Tak Ada Yang Pasti di Jalanan Jogja


Sumber gambar: Pixabay


Sudah sebulan ini saya menjalani salah satu aktivitas seorang mahasiswa semester tua, yaitu Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Konon sekarang namanya diganti menjadi PLT, entah apa kepanjangannya, mungkin terinspirasi dari mantan Gubernur DKI. Saya ditempatkan di sekolah yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kontrakan yang terletak di Condongcatur, hanya sekitar 25 km. Namun jarak itu harus saya tempuh dengan waktu hampir satu jam. Bukan saja karena jalanan Jogja yang semakin macet, tapi karena adanya 19 lampu lalu lintas yang menjadi penjegal. Kalkulasikan saja, apabila rata-rata satu lampu merah saya harus menunggu satu menit sampai warnanya berubah menjadi hijau, itu artinya ada sembilanbelas menit waktu saya yang terbuang hanya untuk menunggu berubahnya sebuah warna lampu. Saya harap ke depan Jaya Suprana akan menganugerahkan penghargaan untuk Jogja atas rekor “kota seribu bangjo”.

Sebulan menjadi ‘anak jalanan’ membuat saya cukup banyak mengamati berbagai fenomena khas jalanan, terutama gaya berkendara masyarakat. Gaya berkendara masyarakat Jogja di jalan memang unik, berbeda dengan pengendara di tempat lain. Mungkin ini yang melatarbelakangi dipakainya slogan Jogja Istimewa.

Di Jogja, ketika lampu hijau bukan berarti kita leluasa jalan terus. Kita harus tetap waspada, karena pengendara dari arah lain bisa saja nyelonong tanpa merasa bersalah dengan kecepatan tinggi. Di perempatan, dimana tertulis “Belok Kiri Jalan Terus” nyatanya kita tetap tertahan dan dituntut berbagi ruas jalan dengan pengendara lain. Berbagi memang indah, tapi dalam konteks ini berbagi sungguh menjadi sangat menyebalkan. Meski begitu kita bisa merasakan kepedulian pengendara satu kepada yang lainnya di antrean lampu merah. Pengandara yang berada di barisan belakang tak akan merasa keberatan untuk mengingatkan pengendara di depannya kalau lima detik lagi lampu akan berubah menjadi hijau. Tak pelak, klakson mulai bersahutan dari segala penjuru.

Ketika di jalur cepat, tidak serta merta kita bisa tancap gas sebagaimana mestinya. Mobil-mobil sedan bak raden mas keraton dengan santainya berjalan di jalur cepat, tak menghiraukan pengendara lain yang sedang diburu waktu. Begitupun di jalur lambat, bukan berarti kita aman untuk berjalan santai sembari menikmati istimewanya Jogja. Sebab kapan saja pengendara lain bisa menyundul dari belakang dengan kecepatan bak pembalap. Pernah sekali saya menjadi korban, tepat di hari pertama berangkat PLT. Seorang gadis manis yang masih SMA menabrak motor mio saya dari belakang, tak pelak motor yang saya kendarai terjungkal bersama pengendaranya. Sayangnya gadis itu terlalu manis untuk saya marahi dan pisuhi, wajah memelas yang dipasang ketika meminta maaf membuat saya tak punya pilihan lain selain memaafkan dan membiarkannya berlalu. Beruntung tak ada luka serius, motor saya juga hanya sedikit bengkok di bagian setangnya.

Di jalanan Jogja memang tidak ada yang benar-benar pasti, sungguh. Bukan saja ibu-ibu yang sen ke kiri namun beloknya ke kanan, bisa saja mereka muncul secara tiba-tiba kapanpun dan di manapun, seperti Valak si iblis syar’i dalam filem The Conjuring 2 yang endingnya antiklimaks dan sungguh mengecewakan itu. Bukan hanya ibu-ibu, banyak juga abg-abg labil yang menjadi pelaku tindakan tidak terpuji itu. Bahkan tidak sedikit mahasiswa juga turut ikut andil, meliuk-liuk dan menggoreskan garis-garis tajam di tengah aspal mengenakan pakaian korsa almamater kebanggaannya. Sungguh ironis. Angkutan umum tidak mau kalah, mereka dengan santai berhenti meletakkan pantatnya di depan puluhan pengendara lain di manapun dan kapanpun dia mau. 

Saya juga pernah menjumpai kejadian menjengkelkan, ketika sedang di palang kereta api Lempuyangan, menanti si ular besi melintas, tiba-tiba dari dalam sebuah Avanza ada sesuatu yang dibuang begitu saja. Ternyata itu adalah kulit dan sepahan jeruk. Melihat kejadian itu saya meradang, namun belum sempat menghampiri si penumpang mobil untuk mengetuk jendela dan menyuruhnya mengambil lagi sampah yang ia buang serampangan, kereta keburu lewat. Akhirnya saya simpan saja rasa dongkol itu daripada harus memicu suara klakson sumbang yang bikin sakit telinga. Inilah akibatnya kalau ada orang tidak berpendidikan namun punya sedikit uang untuk gaya-gayaan. Karena orang berpendidikan tidak mungkin membuang sampah serampangan seperti itu. Sebab di pendidikan yang paling dasarpun kita sudah dididik untuk membuang sampah di tempatnya. Anda pasti ingat bagaimana guru SD Anda mewanti-wanti untuk selalu menjaga kebersihan, dan akan murka luar biasa ketika Anda kedapatan membuang sampah sembarangan. Entah kalau di TK atau Paud, zaman saya kecil dua instansi pendidikan itu belum sampai di kampung saya.

Menurut Cak Nun, fenomena semrawutnya lalu lintas di Jogja ini mencerminkan rendahnya pemahaman dan kesadaran etika dengan psikologi kekuasaan, dengan egoisme atau intoleransi sosial, dengan keliaran atau terkadang kenakalan dan keputusasaan. Suatu keadaan yang cukup menghawatirkan untuk salah satu kota ternyaman di Indonesia menurut Ikatan Ahli Perencanaan melalui surveinya. Kenapa menghawatirkan? Yang paling nyaman saja seperti ini keadaannya, bagaimana yang tidak masuk dalam kategori nyaman? Ini baru diambil dari aspek berkendara saja, belum dari aspek kenakalan remaja, tawuran antar suporter sepak bola, bentrok ormas intoleran, penggusuran kios dan perumahan karena sengketa lahan, serta aspek-aspek lain yang harus membuat Anda berpikir dua kali untuk menetap di Jogja. Mungkin ini pula yang memicu munculnya tagline “Jogja Berhenti Nyaman” di sudut-sudut kota.