Sumber gambar: Pixabay
“Dari fenomena ini ada dua hal menarik, pertama kita yang biasa dikritik sering tidak tepat waktu, menunda-nunda ibadah, ternyata dalam konteks berbuka puasa justru sangat disiplin”
Hari
ini adalah hari pertama puasa. Tak banyak yang berbeda dengan hari-hari saya
biasanya. Hanya saja saya harus bangun lebih pagi, sekadar untuk ngopidan
menghisap sebatang kretek. Siang hari saya lewati seperti
biasa, tidak ada yang spesial, kalau hanya perkara menahan lapar dan haus sudah
biasa bagi saya. Jalanan Jogja terlihat lebih lengang di pagi sampai siang
hari, warung dan toko sebagian besar tutup, terutama mereka yang menjual
makanan, sangat kontras dengan Jogja yang saya kenal selama ini.
Sore
hari beda lagi, jam dua siang jalanan mulai ramai, bahkan lebih ramai dari
biasanya. Makin mendekati maghrib, makin ramai dan sesak. Warung makanan,
minuman, atau takjil mulai bertebaran di sepanjang jalan. Pukul tiga sore aku
menelfon Ibu di kampung, sekadar untuk say hello dan
menanyakan kabar, serta basa-basi yang sudah tertebak polanya. “Sedang apa?
Kuliah tidak? Sudah makan belum? Pakai apa? Uang saku masih atau tidak?”. Namun
ada yang berbeda, saat saya tanya sedang apa, Ibu menjawab sedang masak, menyiapkan
buka puasa. Padahal saat itu baru pukul tiga, itu artinya masih sekitar tiga
jam lagi waktu berbuka puasa. Itu juga bukan kebiasaan Ibu saya, menyiapkan
makan malam biasanya Ia lakukan menjelang malam, atau paling awal menjelang
maghrib.
Memang,
saya pernah mendengar ceramah untuk mempercepat berbuka puasa apabila telah
waktunya. Apalagi berbuka puasa juga termasuk ibadah. Tidak heran jika
orang-oraang sudah menyiapkan hidangan berbuka, meski adzan maghrib masih
beberapa jam lagi. Menyusuri jalanan Jogja, semakin sore jalanan semakin penuh
sesak, terutama pada jam pulang kerja. Orang-orang berbondong – bondong,
cenderung tergesa-gesa, seakan tak sabar menikmati hidangan berbuka bersama
keluarga. Di budaya masyarakat kita memang banyak yang menjadikan berbuka puasa
menjadi momen penting yang sayang jika dilewatkan tanpa keluarga tercinta.
Menjelang
sore, sekitar jam lima saya masih menyusuri jalanan Jogja, menikmati romantisme
Kota Budaya di kala senja seperti biasa. Sepanjang jalan, rumah-rumah makan,
dari yang kecil sampai yang besar, sederhana sampai yang mewah, hampir semua
sudah penuh sesak dengan orang-orang yang hendak berbuka. Benar-benar kontras
dengan pemandangan pagi sampai siang tadi. Padahal masih ada satu jam lebih
waktu berbuka puasa tiba. Itu artinya ada satu jam waktu mereka terbuang untuk
menanti beduk tanda mereka boleh membatalkan puasanya.
Dari
fenomena ini ada dua hal menarik, pertama kita yang biasa dikritik sering tidak
tepat waktu, menunda-nunda ibadah, ternyata dalam konteks berbuka puasa justru
sangat disiplin. Jauh sebelum waktunya tiba, kita sudah disibukkan dengan
berbagai persiapan seperti masak atau membeli aneka makanan dan minuman sebagai
hidangan berbuka puasa. Jauh sebelum waktunya pula kita sudah berkumpul di
masjid, langgar, surau, rumah, sekolah, kantor, hingga restoran untuk menanti
bunyi beduk tanda tibanya adzan maghrib.
Sayangnya
berbeda lagi jika sudah berganti konteks, di luar berbuka puasa kita masih
kerap terlambat dalam berbagai hal, sekolah, ngampus, kerja, sembahyang,
rapat, dan sebagainya. Di sini sayapun instropeksi diri sepanjang jalan, apakah
disiplinnya kita selama ini dalam berbuka puasa benar-benar disiplin? Karena
mengikuti sunnah yang diajarkan Rasul? Atau karena dorongan haus dan lapar yang
sudah tak tertahankan, atau sederhananya tidak sabaran? Mengingat sikap
tergesa-gesa dan tidak sabaran merupakan bagian dari kelemahan diri kita
sebagai manusia.
Setengah
enam saya sampai di salah satu taman kota yang selama ini sering saya jadikan
tempat refreshing, melarikan
diri sejenak dari rutinitas yang kian membosankan. Tak seperti biasa, taman
sangat lengang, hanya ada beberapa orang saja di sana. Padahal biasanya di
waktu-waktu itu taman sedang ramai-ramainya. Tentunya orang-orang tengah
bersiap berbuka puasa dengan orang-orang terkasihnya. Senja semakin menua,
suasana semakin sepi dan puitis. Selang beberapa menit adzan maghrib
berkumandang, tanda waktu berbuka puasa tiba. Saya buka tutup botol air mineral
yang tadi saya beli di pinggir jalan untuk sekadar membasahi kerongkongan.
Sebatang kretek ku nyalakan, ku hisap untuk menghilangkan rasa kecut yang sejak
tadi siang sudah menyiksa.
Malam
hari juga saya lewati seperti biasa, tidak ada ritual-ritual yang istimewa.
Tidak ada shalat tarawih juga. Ibadah-ibadah wajib saja sering terlewat, saya
merasa tak pantas untuk ikut-ikutan shalat tarawih yang sunah itu. Ibarat nilai
saja belum tuntas KKM, masih harus ikut remidasi, sudah mau ikut program
pengayaan. Bahkan ikut puasa tadi siang saja saya merasa lancang, sebab yang
diperintahkan berpuasa adalah orang-orang yang beriman. Sedangkan saya masih
jauh dari kata beriman.
Yogya,
27 Mei 2017