Sumber gambar: Pixabay
Sebenarnya sudah cukup lama beberapa kawan memaksa saya untuk menuliskan soal Pemilwa FT. Namun saya masih mengurungkan niat untuk menuliskan sekatapun tentang persoalan tersebut. Bukan karena Pemilwa tahun ini adem ayem, lancar, dan tidak ada masalah apapun, tidak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu ada kemelut di setiap pemilwa. Namun sampai sekarang saya masih belum menuliskan apapun tentang Pemilwa, sebab saya sendiri terjebak di dalamnya. Saya menjadi bagian dari penyeleneggara Pemilwa, karena itu saya agak kesulitan dalam menentukan perspektif agar yang saya tuliskan tidak subyektif. Hingga pada hari ini saya benar-benar tidak dapat lagi menahan jari-jari saya untuk menekan satu demi satu keyboardlaptop hingga membentuk kata demi kata, kalimat demi kalimat.
Oke,
langsung saja, saya menilai Giri Wiyono, WD3 FT sudah bersikap kelewatan karena
sudah terlalu banyak melakukan intervensi terkait pelaksanaan Pemilwa. Entah
mau dikatakan subyektif atau apa silakan, itu hak pembaca. Kita tentu sepakat,
bahwa pemilwa merupakan sebuah pesta demokrasi mahasiswa, sebuah bentuk
kedaulatan mahasiswa. Namun ketika birokrasi sudah ikut campur, bahkan sampai
ke ranah yang sangat teknis, apakah pemilwa masih dapat dikatakan sebuah
kedaulatan untuk mahasiswa?
Saya
mungkin masih bisa toleransi apabila yang dikatakannya masih sebatas himbauan
yang bersifat konstruktif, secara dia adalah pembina ormawa, ya mau tidak mau,
suka tidak suka kita harus mengakui itu. Masalahnya dia telah memaksakan
kehendak, dan itu harus dituruti oleh mahasiswa, seperti seorang anak yang
merengek kepada bapaknya untuk dibelikan mobil-mobilan. Yang membuat saya
semakin geregetan, apa yang dikehendakinya adalah sebuah kehendak pribadi yang
tidak logis dan tidak memiliki landasan. Misalnya instruksinya kepada KPU untuk
me-reschedule pelaksanaan
Pemilwa, dengan alasan hanya karena jadwal pemungutan suara tidak sama dengan
jadwal di tingkat universitas. Padahal semua persiapan sudah disiapkan oleh KPU
mulai dari surat suara, kotak suara, konsumsi, banner publikasi, pokoknya sudah
siap nyoblos. Eh, sehari sebelum coblosan, KPU harus mengalah, mengundur
tanggal pemungutan suara menjadi tanggal 13 Desember sesuai keinginan Papa biar ndak mutung.
Sebelumnya KPU sudah menetapkan, bahkan sudah dibuatkan SK-nya, bahwa
pemungutan suara dilakukan hari ini, 27 November 2017. Padahal dari pihak
universitaspun tidak mempermasalahkan perbedaan jadwal itu, bahkan WD3 pada
kesempatan sebelumnya sudah menyepakati jadwal Pemilwa dan tidak mempermasalahkan
adanya perbedaan waktu pencoblosan dengan universitas.
Saya
yakin, setelah permintaan ini dikabulkan KPU pasti WD3 semakin ngelunjak dan
semakin banyak maunya, karena dari dulu Papa memang selalu seperti itu. Apalagi
dulu, waktu awal-awal timbul kemelut, ada indikasi Papa tidak setuju dengan
adanya calon tunggal. Setelah keinginannya untuk mengundur tanggal pencoblosan
dikabulkan, kemungkinan besar ia akan kembali merengek supaya dibuka lagi
pendaftaran untuk calon ketua BEM. Seperti pepatah Jawa, dikei
ati ngerogoh rempelo. Mudah-mudahan
prediksi saya yang ini salah. (Kabar terbaru birokrat menyepakati untuk
tidak dibuka lagi pendaftaran untuk calon ketua BEM, tapi tidak tahu ke depan
karena kebiasaan birokrat manapun adalah menjilat ludahnya sendiri).
Semoga
KPU dan semua komponen yang terlibat dalam Pemilwa tidak merasa kerja kerasnya
tidak dihargai. Saya sedikit banyak mengetahui bagaimana kinerja KPU dan
komponen Pemilwa lainnya, saya juga menyaksikan sendiri tetesan peluh dan air
mata yang turut mewarnai proses mereka. Saya harap mereka bisa maklum kalau
birokrat tidak menghargai kerja keras mereka, lha wong birokrat
tidak pernah tahu, apalagi mengalami sendiri di lapangan. Semoga KPU dan semua
pihak yang terkait dalam persoalan ini juga diberikan kesabaran yang amat luas
untuk menghadapi Papa. Usia tua dan titel doktor memang tak pernah menjamin
kedewasaan seseorang, karena tua itu pasti, namun dewasa itu pilihan, itu yang
didoktrinkan senior dalam pendidikan dasar di Fenomena dulu.
Jujur
saja sebenarnya saya apresiasi penuh kepada WD 3 atas kepeduliannya dengan
pelaksanaan Pemilwa, bahkan hingga ke ranah-ranah yang sangat teknis. Yang jadi
persoalan, apa tidak ada pekerjaan yang lebih substansi untuk dia kerjakan,
secara dia itu WD 3, sempet-sempetnya ngurusin jadwal Pemilwa. Apa sebaiknya WD
3 tidak ngurusin LKMMTD, pelatihan softskill, pelatihan
protokoler, dan program-program lain yang ia gagas, dan hasilnya berantakan?
Atau mungkin mahasiswa pernah membuatnya kecewa sangat dalam, hingga untuk
melaksanakan Pemilwapun ia tidak mempercayakannya kepada mahasiswa? Duh Papa,
maafkan kami jika pernah mengecewakanmu ☹.
Mau
tidak mau, jika birokrat sudah ikut campur, melakukan intervesi pada proses
pemilwa, bahkan sampai ke ranah-ranah yang sangat teknis, kita sudah tidak bisa
lagi menyebut pemilwa sebagai kedaulatan mahasiswa. Ketua yang terpilihpun
nantinya tidak bisa kita sebut sebagai Ketua BEM, melainkan ketua BEB, Badan
Eksekutif Birokrat.
Purwokerto,
27 November 2017