Sumber gambar: Pixabay
Beberapa hari ini beranda media sosial saya penuh sesak dengan posting-an dan komentar tentang “om telolet om”. Mulai dari foto, video, curhatan, sampai meme-meme bertebaran memenuhi beranda Facebook dan Twitter saya. Agak muak dengan semua itu, terlebih saat melihat kawan-kawan tertawa terbahak-bahak memandang layar gawai di tangannya. Saat saya mencoba cari tahu apa yang ditonton, rasa muak saya semakin menjadi, pasalnya yang sedang ditonton tidak lain adalah video “om telolet om” di beranda Instagramnya.
Dalam hati
saya mengutuk “Dasar generasi telolet!”.
Jengah
dengan semua itu saya mencoba membuka salah satu portal berita online lewat
laptop kesayangan yang sudah usang. Drama Ahok ternyata sedang menjadi headline di
media itu. Agak penasaran saya buka link headlinetersebut. Sambil
membaca saya mengangguk, sembari berkata dalam hati,
“sesuai prediksi, konspirasi politik kelas teri”. Selesai membaca berita saya
terus men-scroll mouse di tangan, hingga pada kolom
komentar. Ternyata komentar-komentar yang ada malah kembali merusak mood saya
yang sebelumnya sempat membaik. Bagaimana tidak, beritanya tentang apa
komentarnya tetap “om telolet om”. Kali ini pisuhan saya
lebih keras lagi, yaitu binatang berkaki empat. “Jerapah!!”
Melihat
generasi muda, dari anak SMP sampai anak kuliahan terjebak dalam euforia
“telolet” membuat saya merasa perjuangan yang dilakukan selama ini sia-sia.
Bagaimana tidak, ketika saya berusaha setengah mati untuk mengobati luka
bangsa, mereka justru merusak semuanya dengan kegiatan naif, aneh, dan cacat
seperti itu. Tidak ingin emosi terus meningkat dan menguasai diri ini, saya
mencoba menerapkan hadits Nabi, bagaimanapun saya adalah pemuda yang shaleh dan
rajin mengaji. Saya ambil segelas air putih, kemudian meminumnya sembari duduk
menenangkan hati dan pikiran yang sempat kalut terbawa derasnya arus emosi yang
begitu dahsyat.
Benar saja,
setelah meneguk segelas penuh air putih, pelan tapi pasti emosi mulai mereda.
Pikiran dan hati yang kalut kembali terbuka untuk berpikir jernih, membawa saya
untuk ber-instropeksi diri. Setelah tak pikir
dan ingat-ingat lagi, ternyata kontribusi saya untuk mengobati luka bangsa
belum seberapa, malah hampir tidak ada, hanya sebatas wacana tanpa aksi.
Ternyata saya juga tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya saya
sebut sebagai “generasi telolet” tadi. Sejenak saya merenung sembari mengutuk
diri sendiri dalam hati. “Jerapah!”
Mencoba
menghibur diri saya buka situs Youtube, dengan niat nonton
cewek-cewek seksi
seperti Lady Gaga, Christina Perry, atau produk lokal seperti Dhek Awkarin yang
sedang naik daun. Baru membuka halaman utama, saya langsung disuguhi video
tayangan ulang salah satu program talk show ternama,
sebut saja Mata-Mata. Judulnya cukup menarik perhatian saya, tentang perjuangan
petani di Pegunungan Kendeng melawan pabrik semen. Niat awal untuk menonton cewek-cewek cantik
dan seksi pun saya kesampingkan untuk menonton talk
show itu.
Diskusi
berjalan cukup menarik, perwakilan petani yang diundang memaparkan alasan
mereka menolak pabrik semen, salah satunya terancamnya kelestarian lingkungan
Pegunungan Kendeng. Kekecewaan petani semakin memuncak saat gubernur
mengeluarkan izin pembangunan pabrik semen baru. Diskusi memanas saat Mbak
Najwa, atau akrab saya panggil Mbak Nana menghadirkan Gubernur Jawa Tengah,
Ganjar Pranowo. Ia hadir dengan perspektif berbeda, yakni membantah adanya
penerbitan izin baru dari pemerintah. Dengan berbagai alasan ia mencoba
berkelit dari tuduhan yang berkembang di masyarakat. Mbak Nana yang memang
terkenal ahli dalam hasut-menghasut tidak mau kalah untuk menyudutkan Pak
Gubernur, tidak pelak diskusi semakin memanas.
