Jangan Melulu Salahkan Guru, Rendahnya Mutu Pendidikan Adalah Salah Universitas


Sumber gambar: Pixabay



Masalah pendidikan seakan tak pernah menemui titik terang, ia semakin rumit ibarat benang kusut. Rezim demi rezim berganti, kebijakan pun berganti, namun keadaanya tak banyak berubah. Bukannya membaik, seiring berjalannya waktu pendidikan kita malah semakin terpuruk dalam lorong gelap tak berujung. Mulai dari rendahnya mutu pendidikan, ketidakmerataan, komersialisasi pendidikan, kelatahan para pemegang kebijakan, gonta-ganti kurikulum, dan permasalahan lain masih menjadi bagian dari kompleksnya masalah yang dialami dunia pendidikan kita.

Tapi saya tidak sedang ingin membahas itu semua, karena saya harus membuat minimal lima jilid buku setebal 600-an halaman hanya untuk menjabarkan semua masalah pendidikan kita. Saya hanya akan fokus pada masalah rendahnya mutu pendidikan, hanya masalah, itupun hanya saya ambil dari salah satu kasus, mungkin jika Tuhan menghendaki, di lain kesempatan saya akan mencoba menguraikan solusinya.

Berbicara tentang masalah pendidikan, saya teringat saat berdebat dengan salah satu profesor bidang pendidikan di dalam perkuliahan. Kebetulan saya kuliah di salah satu kampus kependidikan, yang katanya terbaik di negeri ini, jadi cukup banyak orang-orang di sekitar saya yang berkecimpung di dunia pendidikan.

Ketika tengah membahas tentang pengembangan kurikulum, sang profesor dengan penuh semangat berceramah, menurutnya yang jadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan kita adalah guru. Panjang lebar dia uraikan kekurangan-kekurangan guru yang akhirnya menyebabkan mutu pendidikan kita jadi terpuruk. Misalnya rendahnya kompetansi guru tentang materi yang diajarkannya, semakin banyak guru yang malas-malasan, tidak bekerja sepenuh hati. Guru yang tidak bisa menguasai kelas, tidak bisa menciptakan suasana kelas yang cair dan menyenangkan, guru yang tidak bisa memahami pribadi peserta didik satu per satu. Dan lain sebagainya, pokoknya yang salah adalah guru, itu kesimpulan yang saya dapatkan dari ceramahnya itu.

Di tengah rasa kantuk yang teramat sangat saya mencoba untuk mengajukan pertanyaan ketika dipersilakan. Pertanyaan yang saya lontarkan sebenarnya sangat sederhana. “Apabila menurut Anda rendahnya mutu pendidikan kita karena guru, mengapa kita berhenti di sana? Mengapa kita tidak mencoba untuk menariknya lagi ke hulu, siapa yang mendidik dan mencetak guru-guru itu?,” tanya saya yang langsung memicu perhatian dari semua teman-teman kelas.

Mendapat pertanyaan tak terduga seperti itu, rona wajah sang profesor seketika itu juga berubah. Dia tampak berpikir keras untuk memberikan jawaban, atau lebih tepat pembelaan. Setelah berhasil menenangkan diri, sang profesor tersenyum, lalu melanjutkan ceramah yang muter-muter, hingga kuliah berakhir tak dapat saya ambil intinya sama sekali. Tampaknya Sang Profesor menerapkan jurus jitu untuk memenangkan sebuah perdebatan, yaitu “ketika kau mulai terpojok dalam sebuah perdebatan, maka katakanlah sesuatu yang membuat lawanmu bingung, bahkan kau sendiri tak paham apa yang kau katakan”.

Dari kasus ini saya menyimpulkan bahwa kampus tak pernah melakukan intropeksi, setiap hari para intelektual di dalamnya berdiskusi dan berdebat tentang masalah pendidikan, tanpa sadar kalau merekalah sumber dari masalah itu. Terlalu naif jika kita berpendapat gurulah penyebab semua ini, dan terlalu bodoh jika kita mengutuki para pemegang kebijakan. Mengapa bodoh? Karena hanya orang bodoh yang masih berharap pada negara, apalagi pada pejabatnya.

Proses pembelajaran juga dilakukan alakadarnya, gaya ceramah konvensioanal yang sudah diterapkan ketika sekolah pertama didirikan sejak 150 tahun lalu masih jadi andalan. Lebih parahnya, pembelajaran benar-benar menumpulkan intelektual mahasiswa. Ambil contoh sederhana saja pada kasus yang saya ceritakan di atas, apakah cara mengajar dosen sekelas profesor di atas sudah mencerminkan guru yang baik? Nyatanya dua pertiga mahasiswa yang mengikuti kuliahnya tampak menempelkan kepalanya ke atas meja menahan kantuk, sementara sisanya sudah pulas terlelap. Dan yang membuat saya heran, sang profesor tanpa rasa malu mencela kinerja para guru. Profesor tak sadar kalau yang sedang dididiknya itu adalah calon pendidik. Ia tak ingat dengan pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Sedangkan siswa-siswi di tingkat sekolah bukan sekadar murid, tapi muridnya murid. Bayangkan bagaimana cara mereka kencing nanti!

Kampus hanya fokus mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya, tanpa dipikirkan masak-masak mau diapakan mereka setelah itu. Semakin banyak mahasiswanya, semakin banyak pula pundi-pundi Rupiah yang mereka miliki, padahal fasilitas tidak memadai. Hasilnya hanya aspek kuantitatif yang dikejar, IPK tinggi meski kompetensi payah, katrol mengatrol nilai, lulus secepat mungkin demi mengejar akreditasi institusi. Sedangkan bagaimana dengan aspek kualitatif? Wassalam.

Kampus tidak terlalu memikirkan kompetensi lulusan yang notabene adalah para calon guru. Orientasi mereka memang bukan lagi mendidik para calon pendidik, tapi lebih untuk mencari keuntungan kapital. Sekarang coba tanyakan kepada mahasiswa kependidikan, apa itu pendidik, apa itu pendidikan, apa bedanya mendidik dan mengajar, dan apa kriteria seorang pendidik yang baik? Sebagai calon pendidik yang baik, pertanyaan macam itu seharusnya sudah mendarah daging, dan tak perlu berpikir lama untuk menjawabnya.

Dalam persoalan ini kampus atau universitas, khususnya kampus kependidikan harusnya mau legowo untuk bercermin. Melakukan instropeksi dan evaluasi diri, bukan malah sibuk mencari kambing hitam. Dengan begitu mereka akan tahu, kalau masalah pendidikan yang selama ini mereka bahas sumbernya adalah mereka sendiri. Kalau sudah seperti itu, masihkah kampus punya muka untuk menuding pihak lain atas rendahnya mutu pendidikan kita?


Karangmalang, 20 Oktober 2017