Senja di lapangan Desa Plorengan, Kalibening, Banjarnegara
WARNING!
Tulisan ini cukup panjang. Sangat mungkin Anda akan bosan membacanya, karena
saya sendiri sampai bosan menuliskannya. Tulisan ini menjadi tulisan terpanjang
ketiga yang pernah saya tulis. Yang kedua skripsi, yang pertama adalah kisah
kita yang tak kunjung menemui kejelasan. Heuheu. Kenapa tulisan ini bisa
panjang? Karena saya mencoba menuliskan semua hal, dari yang tidak penting
sampai yang paling tidak penting. Tak usah dibaca sampai akhir kalau Anda tak
tahan. Ingat, masih banyak pekerjaan lain yang lebih penting untuk Anda
kerjakan.
Pagi itu, Sabtu (21/4)
sebuah pesan whatsapp masuk, ketika saya masih berusaha keras membuka mata yang
baru dua jam terlelap. Ternyata Jamal, anak mapala (mahasiswa paling lama) pengirim pesan itu. Ia mengajak saya untuk
ikut ke Banjarnegara yang tengah dilanda bencana, sebuah gempa berkekuatan 4,4
SR. Katanya di sana kekurangan tim assessment,
sehingga minta bantuan dari Jogja. Aku berpikir sejenak, selain karena sore itu
sudah punya janji, Banjarnegara juga tidak dapat dikatakan dekat. Tapi itu tak
jadi soal, karena pria tahu, jarak itu cuma angka. Akhirnya saya putuskan untuk
mengiyakan ajakan Jamal. Setelah menimbang, sepertinya persoalan itu lebih
penting daripada acara saya sore nanti.
Setelah mengemasi barang
seperlunya, laptop, alat tulis, dan satu stel baju ganti, jam lima sore saya
berangkat ke sekretariat Mapala STTL, dekat JEC. Setelah briefing, jam tujuh malam kami meluncur ke lokasi bencana. Jujur
saja, baru sekarang saya tahu bagaimana tugas tim assessment, itu pun gambaran kasar. Ada ketakutan juga sebenarnya
dalam benak saya, apakah nanti bisa menjalankan tugas dengan baik? Apalagi dari
cerita Jamal, katanya di sana kami akan bekerja di bawah tekanan. Harus siap
di-pisuh-pisuhi ketika melakukan
kesalahan.
Kami berangkat berlima,
namun yang akan stay di Banjarnegara
hanya tiga. Saya, Jamal, satu lagi Dengkek. Tugas pertama saya adalah menjaga telur.
Ya, benar menjaga telur. Jangan tertawa dulu, menjaga telur bukan pekerjaan
yang mudah. Cangkangnya yang rapuh seperti aku tanpanya membuatnya
sangat rentan pecah ketika ada guncangan. Apalagi sang driver yang mengendarai mobil kerap ngerem mendadak dan melakukan manuver-manuver berbahaya. Menggariskan
garis-garis tajam di sepanjang aspal.
Awalnya, dari Jogja
sampai Wonosobo tidak ada masalah yang berarti. Bahkan saya bisa sesekali
memejamkan mata, menyimpan tenaga untuk besok. Namun memasuki wilayah
Banjarnegara, medan mulai tak beres. Jalanan yang kami lewati semakin
menyempit. Trek yang ada naik turun, juga menikung tajam tentunya. Ternyata
lokasi gempa di daerah pegunungan, padahal saya tak membawa pakaian hangat
barang satu pun. Hanya sebuah jaket jeans yang sangat payah dalam hal
menghangatkan.
Tangan saya semakin erat
memegangi kotak telur. Setiap kali mas sopir yang saya lupa namanya melakukan
manuver dan menerabas jalan bergelombang, gemeretak suara telur selalu membuat saya
menahan napas. Apalagi bau amis mulai menyeruak. Saya hanya bisa berdoa sambil nyebut dalam hati.
All is well... All is well... All is well...
“Telur aman dab?” tanya Mas Sopir setelah mobilnya menerabas sebuah
lubang yang cukup besar.
“Eh, aman kang, aman,” jawab saya sembari menyembunyikan raut muka
yang merah padam.
Perjalanan terasa sangat
lama dan panjang. Mendekati lokasi pengungsian, medan bertambah sulit saja.
Kanan tebing kiri jurang. Banyak titik-titik jalan yang separuhnya tertutup longsoran
tanah.
“Ini yang tahun kemarin ambles. Banjar ki cen
terkenal karena bencana, hehehe,” kata
Kang Buntil yang jadi penunjuk jalan. Kang Buntil ikut bersama kami dari daerah
Banjar Mangu, satu jam lagi menuju Kalibening, pusat gempa bumi.
Setelah hampir tujuh jam
dalam perjalanan, akhirnya mulai terlihat satu dua posko pengungsian. Sedikit
lega. Tandanya tak lama lagi kami sampai. Benar saja, tak jauh dari posko
pertama, kami sampai di posko BPBD. Posko induk tujuan kami.