Terlepas
dari talk
show yang
semakin memanas itu, saya jadi ingat perjuangan rakyat-rakyat lain yang juga
termarjinalkan. Mereka yang dipinggirkan dan tengah berjuang merebut kembali
hak-haknya yang direnggut penguasa fasis. Petani Kulon Progo dan Sukamulya yang
tengah berjuang melawan pembangunan bandara, masyarakat Parangkusumo yang
menolak penggusuran, nelayan yang melawan reklamasi di Teluk Jakarta dan Teluk
Benoa, serta perjuangan-perjuangan rakyat di tempat lain. Benar-benar kisah
perjuangan yang menggetarkan sisi kemanusiaan yang masih saya miliki. Saya
merasakan pukulan yang sangat telak mendarat tepat di wajah dan ulu hati.
Saya kembali
ingat dengan “generasi telolet” yang sempat saya singgung di atas, keinginan
untuk mengkritisi dan menghakimi kembali muncul dari benak saya. Sayangnya yang
membuat pekewuh bahwa
kontribusi yang telah saya berikan untuk mengobati luka bangsa juga sama sekali
belum bisa dibanggakan. Tapi persetan dengan semua itu, saya putuskan untuk menjadi
pengamat saja, menjadi tokoh yang selalu benar tanpa dosa apapun.
Yang saya sesalkan sebenarnya di mana peran pemuda saat petani, buruh, nelayan berjuang mempertahankan hak-hak mereka? Kenapa sangat minim peran pemuda dalam perjuangan-perjuangan rakyat tersebut, atau saya yang tidak tahu. Apa karena saya terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar kost, sehingga tidak tahu kalau ada pergerakan pemuda dengan masa besar yang terorganisir untuk berjuang bersama petani, buruh, dan nelayan? Sepertinya tidak, sangat kecil kemungkinan itu. Ini subyektivitas saya, jadi pembaca tidak perlu membantah atau menanyakan dasar dan sumber datanya.
Ke mana
ratusan ribu mahasiswa yang katanya agen perubahan, kontrol sosial, dan bla
bla? Mahasiswa yang seharusnya berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan
hak rakyat seakan kehilangan tajinya. Apakah mereka sudah terlalu sibuk dengan
skripsi, tugas kuliah, laporan praktikum, lomba karya tulis ilmiah, lomba
debat, atau menyelesaikan program kerja dan LPJ akhir tahun? Jika seperti itu,
oportunis sekali mahasiswa saat ini. Atau justru mereka yang jumlahnya ratusan
ribu bahkan jutaan ini juga ikut terjebak dalam euforia “om telolet om” seperti
yang lainnya? Sungguh miris dan mengerikan sekali jika memang begitu adanya. Mudah-mudahan
tidak separah itu degradasi mental, moral, dan intelektual yang di alami
mahasiswa.
Mungkin
pembaca heran, kenapa saya terkesan sangat membenci “generasi telolet”. Kalau
boleh jujur, saya sendiri tidak tahu alasannya. Tidak ada landasan ilmiah maupun
yuridis yang dapat saya jadikan dasar kebencian kepada generasi itu. Hanya
secara subyektif saya menilai aktivitas yang mereka lakukan sama sekali tiada
guna, mubadzir, dan hanya buang-buang waktu saja. Sedangkan saya percaya, Tuhan
sangat membenci perilaku yang sia-sia.
Berkembangnya
fenomena “generasi telolet” bisa jadi menunjukkan tingkat frustasi masyarakat
kita yang benar-benar sudah memuncak. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan,
tidak ada lagi yang dapat menjanjikan kebahagiaan. Negara yang dibela justru
semakin gila dan tak berhenti membuat luka. Agama yang dipuja malah menghianati
dan membuat kecewa, sementara sepak bola yang dijadikan pelarian hanya mampu
membantu onani. Beban hidup masyarakat benar-benar berat, tingkat frustasinya
sudah mencapai status gawat. Walhasil mereka mencoba mencari pelarian baru
untuk mendapatkan kebahagiaan, meski hanya semu, maka lahirlah fenomena “om
telolet om” yang tengah berkembang sekarang. Tidak banyak yang dapat saya
lakukan, hanya bisa berdoa pada Tuhan, supaya saya, orang-orang terdekat, yang
saya cintai dan menyayangi saya dijauhkan dari virus “telolet”. Prinsip saya,
jika tidak dapat memperbaiki keadaan, minimal tidak menambah rusak keadaan.
Tiba-tiba terdengar suara satpam, membuyarkan semua lamunan saya, bertanda jam
besuk sekretariat sudah habis. Maklum, saya masih hidup dalam neo orde baru,
dimana NKK BKK masih subur dengan wajah yang baru.