Nganggurnya Tuhan Kita



DEWASA ini kesadaran masyarakat kita akan agama terasa semakin meningkat. Suatu fenomena yang membahagiakan tentunya, mengingat kita hidup di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, setidaknya statistik berkata demikian. Kesadaran beragama itu dapat kita lihat dari semua lini kehidupan masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia virtual. Hampir semua benda yang bersentuhan dengan kehidupan kita kini telah diberi embel-embel halal. Bukan hanya makanan, label halal kini sudah bisa kita temukan diberbagai model sandang seperti kerudung, gamis, sepatu, bahkan pakaian dalam seperti BH dan underware. Sektor kosmetik juga tak luput, mulai dari gincu, bedak, lotion, minyak wangi, sampai kosmetik-kosmetik aneh lainnya kini juga dapat kita temui label halal di bungkusnya. Alasannya tak lain untuk menjadi muslim dan muslimah yang kaffah. Nyenengke tenan. Saya berharap ke depan akan ada sabun halal, sehingga aktivitas nyabun (memakai sabun-red) kita akan semakin barokah.

Namun tetap saja ada pihak yang berseberangan, nyinyiran terhadap fenomena itu juga tidak kalah banyak. Ada yang menyebutnya proyek industri, proyek MUI, strategi marketing atau promosi, komersialisasi agama, latah beragama, serta nyinyiran-nyinyiran lain dengan berbagai istilah. Saya sendiri tetap berperasangka baik, saya tetap menganggap fenomena di atas merupakan sebuah indikator meningkatnya kesadaran masyarakat kita dalam beragama. Sedangkan orang-orang yang sukanya nyinyir itu paling karena mereka tak mampu membeli barang-barang berlabel halal tadi.

Lalu muncul pertanyaan, apakah setelah semua benda yang melekat di tubuh kita sudah berlabel halal, lantas otomatis jaminan surga? Tentu tidak sesederhana itu, Tuhan punya kalkulasinya sendiri, dan kita tidak perlu ikut campur dalam hak prerogatif-Nya. Sayangnya setelah kita memakai semua barang yang berlabel halal, kita kerap lupa diri, lupa daratan. Kita kerap merasa paling suci, paling syar’i¸ dan sudah suci maksimal. Perasaan ‘paling’ itulah yang selanjutnya membuat orang lain terlihat lebih rendah di mata kita. Kita menjadi sangat mudah memfonis orang lain salah, berdosa, bahkan kafir hanya karena tidak sama dengan kita. Bahkan jika Tuhan yang berbeda dengan keinginan kita, ingin rasanya mengkafirkan Tuhan. Tidak jarang kita memaksa Tuhan untuk menuruti keinginan kita.

Merasa paling suci, bahkan Tuhan saja kalah suci membuat kita tanpa sadar merebut hak, tugas, dan wewenang Tuhan. Tanpa sadar kita telah makar, telah melakukan impeachment atas kekuasaan Tuhan. Hal yang menggelikan, menjalankan tugas sebagai manusia yang notabene ‘hanya’ mahluk saja masih keteteran kok sudah sok-sokan mau mengambil tugas-tugas ketuhanan. Tapi itulah manusia.

Jika sudah seperti ini, yang saya pikirkan adalah, lalu Tuhan ngapain? Lha wong tugas dan wewenangnya sudah diambil alih oleh manusia. Jika Neithszce pernah berkata ‘Tuhan telah mati’, mungkin saat ini yang lebih tepat adalah ‘Tuhan telah nganggur’. Nganggur di sini tentunya bukan berarti tidak tahu apa yang harus dikerjakan, seperti sarjana muda yang masih galau karena belum juga dapat panggilan kerja. Sebab Tuhan sendiri sudah menegaskan kalau Ia tak butuh manusia. Tuhan tidak akan terpengaruh dengan kafir atau berimannya manusia. Bisa saja Tuhan tersenyum kecut, bahkan terbahak-bahak melihat berbagai lawakan dan parodi yang diperagakan manusia di muka bumi. Logikanya seperti ini, untuk apa lagi Tuhan ngurusin manusia, kalau nyatanya manusia sudah merasa bisa memberikan penilaian sendiri atas perilakunya. Tentunya Tuhan tidak benar-benar lepas tangan, kata ‘nganggur’ dalam konteks ini hanyalah sebuah sindiran untuk kita yang kerap merebut tugas-tugas ketuhanan.

Silakan saja kita merasa suci, merasa telah menjalankan perintah-perintah Tuhan sesuai dengan syariat-Nya. Yang jadi persoalan adalah kita kerap merasa paling suci dengan menginjak kesucian yang diakui orang lain. Kita kerap mengklaim kalau keyakinan kita paling murni dengan menyalahkan keyakinan yang berbeda dengan kita. Inilah yang selanjutnya akan memancing permusuhan dan perselisihan satu sama lain. Kita mesti ingat, kalau kita mangatakan pemurnian, itu artinya kita menganggap ajaran yang berbeda sudah tidak murni. Sejarah pemurnian juga selalu berakhir pada pertumpahan darah, mulai dari pemurnian agama sampai pemurnian ideologi atau ajaran-ajaran tertentu. Silakan saja merasa benar, tapi kita cukup menyimpan kebenaran itu untuk kita sendiri, tak usah memaksa orang lain untuk mengakuinya.

Sama halnya ketika kita merasa pacar kita yang paling cantik, biarlah keyakinan itu kita simpan untuk sendiri saja. Kita tidak perlu memaksa orang lain untuk mengakuinya, apalagi sampai menjelek-jelekan pacar orang lain. Kita juga tidak perlu minta keterangan ke RT/RW untuk dapat pengakuan kalau pacar kita yang paling cantik. Begitu juga dalam beragama, jangan sampai kesibukan kita dalam beragama sampai membuat kita lupa untuk bertuhan, apalagi sampai makar dari kuasa-Nya.

Condongcatur, 1 Oktober 2017


Sumber gambar: Pixabay