ESA


Sumber gambar: festivalofsacredmusic.org

Sinta, ketika aku sedang merenung di tengah gerimis yang baru mulai reda ini, Marmarti datang menghampiriku,

Katanya mencintaimu itu memang sebuah takdir, karena itu aku tak bisa mengelak. Sebab mencintaimu adalah sebuah keniscayaan bagiku yang telah terukir dalam kitab kehidupan bahkan jauh sebelum kita diturunkan ke Mayapada ini. Meski memilikimu adalah sebuah utopia untukku.

Kata Marmarti lagi, tak ada yang salah dengan cinta, yang keliru adalah kita yang terlalu berharap padanya;
Yang salah adallah kita yang menganggap mencintai itu sama dengan memiliki.

Bagiku sekarang persetan dengan kata memiliki, Sinta. Toh ruh yang bersemayam dalam tubuh rama tak tentu ruh rama. Bisa saja ruh ku, atau ruh lainnya yang kini menjadi teman di harimu. Bukankah jasadku saja bukan milikku, Sinta? Lancang sekali aku berpikir untuk memilikimu.

Ah, maaf Sinta, yang satu ini bukan perkataan Marmarti, tapi keempat saudaraku yang dulu pernah kuceritakan itu. Entah kenapa, setiap membicarakanmu si Supiah, Malwamah, Amarah, dan Mutmainah selalu rebutan nimbrung dalam pembicaraan. Maaf Sinta, maaf, mereka memang suka begitu. Aku tahu, kau pasti sudah paham betul dengan tabiat keempat saudaraku itu.


Komentar