Sumber gambar: Pixabay
“Pokoknya kalian harus fokus pada karya tulis ilmiah. Kalian juga harus ikut membantu mahasiswa-mahasiswa dalam mengerjakan skripsi. Kalian ini organisasi mahasiswa yang bergerak dalam bidang tulis menulis,” begitu kata salah satu birokrat kampus yang sampai saat ini masih ngotot dengan pendiriannya untuk mengubah fungsi dan peran pers mahasiswa. Kalimat di atas masih menggema jelas dalam ingatan saya, bukan karena sangat bijak, melainkan kalimat tersebut selalu dikatakan setiap saya bertemu dengannya, di manapun, dalam kegiatan apapun. Pernah saya berusaha menjelaskan peran dan fungsi pers kampus, supaya tidak melulu disamakan dengan organisasi yang suka mbarang (berburu piala-red). Namun semuanya mentah, usaha saya untuk memberikan pencerahan dan mengeluarkannya dari pola pikir sesat sama sekali tidak membuahkan hasil.
Ada
pepatah mengatakan orang yang paling rugi adalah mereka yang dungu, sedangkan
orang yang paling celaka adalah mereka yang sudah dungu ngeyelan pula.
Saya pikir birokrat kampus tersebut sudah masuk ke dalam kategori celaka.
Karena itu, saya selalu berusaha mencerdaskannya, baik dengan cara-cara halus,
sampai dengan cara-cara yang sangat halus. Saya memaklumi, beliau pasti kurang membaca,
kalaupun membaca pasti tidak lebih dari proposal karya tulis ilmiah, proposal
kegiatan, mentok berita kriminal di media-media bayaran. Wajar, beliau orang
sibuk, mana ada waktu untuk sekadar membaca buku, apalagi berburu buku
di Shoping, Terban, toko buku bekas, atau pameran di berbagai toko buku lainnya
seperti yang sering dilakukan kawan-kawan persma. Kadang saya lelah juga
berurusan dengan para jamaah pentol korekiyah seperti
mereka, karena digesek sedikit saja langsung terbakar. Tapi karena cinta dan
kasih yang tulus kepada mereka membuat jalan jihad ini terasa ringan. Benar
kata para pujangga, cinta membuat semua menjadi indah, bahkan hal yang paling
kelam sekalipun.
Kembali
ke judul, saya rasa sudah cukup panjang prolognya, cukup sudah basa-basinya.
Sebenarnya saya tidak mau terlalu peduli dengan lomba atau piala yang tampaknya
telah menjadi ideologi beberapa birokrat kampus. Akan tetapi makin ke sini,
kesesatan pola pikir tersebut makin parah, terlalu jauh sudah mereka tersesat.
Karena itu, saya sebagai “anak” merasa terpanggil untuk membawa kembali
orang-orang demikian ke pola pikir yang sehat. Baiklah, saya akui ada sisi
positifnya perlombaan-perlombaan yang diikuti kampus, salah satunya adalah
untuk mendongkrak nama kampus, kemudian, emmm, saya tidak bisa menyebutkan
lagi, ya sudahlah ya.
Saya
juga mendukung kampus mengikuti perlombaan-perlombaan di berbagai bidang,
asalkan sesuai dengan porsinya. Maksudnya tidak usah terlalu ngoyo, semua
mahasiswa harus ikut lomba, semua organisasi mahasiswa harus berorientasi pada
piala, Pak, ngono
ya ngono, nanging ojo ngono-ngono. Begitu boleh saja, tapi jangan
begitu-begitu banget lah. Bukannya Tuhan juga tidak menyukai sesuatu yang
berlebihan? Maaf lho,
bukan bermaksud menceramahi, dalam urusan agama saya yakin Anda jauh lebih
pandai.
Saya
pikir apa yang dilakukan birokrat sudah keterlaluan, sangat membatasi mahasiswa
untuk berkreasi sesuai dengan bidangnya, memaksa semua untuk seragam.
Benar-benar telah melenceng dari trah Ki
Hajar, dimana pendidikan haruslah bersifat memanusiakan manusia atau
humanisasi. Begitupun dengan yang diajarkan Paolo Freire. Organisasi mahasiswa
memiliki nama yang berbeda-beda karena peran dan fungsi yang berbeda-beda pula.
Jika semuanya diseragamkan, lalu untuk apa lagi ada lembaga A, ormawa S, dan
UKM U. Sekali lagi Pak, Tuhan itu sengaja menciptakan mahluknya secara
berbeda-beda, mengapa? Supaya bisa saling melengkapi satu sama lain. Jika ada
orang yang berusaha untuk menyeragamkan semua, itu artinya dia telah makar atas
kuasa Tuhan. Na’udzubillah Pak.
Silakan
kampanye berbagai bentuk perlombaan, tapi jangan pernah paksa mereka yang tidak
berminat untuk berlomba, dan memiliki passion berbeda. Cukup satu lembaga saja
yang peran dan fungsi utamanya telah terdistorsi, yang kini lebih dikenal
dengan ormawa spesialis lomba daripada ormawa yang melakukan riset dan
eksperimen untuk memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat. Jangan paksa
ormawa yang berorientasi pada keimanan dan ketaqwaan mahasiswa untuk ikut
berubah menjadi ormawa pemburu piala. Jangan paksa lembaga yang berorientasi
pada peningkatan rasa cinta kepada alam semesta untuk ikut-ikutan mbarang di
berbagai ajang kompetisi. Jangan paksa UKM yang berperan sebagai kontrol sosial
untuk ikut-ikutan menjadi pabrik piala dan medali. Mereka berdiri bukan untuk
mengalahkan siapapun, bukan untuk berlomba dengan siapapun, bukan untuk berada
di atas siapapun. Mereka berdiri membawa ideologi dan perannya masing-masing,
tidak mencari kemenangan tapi juga pantang untuk kalah. Lawan mereka adalah
mereka sendiri, menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya adalah prioritas
utama, karena musuh terbesar seseorang sejatinya adalah diri mereka sendiri,
begitupun dengan organisasi.
