Sumber gambar: Pixabay
Kapitalisme pendidikan sudah lama menjadi bahan diskusi, apalagi di kalangan agen-agen intelektual bernama mahasiswa. Meski sudah lama, bukan berarti isu ini sudah basi dan tidak relevan lagi dijadikan topik untuk diskusi atau sekadar bahan obrolan sembari menanti Aa’ burjo membuat nasi telur favorit. Kapitalisme pendidikan nyatanya masih menjadi bahan obrolan yang mengasyikkan bagi sebagian mahasiswa, apalagi di masa-masa tahun ajaran baru seperti sekarang. Dimana biaya kuliah, yang sekarang bernama UKT selalu naik setiap tahun ajaran baru. Fenomena ini tentu membuat suasana diskusi di kalangan mahasiswa semakin panas, apalagi jika birokrat kampus mulai bertingkah lucu, misal membuat perjanjian dengan adek-adek maba untuk tidak menurunkan UKT, padahal maba saja belum tahu besaran UKT-nya. Sebuah konspirasi yang kejam, mengerikan, sekaligus menggelikan dari para pelacur intelektual saya pikir. Kebijakan seperti ini tentunya tidak terjadi di UNY, kampus saya tercinta. Tidak hanya asyik dijadikan bahan obrolan, fenomena UKT juga kerap memancing golongan mahasiswa yang masih memiliki darah revolusioner untuk melakukan perlawanan yang lebih keras, yaitu demonstrasi.
Perlawanan
dan penolakan terhadap UKT sendiri seharusnya tidak hanya dilakukan oleh
mahasiswa. Sebab tingginya UKT akan menyebabkan sebuah efek domino yang sangat
mengerikan, oleh karena itu perlu ada sebuah pergerakan yang terstruktur,
sistematis, dan masif dari semua lini masyarakat untuk memusnahkan virus yang
akan menggerogoti kedaulatan pendidikan di negeri ini. Kelas-kelas masyarakat
lain seperti Eneng dan Aa’ Burjo,
penjual pulsa, tukang fotocopy dan
penjual buku bajakan, penjual bensin eceran, sampai para tukang cukur rambut
juga harus turut berkontribusi melawan semua bentuk kapitalisasi pendidikan.
Kelas-kelas masyarakat itu adalah kelompok masyarakat yang paling dekat dengan
kehidupan mahasiswa. Perlawanan itu bukan hanya sebagai bentuk solidaritas
terhadap mahasiswa, tapi karena mereka juga akan terkena imbas dari naiknya
UKT.
Mungkin
hal ini terdengar lucu, mengada-ada, gatukisasi, atau
sekadar analisis cocokologi. Tapi ini benar adanya, yakinlah. Misalnya Eneng dan Aa’ burjo,
naiknya UKT mungkin tidak akan berpengaruh besar bagi mahasiswa-mahasiswi kelas
atas seperti anak bupati, pengusaha, ketua umum atau DPP partai politik, atau rektor.
Akan tetapi pelanggan burjo bukanlah dari mahasiswa kelas atas, melainkan
kalangan menengah ke bawah yang keadaan ekonominya masih labil. Mahasiswa
kalangan menengah ke bawah yang tadinya makan tiga kali sehari di burjo, akan
mengubah pola makannya, maksimal dua kali sehari, demi menghemat uang saku yang
sudah dipotong untuk nomboki biaya
kuliah. Yang tadinya minimal minumnya es teh atau es kopi, sekarang cukup
dengan air putih, mentok air es untuk mendinginkan hati yang panas karena
tingkah pemerintah yang semakin sewenang-wenang. Hal itu tentu akan membuat
laba Eneng dan Aa’ Burjo
menurun.
Bagi
penjual pulsa atau paket internet, naiknya UKT juga akan berakibat menurunnya
tingkat penjualan, sebab konsumen terbesar saat ini adalah mahasiswa. Mahasiswa
akan berpikir ulang untuk membeli pulsa atau paket internet, lebih baik pakai
jaringan wifi kampus,
bisa hemat 50 ribu buat makan di burjo. Dampak kenaikan UKT juga akan
berpengaruh pada penghasilan tukang fotocopy dan
penjual buku bajakan. Kalau penjual buku asli akan relatif lebih aman, sebab
mayoritas pelanggannya adalah kalangan mahasiswa kelas atas. Modul atau materi
yang seharusnya di-fotocopy sekarang cukup di foto
menggunakan smartphone yang
hampir semua sudah memilikinya. Sedangkan buku yang seharusnya beli (di toko
buku bajakan), mahasiswa akan lebih memilih pinjam, atau join, satu buku untuk
dua orang tau lebih. Seperti saat menggunakan buku paket waktu SD dulu, satu
buku untuk bersama. Ini lagi-lagi akan mengurangi penghasilan kedua profesi tersebut.
Tidak
sampai disitu, dampak kenaikan UKT juga semakin meluas menjangkit para tukang
cukur rambut. Naiknya UKT membuat komunitas gondes (gondrong
ndeso-red) semakin menjamur di kalangan mahaiwa. Uang sepuluh ribu menjadi
sangat sayang untuk membayar ongkos cukur. Akhirnya kini semakin banyak
mahasiswa berrambut gondrong berkeliaran di lingkugan kampus, dengan dalih
supaya terkesan sangar dan menyerupai aktivis. Otomatis ini akan membuat omzet
tukang cukur, wabil
khusus yang
berada di lingkungan kampus menurun. Oleh karena itu, berpartisipasi melawan
segala bentuk kapitalisme pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi para tukang
cukur.
Itu
baru beberapa contoh kelas masyarakat yang turut terkena imbas dari
kapitalisasi pendidikan. Masih banyak kelas masyarakat lain yang juga ikut
terkena imbasnya seperti buruh, petani, guru honorer, sampai penjual tahu
bulat. Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa kapitalisme pendidikan adalah
masalah bersama, musuh bersama, bukan hanya masalah mahasiswa dan golongan akademisi
saja. UKT adalah sebuah bentuk konspirasi licik dan kejam, yang akan
menyebabkan efek domino, sangat mengerikan. Rezeki memang sudah ada yang
mengatur, tetapi Tuhan juga akan mikir-mikir, apakah Dia sudi menurunkan
rizkinya kepada orang-orang malas, yang tidak mau berusaha dan apatis dengan
setiap penindasan? Silakan direnungkan sembari menanti Aa’ burjo
memasak nasi telur pesanan Anda.