NYIA Untuk Korporat, Bukan Rakyat

Sumber Gambar: Pixabay

Proses pembebasan lahan untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo terus berlanjut meski penolakan dari warga dan berbagai elemen masyarakat semakin keras. Berbagai kritikan berbau penolakan terhadap megaproyek ini datang dari berbagai sudut pandang, seperti perizinan AMDAL yang kontroversial, kompensasi yang tidak sebanding, luasnya lahan pertanian produktif yang dialihfungsikan, serta masih banyak sudut pandang lain yang dapat kita temukan di berbagai media. Namun pemerintah dan pihak terkait tetap bersikeras melangsungkan pembangunan, dengan dalih demi kepentingan bersama. Alasan pemerintah inilah yang menarik perhatian saya, apakah pembangunan ini benar-benar demi kepentingan bersama, atau sekadar alasan politis untuk mempengaruhi psikologis publik.

Dengan adanya bandara dan berbagai infrastruktur lain tentu akan mendongkrak perekonomian nasional. Yang jadi pertanyaan apakah peningkatan perekonomian ini juga diimbangi dengan pemerataan perekonomian, atau hanya akan dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal saja? Kehadiran bandara tentu akan diikuti dengan hadirnya pembangunan-pembangunan di sektor lain seperti pusat industri, pusat perbelanjaan, hotel, dan yang lainnya. Sektor-sektor ini tentu tidak akan dikuasai oleh warga setempat yang terdampak, pasalnya dengan adanya bandara harga tanah akan meningkat berkali lipat sehingga hanya orang-orang bermodal besar yang bisa membelinya. Sementara warga setempat yang tadinya berprofesi sebagai petani akan semakin termarginalkan seiring dengan semakin luasnya lahan pertanian yang dialihfungsikan.

Memang benar pemerintah menjanjikan lapangan pekerjaan bagi warga terdampak, tetapi apakah lapangan pekerjaan itu lebih layak daripada petani? Untuk mengisi posisi-posisi strategis tentu perlu kualifikasi yang memadai, sedangkan mayoritas petani hanya menamatkan pendidikan dasar saja. Apalagi di antara warga terdampak banyak juga yang sudah melewati usia produktif. Walhasil warga setempat hanya akan mendapat jatah pekerjaan yang sama sekali tidak menjamin kesejahteraan, sebut saja kuli panggul, tukang kebun, tukang sapu, dan lain sebagainya.

Sedangkan saat ini mereka sudah merasa nyaman menjadi petani. Selain sudah merasa sejahtera, dengan menjadi petani mereka juga turut memberikan kehidupan bagi orang lain. Sarena tidak mungkin mereka mengonsumsi sendiri hasil pertanian mereka yang jumlahnya berton-ton itu. Tidak hanya itu, banyak juga warga dari desa lain yang bekerja menjadi buruh tani di lahan mereka. Namun tiba-tiba pemerintah datang, mengusik ketenangan mereka, mencoba mendepaknya dari tanah yang sudah puluhan tahun ditempati.

Namun sekeras apapun perlawanan yang dilakukan, pembangunan akan tetap berlangsung dan warga akan tetap digusur, seperti itulah kisah yang sudah-sudah. Sekarang fokus kita adalah pada bagaimana bisa menjaga kesejahteraan warga tergusur. Bandara memang penting, namun kehidupan para petani juga tidak semestinya dikesampingkan. Selain sebanding, kompensasi yang diberikan juga harus bersifat berkelanjutan, misal dengan memberikan lahan pengganti untuk dikelola petani. Ganti rugi berupa uang bukanlah keputusan yang bijak, mengingat kecenderungan masyarakat kita yang masih konsumtif. Solusi lain adalah dengan membagi saham bandara, sebagian saham adalah milik warga terdampak. Dengan seperti itu mereka akan terus mendapat penghasilan seiring beroperasinya NYIA. Jika tidak mau memprioritaskan kepentingan rakyat dalam pembangunan bandara, terutama rakyat terdampak, ya jangan bangun bandara di Kulon Progo. Kenapa bandara tidak dibangun di lapangan golf milik TNI saja seperti kata seorang aktivis di media sosial, apakah lapangan golf lebih penting daripada lahan pertanian produktif milik warga?

Dalam sebuah pembangunan yang diprioritsakan haruslah kesejahteraan rakyat. Selama ini hal tersebut sekadar menjadi slogan-slogan modus pembangunan. Realitasnya rakyat malah jadi pihak pertama yang dirugikan dari adanya pembangunan. Mulai dari kehilangan mata pencaharian, terusir dari tempat kelahiran, terdampak kerusakan lingkungan dan sebagainya. Jika pembangunan bandara di Kulon Progo tidak memprioritaskan kesejahteraan rakyat, lebih baik tidak usah ada bandara. Toh kita bisa hidup tanpa bandara, tapi apakah bisa kita hidup tanpa hasil pertanian? Jangan sampai slogan pembangunan untuk rakyat dipelesetkan menjadi pembangunan untuk korporat.

Pertama kali diterbitkan oleh Buletin Expedisi LPM Ekspresi Edisi V Maret 2018.