Mungkin banyak yang sudah tidak asing dengan Kampung Tarung, kampung yang masih teguh memegang tradisi dan kearifan lokal meski tengah dikepung modernisasi. Filosofi hidup masyarakatnya begitu tinggi, ini yang membuat saya kagum dengan Kampung Tarung. Mereka menolak menjual rumah dan tanah tanpa syarat, ketika kebanyakan orang hobi menjual tanah, apalagi ketika akan digunakan untuk proyek pemerintah, harga tanah bisa berlipat ganda. Bahkan untuk menebang pohon mereka harus mengadakan semacam upacara adat, menurut mereka di dalam setiap pohon ada jiwa yang hidup. Sedangkan dalam masyarakat yang ngakunya modern, mereka membabat hutan seenaknya hanya untuk kepentingan perut. Giliran alam ngamuk, Tuhan yang dikutuk.
.
.
Tidak
hanya itu, mereka juga membagi rumahnya manjadi tiga tingkat. Tingkat paling
atas digunakan untuk leluhur dan lumbung pangan, bagian tengah untuk mereka
yang masih hidup, dan bagian bawah untuk kandang ternak. Ini melambangkan
kearifan berbagi ruang antara manusia dengan mahluk hidup lain. Sedangkan kita
yg mengaku modern ini setiap hari sibuk saling sikut dan injak untuk merampas
hak orang lain.
.
.
Filosofi
midup mereka bukan hanya tentang hidup, tapi juga tentang kematian. Kuburan
mereka berada di depan rumah, karena mereka percaya kematian itu selalu ada di
depan, bukan di belakang.
.
.
Masalah beragama, mereka juga memeluk agama warisan leluhur. Tidak setiap hari mereka sembahyang, hanya di saat-saat tertentu saja mereka sembahyang formal seperti umat beragama lain. Sembahyang mereka adalah dengan melakukan kebaikan, dengan menebar kasih dan cinta pada semua. Ketika mereka yang mengaku paling beragama, mengaku paling suci dan paling benar sibuk melegitimasi kebenaran satu sama lain dengan saling mengkafirkan diantaranya. Dan yang jelas mereka tak pernah menggunakan agamanya untuk alat politik pencari kekuasaan. Dan namanya juga negara, anak-anak yang sekolah dipaksa untuk memeluk agama formal yang diakui dalam UU. Negara emang gitu sukanya. Tempat ibadah mereka merupakan bangunan kecil nan sederhana dari jerami. Mereka tak perlu bangunan megah untuk menyembah Tuhan, untuk mempercayai Tuhan mereka cukup beribadah dengan ketulusan. Sementara agama-agama formal lain tengah berlomba-lomba membangun tempat ibadah yang megah satu sama lain. Ah, indah sekali filosofi hidup mereka.
Masalah beragama, mereka juga memeluk agama warisan leluhur. Tidak setiap hari mereka sembahyang, hanya di saat-saat tertentu saja mereka sembahyang formal seperti umat beragama lain. Sembahyang mereka adalah dengan melakukan kebaikan, dengan menebar kasih dan cinta pada semua. Ketika mereka yang mengaku paling beragama, mengaku paling suci dan paling benar sibuk melegitimasi kebenaran satu sama lain dengan saling mengkafirkan diantaranya. Dan yang jelas mereka tak pernah menggunakan agamanya untuk alat politik pencari kekuasaan. Dan namanya juga negara, anak-anak yang sekolah dipaksa untuk memeluk agama formal yang diakui dalam UU. Negara emang gitu sukanya. Tempat ibadah mereka merupakan bangunan kecil nan sederhana dari jerami. Mereka tak perlu bangunan megah untuk menyembah Tuhan, untuk mempercayai Tuhan mereka cukup beribadah dengan ketulusan. Sementara agama-agama formal lain tengah berlomba-lomba membangun tempat ibadah yang megah satu sama lain. Ah, indah sekali filosofi hidup mereka.
Komentar
Posting Komentar