Kebangsatan di Hari Selasa


Sumber gambar: Pixabay


Selepas menjalani hiruk pikuk perkuliahan selama sehari penuh, saya sempatkan diri untuk main ke sekretariat untuk sekadar melepas lelah sembari menikmati alunan musik indie di Youtube. Meski semester tidak bisa dikatakan muda lagi, namun saya masih ada tanggung jawab moral dan struktural di lembaga kecil itu, sehingga mau tidak mau saya harus sering-sering berkunjung ke sana. Ruang itu tampak semakin kecil dan sempit saja, juga semakin berantakan tak keruan. Tapi kata anak-anak persma, nuansa semacam itulah yang mencerminkan atmosfer intelektual suatu persma. 

Sampai di sana saya letakkan tas berat yang dari tadi menggantung di punggung. Saya lepas kemeja putih yang wajib dikenakan saat pembelajaran mikro. Saya gantungkan di belakang pintu bersama baju-baju lain yang entah milik siapa saja. Dengan malas saya duduk di kursi komputer yang kebetulan kosong. Saya nyalakan komputer, lalu klik dua kali pada ikon Mozila Firefox. Saya tulis www.youtube.com pada Address bar lalu tekan Enter. Muncullah halaman youtube yang sangat familiar dalam hari-hari saya. Pada kotak pencarian saya ketik ‘Frau-Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa’. Sebuah lagu yang direkomendasikan kawan cantik dan kiut saya ‘Fatima Justine Wilatikta’ yang membuat saya mulai jatuh cinta pada karya-karya mbak Frau.
Alunan merdu piano menggema dari speaker putih yang sudah mulai berganti warna menjadi kecokelatan. Saya bersandar pada kursi, mata saya pejamkan sembari menikamti suara renyah Frau yang menggemaskan. Baru beberapa menit saya menikmati kemesraan dengan Frau, seorang adik angkatan datang membawakan beberapa buah buletin terbitan LPM Ekspresi. Saya cukup tertarik, sebab isu yang diangkat terkait penyunatan anggaran kemahasiswaan. Tak perlu saya jelaskan persoalan penyunatan ini, sebab hanya akan membuka luka lama, heuheu.

Seperti yang sudah saya duga, buletin itu pasti memuat berbagai pernyataan WD III yang hipokrit dan sok bijak. Tidak kaget sama sekali, sebab alasan itulah yang selalu dijadikannya senjata untuk membela diri. Sebuah pernyataan orang dungu yang ngeyel dan tak mau belajar :D. Nggak usah baper :p

Yang membuat saya cukup naik pitam justru pernyataan salah seorang ketua lembaga mahasiswa yang notabene bertugas sebagai wakil mahasiswa, dimana ia harus mengadvokasi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa, termasuk ormawa tentunya. Namun bukannya memberikan pernyataan pengecaman terhadap kebijakan birokrat yang jelas-jelas tidak logis dan adil, ia justru menyatakan kalau lembaga yang dia pimpin netral dalam menanggapi masalah tersebut. Hal lain yang membuat saya tak terima adalah ia mengatasnamakan lembaga, dimana sayapun menjadi salah satu anggotanya. Pernyataannya benar-benar tidak mewakili pemikiran saya sebagai salah satu anggota lembaga tersebut. Untuk memadamkan api amarah yang semakin membara saya mencoba untuk nyebut, ‘Jan*cuk!!’. 

Jika apa-apa hanya bisa netral, jadi saja humas birokrat. Tidak usah mengaku sebagai lembaga yang mengakomodir dan memperjuangkan hak dan kepentingan mahasiswa. Saya teringat perkataan kawan lama saya ‘Triyo Handoko’ saat kami berdebat tentang organisasi ekstra kampus, dimana ia berkata ‘yang netral hanya tanah dan yang mati’. Tapi ia kan bukan tanah, meski dongengnya setiap manusia tercipta dari tanah, tapi dalam konteks ini ia bukanlah tanah. Mati? Saya rasa ia juga masih hidup, nyatanya masih bisa makan, masih bisa berkata juga kalau ia netral. Ataukah mungkin logikanya yang mati karena sudah digadaikan pada kepentingan birokrat? Atau mungkin ia sejenis spesies baru? Spesies yang merintih saat ditekan, namun menindas saat diberikan kekuasaan. Ah, entahlah, saya harus banyak diskusi lagi dengan kawan lama saya tadi. Saya hanya bisa berdoa, semoga orang-orang hipokrit macam itu tidak menjadi penguasa yang akan menindas dan menyengsarakan. Yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Itu saja sedikit cerita tentang kebangsatan di hari Selasa (18/4) yang saya alami.

Tabik,,