Sumber gambar: Pixabay
Masih jelas dalam ingatan betapa indah masa-masa awal masuk dunia permahasiswaan. Orasi-orasi yang membakar, pidato-pidato yang melambung-lambungkan mahasiswa, tulisan yang berapi-api sungguh mengobarkan bara di dada. Tidak heran ketika siswa di perguruan tinggi disematkan gelar maha. Ketika seorang orator menyebut mahasiswa sebagai agen perubahan, sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai tulang punggung bangsa dan negara, sungguh itu menjadi candu.
Namun
hal bertolak belakang saya temukan di kemudian hari. Ketika saya menemukan
banyak kelengkapan kampus yang menurut saya sangat menghina mahasiswa. Misalnya
sebuah tulisan ‘PARKIR YANG RAPI’ di tempat parkir, ‘TEMPAT SAMPAH’ atau
‘BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA’, ada lagi sebuah tulisan ‘SIRAM KLOSET SAMPAI
BERSIH SETELAH DIGUNAKAN’ di dalam toilet. Ini adalah sebuah pelecehan karena
menganggap mahasiswa, agen perubahan, tulang punggung bangsa dan negara tidak
tahu bagaimana cara parkir yang benar. Lebih parahnya lagi, mahasiswa dianggap
tidak tahu kalau sebuah tong yang berwarna oranye dan hijau (atau warna
lainnya) yang berbau busuk adalah tempat sampah dan didikte bagaimana membuang
sampah yang baik. Bahkan kampus juga merendahkan adab mahasiswa setelah buang
air dengan mendikte mahasiswa ketika ia selesai buang air. Bagaimana tidak
geram, bahkan sewaktu saya SD tidak sampai segitunya sistem mendikte saya.
Itu
baru di tempat-tempat umum, memasuki gedung kegiatan mahasiswa keheranan saya
semakin menjadi. Sebuah rak dari plastik memanjang bertingkat dua di atasnya
tertempel tulisan ‘TEMPAT SEPATU’. Bahkan di tempat yang katanya kawah
candradimuka-nya aktivis mahasiswa pun budaya pen-dikte-an sangat kental. Masuk
lagi ke dalam terpampang tulisan ‘CUCI PIRING/GELAS SENDIRI SETELAH
MENGGUNAKAN’ di atas sebuah dispenser. Ketika hendak sembahyang, di sebuah
lemari juga tertulis ‘KEMBALIKAN KEMBALI SAJADAH/MUKENA KE TEMPAT SEMULA’.
Apakah separah ini kesadaran mahasiswa? Batin saya. Apakah bahkan dari hal yang
sangat kecil, bahkan adik saya yang masih berusia sembilan tahun juga tahu,
harus diberitahukan kepada mahasiswa? Ini pelecehan namanya.
Untung
ketika itu bacaan saya belum sampai pada teori-teori Paolo Freire tentang
pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia. Budaya mendikte sangatlah jauh
dari konsep memanusiakan manusia. Karena ketika didikte si otak akan malas
untuk bekerja, dan ketika itu terjadi secara rutin, ya akibatnya You know what
I mean lah. Apalagi saya kuliah di UNY yang notabene kampus pendidikan,
seharusnya tidak asing dengan berbagai konsep dan filosofi pendidikan semacam
itu. Percayalah, siswa bukanlah kertas kosong, masing-masing dari mereka punya
sesuatu yang seharusnya bisa dikembangkan supaya mereka menjadi manusia yang
seutuhnya. CMIIW.
Sebulan,
dua bulan, tiga bulan hidup dalam dunia permahasiswaan akhirnya memberikan
pengertian kepada saya, bahwa apa yang dilakukan pengurus kampus dan pengurus
organisasi mahasiswa perihal dikte-mendikte tadi tidak sepenuhnya salah.
Perlahan saya mulai mengenali perangai mahasiswa. Saya mulai paham ketika
melihat banyak mahasiswa yang parkir seenaknya, meninggalkan bungkus siomay di
gazebo, membuang putung rokok sekenanya, memakai toilet tanpa mau membersihkan,
melihat sandal dan sepatu yang berserakan tak keruan meski sudah disediakan rak
sepatu, tidak merapikan alat ibadah lagi ke tempat semula, hanya mau mengotori
alat makan tanpa mau mencuci, dan hal-hal serupa yang seharusnya bukan lagi
menjadi masalah mahasiswa.
Melihat
kondisi demikian, saya pun sadar bahwa apa yang dikatakan oleh para orator
tentang mahasiswa adalah omong kosong belaka. Mana mungkin seorang agen
perubahan memiliki perangai demikian? Mana mungkin kita memasrahkan nasib
bangsa dan negara pada orang-orang yang bahkan mengurus hal kecil saja tidak
becus. Mau jadi apa negara ini? Mana mungkin orang-orang yang mengurus dirinya
sendiri saja tak mampu kita harapkan kontribusinya pada pengentasan kemiskinan
rakyat, membela rakyat dari penindasan aparat dan birokrat, apalagi meruntuhkan
sebuah tirani. Ketika dalam diskusi-diskusi para mahasiswa banyak menyinggung
reformasi, menyinggung peran kaum terpelajar dalam mengusir kolonial, dalam
hati saya tertawa geli bercampur jijik. Sampai kapan mereka akan terus onani
dalam imajinasi keindahan bayang-bayang masa lalu?
Hingga
suatu saat seorang kawan mengeluh pada saya, “Mas, saya heran, mahasiswa
sekarang ibadahnya rajin-rajin. Ketika terdengar suara adzan, mereka semua
langsung bergegas ambil wudhu untuk shalat berjamaah. Bahkan tidak jarang
mereka teriak-teriak mengingatkan mahasiswa lain yang masih asik Youtube-an,
nugas, main gitar, dan kegiatan-kegiatan duniawinya. Tapi kok ketika terjun
dalam dunia nyata, kepedulian dan kesadaran mereka terhadap lingkungan sosialnya
sangat rendah. Lalu ke mana perginya semua ibadah mereka itu?”
Saya
terdiam, sulit hendak menjawab apa. Tapi percayalah, tidak ada ibadah yang
sia-sia. Saya juga tak berani mengatakan ibadah mereka sia-sia. Pertama ibadah
saya sendiri masih berantakan, kedua saya ini bukan asisten-nya Tuhan. Tapi
bukankah substansi utama dari sebuah ibadah adalah bagaimana ibadah tersebut
bisa berdampak pada kehidupan nyata? Membuat si pelaku ibadah menjadi sosok
penolong, dermawan, sabar, mencintai lingkungan, kebersihan, dan sebagainya.
Bukankah dalam kitab suci juga disebutkan, bahwa orang yang beribadah itu akan
celaka, yaitu mereka yang beribadah namun tidak peduli dengan saudaranya yang
tergusur, masih memanipulasi laporan keuangan, masih makan bangkai teman sendiri,
dan yang pasti masih malas mencuci gelas dan piring setelah memakainya.
Dari
semua itu saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa dikte-an saja tidak cukup untuk
memberi tahu mahasiswa tentang hal yang sangat sederhana. Lalu, apa solusinya?
Terobosan apa yang bisa dilakukan untuk bisa menyadarkan mahasiswa? Entah! [ ]
Pertama
kali diterbitkan di wartafeno.com