Sumber gambar: Pixabay
Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa tua (sibuk mencari kesibukan) kadang terlintas macam-macam imajinasi dalam pikiran saya. Sembari menanti revisi dosen pembimbing yang sudah seminggu lebih tak kunjung ada kabar, pikiran saya bergerilya ke mana-mana. Suatu hari, ketika sedang berhalwat di pojokan perpustakaan, habitat para mahasiswa tua, muncul sebuah imajinasi liar. Saya membayangkan bagaimana jika saya menjadi seorang wakil dekan, supaya lebih enak, selanjutnya saya akan pakai istilah WeDe.
Kalau
saya diberikan pilihan, tentu saya akan memilih menjadi WeDe yang menangani
urusan mahasiswa. Dengan begitu saya bisa menjalin hubungan yang intim dengan
mahasiswa saya. Merebut hati mahasiswa tentu tidak mudah, apa lagi hati para
mahasiswi. Saya harus bersaing ketat dengan dua lelaki yang sudah lebih dulu
merebut hati mereka, siapa lagi kalau bukan Fahri dan Dilan. Tapi dengan
menjadi WeDe bagian kemahasiswaan, saya memiliki momen untuk menjadi idola baru
mereka, bukan hanya mahasiswi, tapi juga para mahasiswa. Tentunya bukan dengan
cara menjadi dosen di luar negeri yang sangat dermawan dan sempurna bagai nabi,
atau dengan kata-kata gombal layaknya Dilan. Melainkan dengan
kebijakan-kebijakan yang pro mahasiswa, dan tentunya dengan sedikit pencitraan.
Kita tidak bisa memungkiri betapa pentingnya sebuah pencitraan, karena tanpa
pencitraan Jokowi tidak mungkin terpilih menjadi presiden, Eh.
Untuk
menjadi idola baru mahasiswa dan mahasiswi, saya akan membuat program-program
yang menyenangkan, yang sifatnya hore-hore, tentunya menyesuaikan karakter
mahasiswa zaman now.
Ya sebutlah outbound,
camping, pelatihan softskill, berbagai
seminar atau kajian pra nikah, konser musik, dan berbagai kegiatan lain. Supaya
menambah antusiasme mahasiswa, akan saya buatkan sertifikat dan disediakan
jamuan yang menjanjikan. Kalau masih belum cukup, akan saya tambah dengan
memberi uang saku bagi setiap peserta yang hadir. Kalau masih belum cukup juga,
akan saya gunakan cara-cara fasis ala penguasa orba, saya wajibkan semua ikut,
kalau tidak akan saya ancam tidak bisa wisuda, heuheuheu (ketawa jahat).
Saya
yakin dengan berbagai program yang menyenangkan seperti itu akan membuat hati
para mahasiswa luluh. Saya juga tidak akan melupakan kekuatan media, saya akan
gunakan berbagai media untuk memberitakan kesuksesan program-program yang saya
buat. Dengan begitu nama saya akan semakin harum di kalangan mahasiswa, juga di
kalangan para pejabat atasan saya. Sekali dayung dua pulau terlampaui, sekali
untung dua pulau terbeli, kata Gus Mus. heuheuheu.
Tapi
itu semua tidak akan mulus selama masih ada beberapa kelompok atau organisasi
mahasiswa yang bandel, membangkang, seperti pers mahasiswa misalnya. Bagi
mereka semua yang saya lakukan pasti salah. Mereka menjelma menjadi
mahasiswa-mahasiswa yang sok idealis, anti kemapanan tapi takut kelaparan,
heuheu. Untuk menangani mahasiswa-mahasiswa radikal seperti itu saya sudah
menyiapkan rencana yang matang. Pertama saya akan mengiming-imingi mereka
dengan sejumlah uang, saya yakin seidealis apapun mahasiswa, di depan uang
mereka sama saja.
Tapi
tidak ada makan malam yang gratis, begitupun tidak ada uang yang cuma-cuma.
Dengan uang itu mereka akan saya sibukkan dengan berbagai program atau kegiatan
sebagai mahar, tentunya kegiatan yang mendukung program-program saya. Misalnya
pelatihan-pelatihan kepenulisan, tapi bukan nulis berita atau opini berisi
kritikan, melainkan nulis skripsi. Hey, mahasiswa tua, dengerin ini,
SKRIPSI ! Program yang sangat mulia bukan? Bisa juga mereka saya wajibkan
memberitakan keberhasilan-keberhasilan berbagai program yang saya buat. Jika
ternyata tidak ada yang berhasil, saya tidak mau tahu, pokoknya dibuat
sedemikian rupa supaya terlihat berhasil. Heuheuheu.
