Sumber gambar: liputan6.com
Sudah lama saya tidak berkecimpung dalam aktivitas organisasi mahasiswa, semester tua menjadi alasan utama saya untuk gantung PDL di usia dini. Teringat satu tahun yang lalu, ketika bara di dada sedang panas-panasnya, hampir setiap hari saya habiskan untuk berwacana dengan para aktivis kampus. Aktivitas ini sebenarnya hanya pelarian saya saja, di tengah kisah asmara yang selalu kandas, kesibukan di organisasi mahasiswa menjadi salah satu alasan jitu untuk membela diri ketika kejombloan dijadikan bahan bullying. Alasan hengkang dari dunia keaktivisan juga saya pilih karena ingin menikmati usia senja sebagai mahasiswa dengan berbagai hal menyenangkan, menikmati pesona kibaran hijab para ukhti sebelum maghrib misalnya.
Benar
saja, usai pensiun kehidupan saya sebagai mahasiswa terasa lebih tenang dan
menyenangkan, hingga pada beberapa hari yang lalu saya mendengar sebuah berita
dari adik perguruan saya tentang pelaksanaan ospek di UNY tahun ini. Menurutnya
pelaksanaan ospek saat ini belum ada kejelasan, sengketa anggaran
digadang-gadang menjadi penyebab utamanya. Hingga muncul sebuah wacana dari
beberapa ormawa untuk melakukan pemboikotan kegiatan ospek. Sontak saya
terkejut, dan dalam hati berkata “gile lu ndro!”. Bukan karena tidak
sepakat, tapi melihat sepak terjang para petinggi ormawa membuat saya
terkaget-kaget wacana boikot sampai mencuat ke permukaan.
Saya
cukup tahu bagaimana karakter mereka, pengalaman setahun menjadi rival
merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk melakukan analisis mendalam.
Sedikit saja tentang petinggi ormawa yang saya tahu, mereka adalah orang-orang
yang lebih suka memilih “main aman” dan jalan lempeng. Dalam menyelesaikan
persoalan, jalur diplomasi lebih suka mereka pilih daripada jalur-jalur konfrontasi,
seperti boikot misalnya. Itu mengapa saya cukup terperangah dan hampir tersedak
ketika mendengar ormawa, khususnya FT hendak memboikot ospek.
Tapi
terlepas dari itu, menurut saya wacana ormawa untuk memboikot ospek merupakan
sebuah kebodohan. Mengapa kebodohan? Karena tidak dari dulu dilakukan. Cukup
terlambat jika ormawa melakukan boikot, sebab berbagai persiapan sudah mulai
dilakukan, banyak tenaga yang sudah terbuang. Apalagi wacana boikot terkesan
setengah hati, membuat pihak-pihak yang bekerja di wilayah bawah menjadi
dilematis. Mau totalitas bekerja, takut tak jadi ada ospek, dan semua hanya
berujung pada kesia-siaan. Hendak berhenti bekerja takut ospek tetap
dilaksanakan, walhasil persiapan menjadi tidak keruan. Akhirnya pekerjaan
dilakukan setengah hati, seolah hidup segan mati tak mau.
Meski
begitu saya tetap mengapresiasi keberanian ormawa mewacanakan pemboikotan
ospek. Saya memang selalu suka dengan perlawanan-perlawanan semacam ini. Dari
dulu saya kurang suka dengan jalur-jalur diplomasi, karena bagi saya diplomasi
hanya akan menghasilkan kerugian. Kemenangan yang nyata dan utuh hanya bisa
dicapai melalui jalan konfrontasi, boikot salah satunya. Hanya saja polemik
pemangkasan anggaran jangan dijadikan alasan utama dari pemboikotan tersebut,
sebab jika boikot hanya karena anggaran, kekuatannya akan sangat lemah.
