Sumber gambar: Pixabay
Idul Fitri (lebaran) selalu jadi hari spesial bagi masyarakat Indonesia. Wajar saja, negara ini berpenduduk muslim terbesar dunia. Pada momen itu kita jamak mendengar kata lebaran, ketupat, opor ayam, baju baru, dan mudik. Ada yang memandang positif, banyak pula yang menilainya dari kacamata negatif. Sesuatu yang wajar, sebuah keseimbangan namanya, ada yin pasti ada yang.
Idul
Fitri disebut-sebut sebagai hari kemenangan melawan hawa nafsu selama satu
bulan lewat puasa di Bulan Ramadhan. Meski yang benar-benar tahu bagaimana
proses berpuasa adalah masing-masing individu dengan Tuhannya. Namun banyak
yang lengah dengan makna kemenangan ini. Lebaran seharusnya jadi momen yang
tepat untuk meng-upgrade cara beragama dan bertuhan, justru malah jadi pintu
gerbang kebebasan.
Bebas
makan dan minum sepuasnya, bebas umbar nafsu. Jadilah tingkat konsumsi
meningkat sehingga harga kebutuhan sembako naik meroket. Pasien klinik,
puskesmas, dan rumah sakit meningkat. Kalau sudah seperti itu apa yang salah.
Tapi biarlah, minimal masyarakat dapat menikmati momen kebahagiaan yang mungkin
jarang dirasakan. Biarlah momen lebaran menjadi pelipur lara, menjadi pelarian
sejenak, obat kekecewaan karena cinta kepada negara yang selalu bertepuk
sebelah tangan.
Ada
lagi yaitu baju baru. Banyak yang pro dan kontra dengan budaya yang satu ini.
Budaya yang mengharuskan baju baru saat lebaran tidak menjadi masalah asal ada
uang. Namun masalah kalau tidak ada uang, istilahnya kaum proletar, kasta
sudra. Alih-alih menjadi hari kemenangan, momen lebaran justru menjadi beban
tambahan bagi mereka jika dipikir sangat. Sehingga muncul anggapan kalau
lebaran menjadi ajang pamer. Karena itu banyak yang menilai lebaran tidak lagi
dimaknai secara substansial.
Namun
ada juga yang melihat budaya baju baru ini dengan perspektif positif. Misalnya
berputarnya roda perekonomian di tengah masyarakat. Mereka beli baju baru juga
tidak selamanya pamer, tapi karena ingin tampil sebaik mungkin di hari yang
suci. Mereka tidak ingin sulitnya hidup yang mereka alami terlihat oleh orang
lain, demi menghormati hari raya umat muslim itu. Karena Idul Fitri adalah hari
penuh kebahagiaan, begitu pandangan masyarakat kita. Jika di momen lain ada
hari Ibu, hari kasih sayang, hari penuh cinta, di hari lebaran semua itu dapat
kita rasakan. Benar-benar membahagiakan bukan?
Satu
lagi yang menjadi kebiasaan lebaran setiap tahunnya, yaitu mudik. Sudah menjadi
keharusan bagi masyarakat kita untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat.
Bahkan jumlah orang yang mudik menjadi salah satu indikator utama ramai atau
tidaknya lebaran. Masyarakat yang bekerja di tanah rantau mulai dari buruh
pabrik, buruh bangunan, hingga direktur di perusahaan besar berbondong-bondong
tanpa dikomando, kembali ke tanah ibunda untuk melepas kangen, sungkeman,
nyadran, atau sekadar berlibur melepas penat dari hiruk pikuk dunia kerja.
Budaya
mudik ini juga tidak lepas dari kiritikan haters, mulai dari penyebab
meningkatnya kecelakaan, meningkatnya budaya konsumerisme dan pamer kemewahan
hingga dibela-bela berutang. Apalagi kenangan buruk tahun lalu masih membekas
dalam ingatan, dimana ada belasan pemudik yang tewas dalam jebakan macet di
Brebes. Kisah yang tragis, niat hati pulang ke kampung halaman, malah pulang ke
Sang Pencipta untuk selama-lamanya. Lagi-lagi rakyat (red– pemudik) yang
disalahkan.
Budaya
mudik juga dijadikan kambing hitam penyebab naiknya biaya transportasi. Sekali
lagi memang tidak salah, tapi tidak etis juga kalau kita hanya melihat sisi
negatifnya saja. Emha Ainun Najib pernah menulis dalam bukunya Sedang Tuhan pun
Cemburu, bahwa orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia pada
tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.
Mudik itu menandakan komitmen batin manusia terhadap sangkan paran (red– asal
dan tujuan) dirinya. Orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar
kehidupan, seperti komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam,
semesta, yang berpangkal atau berujung pada Tuhan melalui runtutan akar
historisnya. Jika kita melihat makna mudik dari perspektif Emha, bukankah
terlihat begitu suci.
Berbagai
budaya lebaran memang banyak menjadi pro dan kontra, namun biarlah, itu
bertanda hidupnya demokrasi di dalam masyarakat. Terlepas dari itu, tidak ada
salahnya mengikuti budaya lebaran, asalkan tidak meninggalkan makna lebaran
yang substansial. Pasca lebaran sudah seharusnya ada peningkatan kualitas
hidup, baik secara lahiriah maupun batiniah. Lebaran tidak hanya memakai baju
baru, namun juga semangat baru untuk beribadah dan menghadapi kehidupan di hari
esok. Budaya mudik sebisa mungkin tidak hanya kembali ke kampung halaman, tapi
juga kembali ke keadaan yang suci, seperti saat baru dilahirkan. Seperti yang
pernah dikatakan Emha Ainun Najib, bahwa kembali kepada Tuhan sang maha
pencipta adalah mudik yang sejati.