Jika
dengan cara itu tidak bisa membungkam mereka, terpaksa saya gunakan cara-cara
yang agak kejam. Pertama akan saya sebarkan isu-isu jelek tentang mereka,
tentang mereka yang ingin merusak nama baik kampus, anti pembangunan, anti
kemajuan, menyebarkan berita-berita hoax dan
abal-abal, pokoknya bagaimana supaya masyarakat kampus memandang pers mahasiswa
sebagai media sesat dan halal daging serta darahnya. Akan saya cari-cari
kesalahan mereka dari ujung kaki sampai ujung rambut, tidak akan ada yang
terlewat meski sekecil apapun. Dengan begitu pelan tapi pasti saya dapat
membunuh karakter mereka.
Namun
saya tahu benar karakter mahasiswa-mahasiswa seperti mereka, semakin ditekan
mereka akan semakin berontak. Jika dengan cara kejam pertama tidak juga menuai
hasil, saya akan lakukan cara berikutnya yang lebih kasar, persetan dengan
kebijaksanaan, yang penting adalah jabatan saya aman dan citra saya akan
semakin gemilang. Saya akan mulai memotong anggaran mereka sedikit demi
sedikit, selain dapat mengganggu kinerja hal ini juga bisa memecah fokus
mereka. Fokus mereka untuk mengkritik berbagai kebijakan yang saya buat akan
terpecah dengan bagaimana mendapatkan uang supaya organisasi bisa tetap jalan.
Sebagai WeDe, saya memiliki kuasa penuh untuk menentukan anggaran
kemahasiswaan. Dengan alasan lembaga yang kurang produktif, saya bisa menyunat
anggaran lembaga tersebut sesuka hati saya. Betapa bahagianya jadi WeDe.
Jika
masih saja mereka bandel, akan saya panggil satu demi satu anggotanya, terutama
mereka-mereka yang kritis untuk ngobrol santai, jika tidak bisa diajak santai,
terpaksa saya tempuh jalan intimidasi yang agak kasar. Saya bisa mengancam
mereka dengan menyulitkan kegiatan akademik mereka. Sebagai WeDe, saya tentu
memiliki kuasa atas dosen-dosen mereka supaya mempersulit perkuliahan anak-anak
bandel itu. Outputnya anak-anak yang saya panggil akan melunak, atau sekalian
keluar dari organisasi pembangkang itu. Dengan begitu ketajaman organisasi akan
semakin tumpul, dan jalan saya sebagai WeDe akan semakin mulus.
Langkah-langkah
yang saya lakukan akan membunuh mereka secara perlahan. Saya tidak akan
langsung mematikan mereka, misal dengan membekukan atau membredelnya. Itu
terlalu berrisiko mengingat kekuatan di belakang mereka cukup besar, bisa
panjang urusannya. Bisa-bisa citra saya sebagai WeDe budiman dan bestari yang
sudah saya bangun susah payah ambyar begitu
saja. Karena itu saya memilih jalan pelan namun pasti, sehingga tidak terlalu
memancing perhatian publik. Dengan strategi-strategi seperti itu saya sangat
yakin impian saya menjadi idola baru bagi mahasiswa dan mahasiswi sekaligus
disayang atasan akan tercapai dengan mulus. Heuheuheu.
Namun
tiba-tiba saya mengingat sesuatu, bahwa semua strategi yang saya angan-angankan
itu ternyata sudah dilakukan oleh WeDe yang tengah menjabat sekarang, tentu
bukan WeDe di kampus pendidikan terbaik di Indonesia ini. Melainkan WeDe yang
menjabat di kampus negeri khayangan sana. Ternyata saya kalah progresif dan
revolusioner, bahkan dibandingkan pejabat produk orde baru. Kebahagiaan yang
saya dapat dari imajinasi seketika lenyap. Sedih, kecewa, marah, semua jadi
satu, rasanya seperti sedang patah hati karena ditinggal nikah wanita yang
sangat dicintai namun belum sempat mengungkapkan cinta kepadanya. Seketika itu
juga saya menghilangkan keinginan dan harapan menjadi WeDe, dan kembali ke
cita-cita lama, menjadi petani sukses yang humanis dengan sampingan sebagai
pengusaha properti dan agen haji serta umroh, heuheuheu.
Tiba-tiba
ada sesuatu yang menggoyang-goyang pundak saya.
“Mas,
bangun mas, bangun, sudah mau tutup” sayup-sayup terdengar lembut suara wanita.
Ternyata
cukup lama saya tertidur. Perpustakaan sudah mulai gelap, semua lampu sudah
mati. Saya tinggal sendiri di pojokan ruangan. Bahkan dalam tidur saya bisa
berimajinasi. Untung bukan kamu yang jadi imajinasi saya, karena saya tak mau
kau jadi sekadar imajinasi, saya mau kau jadi kenyataan di dalam hidup saya.
Heuheuheu. [ ]
Yogya,
2 Februari 18.