Perlawanan yang menjadikan uang sebagai landasannya tidak akan menghasilkan
kekuatan yang besar. Birokrat cukup mengundang para petinggi ormawa, ajak makan
malam atau buka puasa bersama, lobi dan rayu dikit, kasih amplop, selesai dehperkara,
dan RIP untuk
perlawanan. Memaknai pemangkasan anggaran hanya sebagai momentum untuk
melakukan boikot akan lebih etis.
Aksi
boikot harus dilandasi dengan semangat perjuangan bersama untuk mengembalikan
kembali kejayaan mahasiswa. Mengingat ormawa kini seperti tak memiliki kekuatan
strategis, hanya dijadikan sapi perah birokrat. Dengan dilakukannya boikot, bergaining
power yang
dimiliki ormawa akan semakin kuat, birokrat akan sadar kalau mereka tak bisa
berjalan tanpa ormawa. Dengan begitu mau tidak mau birokrat harus bersikap
manis kepada ormawa, tak bisa lagi berlaku sewenang-wenang. Pemboikotan
terhadap ospek juga akan menggiring semua pihak yang terlibat dalam ospek
melakukan evaluasi, dan lagi-lagi ini merupakan sebuah momentum untuk
merevolusi ospek yang selalu mendapat kritikan dari tahun ke tahun.
Lalu
akan ada pertanyaan, jadi untuk meningkatkan posisi tawar ormawa kita harus
mengorbankan mahasiswa baru yang masih unyu itu? Sek
sek, kita
balik dulu logika berpikirnya. Dengan ormawa memboikot ospek, dan ospek tidak
terlaksana, itu justru kita menyelamatkan mahasiswa baru dari ritual
pembodohan. Apalagi saya mendengar pembicara utama dalam ospek besok adalah Aa’
Gatot, eh Gatot
Nurmantyo maksud saya. Saya melihat ini merupakan sebuah upaya doktrinisasi
mahasiswa baru supaya menjadi generasi manutan. Lho, tapi grand
design ospek
kali ini kan mengenai
nasionalisme dan bela negara? Gatot Nurmantyo selaku Jenderal TNI tentu menjadi
pembicara yang pas dong?
Hemm, apakah yang dimaksud
dengan bela negara itu menggelar karpet merah untuk para pemodal dan
menodongkan moncong senjata ke petani Kendeng, Kulon Progo, Sukamulya dan yang
lainnya? Bagi saya mereka hanya berbicara mengenai nasionalisme sempit dan
omong kosong bela negara, tanpa menghiraukan ruh nasionalisme Bangsa Indonesia
yang sebenarnya tentang emansipasi, egalitarian, serta politik pembebasan.
Membuka pintu untuk militer masuk kampus adalah menghianati cita-cita
reformasi, yakni menghapuskan cengkeraman militer dari aspek kehidupan
masyarakat. Militer ingin kembali masuk dan mengatur hajat hidup rakyat dari
urusan tiket, sepak bola, sampai kampus-kampus menjadi arena penetrasi. Masih
percaya pada doktrin bela negara yang dikatakan militer? Tak perlu dijawab,
renungkan saja, realita memang kadang menyakitkan.
Itu
baru satu muatan saja, masih banyak muatan-muatan lain yang juga mengandung kesesatan
seperti feodalisme, apatisme, atau materialisme yang disisipkan dalam
promosi-promosi perlombaan dan karya tulis ilmiah. Kalau perkara mengenalkan
dunia kampus dan perkuliahan, saya rasa biarkan mahasiswa baru mengenali
kampusnya sambil menjalani masa-masa kuliah besok. Karena omong kosong
mahasiswa baru dapat mengenali kampus yang permai ini hanya dalam waktu empat
hari.
Melihat
berbagai alasan itu membuat saya yakin bahwa boikot adalah jalan terbaik, shirothol
mustaqiim bagi
ormawa. Saya harap para petinggi ormawa tak perlu ragu untuk memilh langkah
berani itu. Memang, wacana boikot ini merupakan sebuah kebodohan, sebab tak
dari dulu dilakukan. Tapi kata pepatah kuno, lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali.
Yogya,
18 Juni 2017