Yang
masih mengherankan saya sampai saat ini, sebenarnya apa yang membuat para
birokrat itu sangat gila dengan yang namanya lomba? Apakah demi mewujudkan visi
kampus yang “Taqwa, Mandiri, Cendekia” itu? Lalu seberapa besar pengaruh
lomba-lomba yang sudah diikuti atas ketaqwaan mahasiswa dan semua civitas
akademika? Mengapa budaya copy paste masih
sangat subur di kalangan mahasiswa meski sudah melanglangbuana melakoni
berbagai kompetisi, dimana aspek kemandirian yang dimaksud? Cendekia? Omong
kosong jika untuk berpikir saja dibatasi, padahal kemerdekaan yang hakiki mesti
berawal dari kemerdekaan berpikir. Namun mengemukakan pendapat yang berbeda
sedikit saja sudah dituduh subversif.
Atau
untuk mewujudkan cita-cita luhur yang termuat dalam himne UNY, yang ditafsirkan
oleh musuh bebuyutan saya sejak maba <Edwin Widianto> dalam artikel
<Senda Gurau Lirik Himne>. Memang sih, hasil tafsirnya tidak
sahih, sebab sanadnya tidak langsung pada pencipta himne tersebut. Namun saya
pikir penafsiran tersebut cukup masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan,
sebab telah melewati proses dialektika yang cukup panjang, untuk konteks ini
saya sepakat dengan musuh saya tersebut. Sayangnya dalam himne UNY maupun hasil
penafsiran tersebut, sama sekali tidak disebutkan kata lomba maupun yang
berhubungan dengannya, baik secara tersurat maupun tersirat. Dari kajian
sederhana ini saya bisa menyimpulkan, bahwa obsesi terhadap perlombaan tersebut
sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha mewujudkan cita-cita yang
termuat dalam himne UNY.
Lalu
saya mencoba memutar otak, berusaha untuk lebih memahami pola pikir para
birokrat kampus tersebut. Ada kemungkinan lain yang saya dapatkan, tapi saya
tidak berani menjamin kebenaran dugaan ini. Kemungkinan tersebut adalah adanya
usaha menjilat atasan, bagaimanapun birokrat pasti punya atasan yang tidak
lepas dari bermacam kepentingan. Menjilat ini bisa karena demi sebuah bonus
yang dijanjikan, atau supaya tidak ditendang dari kursi jabatannya. Apapun
instruksi atasan pastilah akan dipatuhi, istilah orba-nya “asal bapak senang”.
Demi menyenangkan hati atasan, mereka bersedia melacurkan intelektualitas
mereka pada kesesatan-kesesatan yang sangat memalukan. Tapi sekali lagi ini
hanya sebuah dugaan, saya sendiri tidak berani menjamin kebenarannya, sebab
klarifikasi kepada pihak terkait belum sempat saya lakukan.
Saya
kira sudah cukup panjang tulisan yang arahnya tidak jelas ini, bukan karena
saya pandai berwacana, tapi karena saya selalu menemui masalah untuk
menyimpulkan dan mengakhiri sesuatu yang telah saya mulai. Saya tidak akan
menyimpulkan apapun dari tulisan ini, karena memang tidak ada yang perlu
disimpulkan. Terserah pembaca bagaimana menanggapi tulisan ini, saya sendiri
tidak yakin bisa lolos seleksi untuk diterbitkan di wartafeno.com. Intinya saya
pribadi tidak menolak berbagai macam kampanye perlombaan, tapi saya juga tidak
mendukung. Seperti yang saya katakana di atas, asalkan tahu porsinya saja,
karena apapun yang berlebih pasti tidak akan menjadi sebuah kebaikan. Bahkan di
mata wanita, terlalu baikpun menjadi sebuah masalah.
Jika
ditanya mengapa saya kurang antusias dengan segala bentuk perlombaan, itu
karena hidup saya terlalu berharga untuk mengikuti perlombaan-perlombaan materialistis
macam itu. Hakikat perlombaan bagi saya adalah menghadapi diri sendiri, karena
sesuatu yang paling penting untuk dikalahkan sejatinya terletak dalam diri
manusia itu sendiri. Saya tidak mencari kemenangan atas siapapun, tapi juga
pantang dengan kekalahan. Tidak usahlah ormawa-ormawa itu dipaksa untuk sejalan
semua, biarkan mereka berkembang sesuai dengan ideologi, peran, dan fungsinya
masing-masing. Saya yakin kok, mereka
tidak akan menyebarkan ajaran yang dapat membangkitkan PKI. Mereka sudah cukup
dewasa, sudah berdiri sejak belasan tahun yang lalu. Bukan ormawa karbitan
kemarin sore yang tidak ideologis, sehingga gampang disetir oleh berbagai
kepentingan. Selama tidak ada tindakan kriminal yang diperbuat, biarlah mereka
berkembang menjadi manusia yang seutuhnya.
dimuat
pertama kali di www.wartafeno.com