Sumber gambar: Pixabay
Sila pertama ideologi bangsa Indonesia, membuat setiap warga negara wajib memiliki atau memeluk suatu agama yang di percayai kebenarannya. Agama yang boleh dianut ialah agama yang sudah tercatat dan diakui oleh negara. Ketika menjalankan kewajiban beragama ada beberapa tipe, seperti orang yang sekadar menggugurkan kewajibannya saja, yang penting kolom agama di KTP-nya terisi. Ada juga yang benar-benar menjalankan perintah agama sebaik-baiknya, bahkan sampai ada yang fanatik dengan agama atau alirannya.
Semakin
terkikisnya nilai-nilai toleransi antar umat beragama sering kali membuat umat
antar agama saling menyalahkan, saling menyesatkan antar kepercayaan, bahkan
konflik beratasnamakan agama sempat melahirkan tragedi berdarah seperti tragedi
Poso yang lukanya masih membekas dalam hati. Ada juga kasus Tolikara, serta
yang masih sangat hangat yaitu kasus pembakaran gereja di Aceh. Semua tragedi
tersebut diduga dilatarbelakangi oleh konflik antar umat beragama. Fenomena ini
menunjukkan masih rendahnya rasa toleransi yang dimiliki oleh pemeluk agama di
negeri ini. Tidak hanya antar agama, konflik juga sering terjadi dalam satu
agama, dimana banyak yang saling mengafirkan antar aliran sesama agama.
Orang-orang
macam inilah yang disebut-sebut sibuk beragama namun lupa untuk bertuhan. Sibuk
dengan aturan dan perintah agamanya namun tidak paham esensi dalam beragama
yaitu menjalankan perintah Tuhan. Sibuk menyesatkan agama lain namun lupa akan
perintah Tuhan untuk menjaga dan melindungi satu sama lain demi terciptanya
kedamaian. Sibuk menyalahkan aliran orang lain namun lupa bahwa setiap orang
memiliki perspektif yang berbeda mengenai suatu ajaran.
Bukankah
Tuhan tidak pernah mengajarkan hal semacam itu? Tuhan mana yang mengajarkan
umatnya untuk saling menyalahkan ajaran lain? Tuhan siapa yang mengajarkan
untuk menyesatkan dan mengafirkan kepercayaan lain? Bukankah Tuhan mengajarkan
untuk selalu menjaga perdamaian? Bukankah Tuhan mengajarkan untuk saling menjaga
dan menyayangi sesama?
Sangat
disesalkan memang fenomena semacam itu. Egoisme dalam bergama itu sangat
berbahaya bagi keutuhan bangsa, karena dapat merobek sendi-sendi persatuan
dalam bernegara. Oleh karena itu, sikap dewasa dari tiap individu sangat
diperlukan dalam beragama. Mamahami bahwa setiap orang memiliki pandangan yang
berbeda-beda terhadap sesuatu merupakan sebuah keniscayaan. Rasa toleransi
harus kembali dipupuk, supaya dapat tumbuh subur dalam setiap individu umat
beragama.
Dapat
menerima setiap perbedaan sebagai suatu anugerah, suatu rahmat yang akan
memperkaya budaya yang dimiliki. Dengan memiliki pola pikir seperti itu niscaya
dapat menjadi umat beragama yang cerdas, karena sesungguhnya umat beragaman
memang harus cerdas dalam beragama. Sehingga tidak akan terjadi lagi sentimen
antar umat beragama, konflik-konflik pemicu tragedi dan pergolakan yang
membahayakan persatuan akan dapat diredam, sehingga dapat tercipta perdamaian
dan kerukunan dalam kehidupan beragama.