Ketika Harga Diri Kita tak Seberapa Dibandingkan Sepasang Sepatu


Sumber gambar: Igrid


Pasca membaca artikel Harly Yoga Pradana beberapa waktu lalu di salah satu media online tentang fesyen mahasiswa dan mahasiswi ISI, iseng saya sempatkan main ke ISI. Bermodal niat cuci mata observasi dan riset untuk membuktikan fesyen mahasiswa/i ISI memang se-ulala yang dikisahkan Mas Harly. Memasuki kawasan kampus saya agak kecewa, ekspektasi tak sesuai dengan yang saya saksikan di lapangan. Saya curiga, Mas Harly sedikit banyak telah membumbui dan melebih-lebihkan fakta dalam tulisannya. Apakah ISI sudah mengikuti tren fesyen kampus-kampus lain? Tanya saya dalam hati. Saya tetap huznudzan, mungkin saya datang di waktu yang kurang tepat. 

Meski begitu, saya masih menemukan sisa-sisa ke-ulala-an fesyen anak-anak ISI. Rambut gondrong, kaos oblong kedodoran yang entah sudah berapa hari tak dicuci, jeans lusuh robek-robek, sandal jepit, cukup menjadi data untuk saya menarik kesimpulan. Bahwa dibandingkan kampus-kampus lain yang pernah saya singgahi, tren anak-anak ISI-lah yang paling ulala.

Sebagai anak yang kuliah di kampus kependidikan, sebut saja UNY (banyak juga yang memelesetkan menjadi UNYIL (Universitas Negeri Yogyakarta IKIP Lama), atmosfer intelektual di ISI terlihat sangat berwarna di mata saya. Bagaimana tidak, di kampus saya warna yang ada hanya hitam dan putih (sebenarnya ada juga merah, kuning, dan hijau, tapi sekarang mereka sedang tiarap semua). Jarang sekali ada mahasiswa yang bergaya nyleneh dan nyentrik seperti anak-anak di ISI. Sehari-hari yang terlihat adalah pakaian hitam-putih ala pegawai magang Indomaret dan SPBU, batik, dan pakaian korsa (Mas Harly perlu tahu, kalau pakaian korsa juga sudah sangat nge-tren di kalangan mahasiswa UNY, bukan hanya di UGM). Oh iya, masih ada lagi fesyen yang sedang ngetren di kalangan anak-anak UNY, yaitu baju koko plus celana nggantung untuk cowok, serta jilbab besar beserta cadar dan seperangkatnya untuk cewek (atau lebih akrab dipanggil ukhty).

Dengan alasan sebagai kampus kependidikan, aturan fesyen di kampus saya dapat dikatakan sangat ketat, terutama saat kuliah. Sepatu dan kemeja merupakan pakaian wajib, malah kadang ada dosen yang mengharamkan celana jeans, dengan alasan kesopanan. Ya, di kampus saya indikator kesopanan memang lebih didominasi dengan gaya berpakaian.

Saya sendiri sempat beberapa kali diusir dari kelas karena kepergok mengenakan sandal jepit. Saat itu sepatu saya tertinggal di dalam sekretariat UKM yang masih terkunci, akhirnya saya nekat memakai sandal jepit ke dalam kelas. Sial, dewi fortuna sedang tidak berpihak, saya kepergok memakai sandal jepit ketika dosen menyuruh maju mengerjakan soal di papan tulis. Walhasil terjadi perdebatan yang cukup sengit, saya mencoba ngeles dengan berbagai argumen sekenanya, salah satunya “Menghadap Tuhan saja saya nyeker, kenapa hanya untuk kuliah diwajibkan untuk bersepatu?” atau “Anda mau mengajar saya, atau sepatu saya?” serta argumen-argumen lain yang sayangnya mental semua. Dalam konteks ini dosen adalah dewa, dengan tangan besinya yang otoriter, saya didepak dari dalam kelas. Saya putuskan untuk menuntaskan hasrat tidur yang belum tuntas, Puji Gusti, sekretariat sudah dibuka. Dari kejadian itu saya mendapat sebuah pelajaran, bahwa untuk dapat bolos secara elegan, saya cukup memakai sandal jepit saat kuliah. Dengan sedikit perdebatan sebagai kamuflase, setelah itu kita bisa meninggalkan kelas sembari membusungkan dada.

Tidak hanya saat kuliah, saya juga kerap dicekal dan diusir satpam dekanat maupun rektorat karena sandal jepit hitam merek Swalow, atau kaos oblong warna hitam polos. Seperti biasa, perdebatan sengit terjadi. Dengan argumen andalan “Pak Dekan mau bertemu dengan saya, bukan dengan sepatu atau kemeja saya” atau “Baik Pak, nanti saya akan sampaikan kepada Pak Rektor, kalau saya tidak bisa memenuhi undangan beliau karena dicekal oleh salah satu satpam” saya berhasil menghadapi berbagai hadangan itu. Namun tak jarang juga saya menemui satpam bebal, ia tak pernah ragu melakukan represi, daripada memancing keributan, saya putuskan untuk mengalah, mengingat juga badan saya yang kecil kurus. Heuheuheu.

Yang paling baru¸saya dicekal dari pelantikan ketua sebuah lembaga kemahasiswaan. Jauh-jauh dari Bantul (kebetulan saya sedang PPL di salah satu STM di daerah Bantul), saya tancap gas, memacu si biru, motor Mio saya supaya bisa datang tepat waktu. Menerobos kemacetan dan kebringasan lalulintas Jogja. Sampai di lokasi pelantikan tepat lima menit sebelum waktu yang tertera di undangan. Tapi ternyata pelaksanaan molor satu jam lebih, hanya karena menunggu kehadiran dekan. Saat hendak memasuki ruang pelantikan, ternyata semua yang ada di dalam bersepatu dan berjas almamater. Tak tahu ada aturan demikian, saya hanya memakai setelan celana bahan dan batik, khas pakaian mengajar guru. Saya juga hanya memakai sandal gunung, sepatu saya tinggal di sekolah untuk menghindari basah karena hujan. Dengan pakaian seperti itu saya sudah merasa sangat rapi.

Saat hendak masuk ruang pelantikan, ketua pelaksana memanggil saya, menahan karena saya tak memakai jas almamater. Setelah cukup lama debat, akhirnya saya mengalah, saya memakai jas teman saya yang berbaik hati berkenan meminjamkannya. Baru dua langkah memasuki ruangan, si ketua panitia kembali menahan saya, sebabnya bisa ditebak, saya dianggap tak sopan karena hanya memakai sandal. Perdebatan kembali terjadi, sebenarnya bisa saja saya terima bantuan kawan saya yang menawarkan sepatunya untuk saya pinjam juga, dan masalah selesai. Tapi saya sudah keburu jengah dengan perlakuan orang-orang yang katanya intelek ini. Saya merasa perjuangan saya menembus sumpeknya kota tak dihargai. Jas almamater dan sepasang sepatu ternyata lebih penting daripada kehadiran saya. Akhirnya saya menyuruh kawan saya untuk melepas sepatunya, kemudian saya juga melepas jas yang saya pakai. “Kalau seperti itu, kau lantik saja sepatu dan jas ini,” ujar saya kepada si ketua panitia. Lalu saya melenggang sembari menyalakan sebatang gudang garam, meninggalkan tempat sialan itu. Du du du du…

Bantul, 21 Oktober 2017