmampuanku itu. Hingga akhirnya kaupun tertidur. Perlahan ku selimutkan kain putih untuk menjagamu tetap dalam kehangatan. Pelan, sangat pelan. Takut sampai membangunkanmu. Dan akupun ikut tertidur di sampingmu. Dulu, Kasih. Dulu.

**[ ]**

AKU terbangun. Tapi kau sudah tidak di sampingku. Ah, aku lupa. Aku lupa kalau kau telah pergi. Perih memang jika teringat itu. Tapi bukan berarti kehidupan harus berhenti. Aku bangun dari ranjang. Berjalan menuju dapur untuk menjereng air. Menantinya mendidih, ku tinggal ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi. Selesai, air tepat mendidih. Ku buat secangkir kopi untuk sarapan. Dulu kau yang selalu membuatkan kopi ini. Secangkir kopi hitam, kental, tidak terlalu manis, airnya tiga perempat cangkir. Kau begitu hafal, Kasih.

Ku bawa kopi ke teras depan. Ku letakkan di atas meja santai. Aku duduk. Kursi sampingku kosong. Dulu kaulah yang selalu mengisi kursi itu. Kita selalu menikmati pagi bersama. Aku menyeruput kopi, dan kau teh hangat. Dalam hal minuman kita memang berbeda. Tapi itu sama sekali bukan masalah. Kita tetap bisa menikmati pagi dengan begitu mesra.

Lihatlah, Kasih, teratai itu mekar kembali. Dulu kau sangat mengagumi keindahannya. Kau puji keanggunannya. Kau takjub pada kesuciannya. Tapi kini tak ada lagi yang peduli pada teratai itu. Tak ada lagi yang mengaguminya. Tak ada lagi yang takjub padanya seperti ketakjubanmu. Tak ada lagi yang membersihkan kolam tempatnya bertakhta. Tak ada lagi yang betah memandanginya sampai berjam-jam. Kini teratai merah muda itu tak ada yang mengurus. Telantar. Dibiarkan tumbuh ala kadarnya. Tapi dia tetap terlihat anggun. Elegan dalam kesuciannya.

**[ ]**

KASIH, kini aku tak pernah lagi berpuisi. Bagaimana bisa aku berpuisi, jika kau yang selalu menjadi sajak-sajak dalam puisiku telah tiada. Bagaimana bisa aku bersyair, jika kau yang menjadi jiwa dalam setiap kataku telah pergi. Tak pernah lagi kuukir kata-kata indah seperti dulu. Bagaimana mungkin aku bisa merangkai kata-kata indah, jika keindahan itu sendiri telah lenyap. Dan kini aku sadar, bahwa kaulah puisi itu.

Sempat aku mencoba bersyair lagi. Tapi yang mampu ku tulis hanyalah sajak-sajak kosong tanpa makna. Aku coba berpuisi lagi. Namun tetap saja, hanya sederetan kata tanpa keindahan yang kuhasilkan. Dan sejak itu kuputuskan untuk tidak lagi menuliskan apapun.

**[ ]**

MASIH ingatkah kau, Kasih? Kita pernah bersama berziarah ke Mekah. Tanah yang disucikan seluruh umat muslim di dunia. Kau tampak kagum pada kemegahan bangunan-bangunannya. Kau asyik mengamati setiap jengkal arsitektur gedung-gedung di sana. Pernah juga saat kita berlibur di Vatikan, kau kagumi setiap sudut, takjub pada setiap sisi bangunan di sana. Terutama Katedral Basilika yang terkenal itu. Kau seakan sedang merekam setiap sudut yang ada. Begitu juga saat di Borobudur. Tepat di puncak, di Arupadathu. Kau amati dengan seksama setiap sudut bangunan yang berbentuk bunga teratai itu. Serius. Aku tak berani berucap barang sekata. Hingga kau mengucapkan kalimat yang cukup mencengangkan.

“Ternyata agama itu hanya sekadar simbol,”

Sebenarnya aku begitu kaget, Kasih. Ingin aku tanyakan alasanmu berkata seperti itu. Tapi lagi-lagi lidahku kelu. Akhirnya hanya mampu kubalas pernyataan mengejutkanmu itu dengan senyum yang agak terpaksa.

**[ ]**

MAAFKAN aku, Kasih. Tak mampu menjadi sosok sempurna saat kita bersama. Tapi aku tidak mengingkari janjiku. Aku memang tak pernah menjanjikan kebahagiaan. Tapi aku berjanji untuk selalu ada saat kau dirundung kesedihan. Sampai kesedihan itu hilang, digantikan kebahagiaan. Aku tak pernah berjanji untuk menjadi teman ngobrol yang baik untukmu. Juga menjadi teman senda guraumu. Tapi aku berjanji untuk selalu menemani diammu. Aku tak pernah berjanji untuk mengubah sepimu. Tapi aku berjanji untuk menikmati sepi bersama denganmu. Aku bukan Rama yang dengan kurang ajar meragukan kesucian Sinta. Aku juga bukan Rahwana yang menculik Sinta demi memenuhi nafsunya, atas nama cinta. Tapi aku adalah cinta itu sendiri, Kasih. Pejamkan matamu dengan khusyuk dalam keheningan. Saat itulah kau dapat rasakan diriku bersemayam di dalam jiwamu.

**[ ]**

AKU tak mampu menutupi kerinduan ini, Kasih. Setiap ada yang menyebut namamu, getaran dahsyat selalu melanda jiwa ini. Hati demi hati hadir, namun kau tetap tak terganti. Orang-orang silih berganti menghiburku dari kemurungan ini. Tapi keceriaan tak kunjung ku rasakan, butir-butirnya tak juga hadir mengusir sendu. Mereka kini mulai berubah. Tidak lagi menghiburku, berganti cacian-cacian yang kudapatkan. Tapi, peduli apa aku pada mereka?! Mereka hanya angin lalu bagiku. Ku putuskan untuk menjadi pengelana. Ku putuskan untuk menjadi penggantimu, merawat teratai-teratai merah muda itu. Ku putuskan untuk memandangi senja. Memandangi langit malam gemerlap bintang. Ku putuskan untuk tetap menantimu dalam sunyi. Sembari menanti balasan surat darimu yang selalu ku kirimkan lewat lantunan doa. [ ]


Komentar