Sumber gambar: Pixabay
Musim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) sudah datang lagi, atau saya yang lupa, bahwa setiap waktu, sepanjang hari, bulan, dan tahun adalah musim PKM bagi kampus saya. Entahlah, yang pasti kampus sedang sangat gencar menyuarakan PKM, berbagai strategi dilakukan untuk dapat eksis, kalau bisa memonopoli semua medali kejuaraan, atau lebih tepat even tahunan Dikti itu. Sayangnya usaha yang dilakukan kampus kebanyakan bersifat instan, tidak ada terobosan-terobosan yang substansif dan revolusioner, melainkan hanya bersifat kulit. Misalnya dengan pelatihan-pelatihan ber-budget besar, namun acara alakadarnya, seolah-olah hanya mengejar penyerapan anggaran saja. Konsep acara tidak penting, yang penting terlaksana dan anggaran terserap, seperti itu kurang lebih. Sangat naif jika usaha semacam itu mengharap lebih, jauh panggang dari api. Pengorbanan tak sebanding dengan hasil yang diperoleh, kerja keras namun kurang cerdas.
Kampus
memang tidak pernah sayang mengeluarkan uang untuk hal yang satu ini, berapapun
yang dibutuhkan, asal itu untuk kepentingan PKM, pasti akan dicarikan, entah
itu dari uang simpanan atau uang yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk itu.
Paradigma birokrat kampus memang masih paradigma naif, yang menganggap semuanya
bisa didapat jika ada uang, mengultuskan uang namanya. Memanggap kekuatan uang
adalah kekuatan yang transenden. Memangnya mau ngurus pembuatan
SIM atau surat izin lain, ada uang ada jalan. Sayangnya dalam monteks ini hukum
itu tidak berlaku. Memangnya
aku lelaki murahan yang bisa kau beli cintanya dengan uang. Di
sini uang hanya menyumbang sedikit kontribusi saja, karena yang terpenting
adalah kamu bagaimana
membangun sebuah atmosfer perkuliahan yang dapat merangsang kreativitas
mahasiswa.
Adapun
cara lain yang dilakukan adalah dengan mewajibkan mahasiswa membuat proposal
PKM sebagai tugas mata kuliah. Sikap ini membuat saya semakin muak, bagaimana
tidak, seorang dosen yang cukup senior dan memegang sebuah jabatan, namun
pandangannya sangat pragmatis. Saat itu juga wibawanya sebagai dosen yang
dituakan jatuh di mata saya. Karena bagi saya orang-orang yang notabene
berlatar belakang intelektual tinggi namun tunduk atau bahkan turut
menyukseskan sistem yang melenceng tidak lebih dari seorang pelacur
intelektual. Tindakan melacurkan intelektual pada sistem itulah yang membuat
semakin langgengnya sistem sampah yang ada. Alih-alih menjadi jawara di even
dikti namun yang dihasilkan justru tumpukan proposal yang pantasnya masuk
keranjang sampah. Duh
dheek!!
Di
sini saya sama sekali tidak membenci PKM, jika melihat semangat awal yang
tertuang dalam visi dan tujuan yang dicita-citakan Dikti saya justru mendukung.
Saya menentang sistem yang diberlakukan kampus, yang seolah menghalalkan segala
cara untuk mencapai ambisinya itu. Saya kasihan dengan teman-teman mahasiswa
lainnya yang memiliki kesibukan lain, misal kerja part
time atau
menjadi aktivis organisasi. Tidak kebayang bagaimana
sibuknya mereka, saya saja yang memilih menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah
pulang-kuliah pulang –red)
tugas banyak yang mangkrak.
Bagaimana dengan mereka yang setelah kuliah harus kerja paruh waktu, ngurus organisasi,
ditambah lagi harus menyelesaikan deadline proposal
PKM. Seharusnya birokrat kampus sadar jika kesibukan mahasiswa berbeda-beda,
tidak hanya itu, interest setiap
orang juga tidak semua sama. Misalnya saya, lha wong ke
UNY mau kuliah kok malah
dijadikan alat pencetak proposal PKM. Bapak dan Ibu birokrat yang mulia, mbok
ngerti sedikit
perasaan saya yang ingin fokus kuliah demi lulus tepat waktu ini.
Berbicara
kreativitas adalah berbicara proses, tidak bisa dibangun dengan cara-cara
instan. Tidak dengan pelatihan formalitas, menggelontorkan anggaran yang besar,
apalagi mewajibkan semua mahasiswa membuat proposal PKM, bahkan satu mahasiswa
lima proposal sekalipun. Itu adalah cara-cara kuno, pemikiran yang konservatif
ala-ala pejabat produk orde baru. Menciptakan atmosfer perkuliahan yang dapat
merangsang kreativitas mahasiswa merupakan sebuah keniscayaan, seperti yang
sudah saya jelaskan di atas. Bagaimana caranya? Ya dimulai dulu dari hal-hal
kecil, misalnya metode mengajar dosen. Apakah dosen sudah mampu menerapkan
metode pembelajaran yang mampu merangsang kreativitas mahasiswanya? Atau justru
jarang masuk, sekali masuk mahasiswa diberi tugas, lalu ditinggal lagi setelah
mahasiswa mengisi kolom presensi yang kosong? Jika yang ada seperti demikian,
bagaimana mampu melahirkan kreator-kreator yang progresif dan visioner? Nafsu
besar, tenaga kurang namanya.
Tidak
bisa dipungkiri, UNY adalah kampus yang fokusnya pada pembentukan guru-guru
yang berkualitas. Janganlah rusak tujuan yang mulia itu dengan sikap dan
kebijakan-kebijakan latah. UNY akan dicari dan besar dengan sendirinya jika
mampu idealis, memegang teguh identitasnya, dan fokus dalam menciptakan kader-kader
pendidik yang berkualitas. Jangan menyalahi kodrat, mengejar yang tidak pasti.
Seperti yang dikatakan penulis sekaligus budayawan Emha Ainun Najib, “Nek
dadi pitik yo wis dadi pitik wae, ora usah ngayal dadi manuk. Timbang dadi
pitik ora kajen dadi manuk ora kelakon”. (Kalau jadi itik ya sudah jadi
itik saja, tidak usah menghayal jadi burung. Daripada jadi itik tidak dihargai
jadi burung tidak terwujud –red). Saran saja untuk para
birokrat kampus yang bestari, jangan hanya bacaan dan tontonannya saja yang
dewasa, pemikirannya juga harus di-upgrade supaya bisa lebih dewasa juga.