Membuka pintu mobil hawa
dingin langsung menyengat. Puluhan posko berderet di tepi jalan. Raga-raga yang
lelah tampak berjejer, terbaring di dalam posko diliputi kekhawatiran. Beberapa
ada juga yang di depan posko. Tidur dengan posisi sekenanya.
Aku nyalakan sebatang
kretek, berharap bisa sedikit menghangatkan. Tidak lama Kang Ojan datang dengan
muka masih ngantuk karena dipaksa bangun. Kang Ojan adalah salah satu anggota
tim assesment dari Jogja yang besok
akan bertugas bersama kami.
“Kok iso, mangkat jam pitu kok tekan kene jam telu isuk,” kata Kang
Ojan mengejek setelah berkenalan. Saya hanya tersenyum kecut.
“Kan kita mampir-mampir dulu Kang. Yang penting kan selamat sampai
tujuan,” jawab Dengkek mencoba membela diri.
Setelah bercakap-cakap
sebentar, selepas subuh kami mulai mencari tempat untuk tidur. Tidak ada kasur
dan bantal yang empuk, apa lagi selimut yang tebal. Kami hanya menggelar matras
di sela-sela relawan yang sudah tidur lebih dulu. Beruntung kami membawa sleeping bed. Cukup membantu melindungi
tubuh kami dari dingin yang semakin menusuk. Setelah cukup lama memejamkan
mata, akhirnya saya bisa terlelap juga di tengah dengkuran para relawan yang
kelelahan.
“Mas.. Mas.. Bangun Mas..,” sebuah suara membangunkan saya. Saya meraba saku
jaket, mencari handphone untuk meihat jam. Sudah jam 8 pagi rupanya. Di lantai
hanya tinggal kami berempat yang masih terlelap. Di luar para relawan lain
sudah mulai sibuk melakukan tugasnya masing-masing.
Sembari menunggu teman-teman
lain saya merapikan peralatan tidur. Tidak lama Jamal bangun. Cukup sulit
membangunkan Kang Ojan dan Dengkek. Tampaknya kelelahan yang sangat, membuat
mereka kebal dengan suara-suara kami. Menunggu mereka bangun, saya dan Jamal
meracik kopi untuk dopping agar bisa
melek. Berbekal kemampuan seadanya Jamal meng-grinder biji kopi Flores yang kami bawa dari Jogja. Tak butuh waktu
lama, secangkir kopi yang kami minum bersama terasa sangat nikmat ketika belum
ada apa pun yang masuk ke perut kami sejak semalam.
Kopi tinggal setengah
ketika Kang Ojan dan Dengkek bangun. Belum jelas apa tugas kami di sini. Saya
sendiri melakukan apa saja yang bisa saya lakukan sesuai instruksi Mas Agung, bos
kami di sini. Ngeprint data-data untuk publikasi, ngedit foto, sampai menempel informasi terbaru di papan pengumuman
saya lakukan saking gabut-nya.
Hingga waktu dzuhur tiba
belum juga ada kejelasan apa jobdesk kami. Akhirnya setelah berdiskusi dengan
Mas Agung dan Mas Jimbun kami berinisiatif untuk melakukan assessment kerusakan rumah warga. Desa Plorengan menjadi tugas
pertama kami. Namun baru saja hendak berangkat hujan lebat turun. Membuat
keberangkatan kami tertunda lagi. Baru jam tiga sore hujan mulai reda, tidak
mau kehilangan momentum kami berempat langsung berangkat ke Plorengan. Dibagi
dua tim, saya berboncengan dengan Kang Ojan, sedangkan Jamal dengan Dengkek.
Cukup banyak rumah yang
mengalami kerusakan. Mulai retak kecil sampai ambruk. Karena hari sudah mulai
petang, jam lima sore kami hentikan pendataan dan kembali ke posko induk meski
belum semua rumah terdata.
Salah satu rumah rusak karena gempa di Desa Plorengan
Ternyata masih ada
pekerjaan yang lebih memeras otak kami, olah data. Setelah kami mendapatkan
data dari lapangan kami harus mengolahnya untuk menentukan tindakan
selanjutnya. Jam tujuh malam kami mulai mengotak-atik data yang kami dapat.
Mencari strategi terbaik, bagaimana cara paling efektif dan efisien. Entah berapa cangkir kopi dan batang rokok
kami habiskan. Menjelang tengah malam otak kami mulai lelah, namun tidak ada
alasan untuk menunda pekerjaan. Atau kami akan terlambat pulang ke Jogja.
Jam tiga lebih baru kami
bisa bernapas lega. Tugas kami hari itu selesai juga. Kami mulai menyiapkan
peraduan untuk kami melepas lelah. Di sela-sela meja dan kursi, kami tidur
malam itu. Beberapa relawan, entah dari mana, ada yang berseragam TNI, SAR,
BPBD masih sibuk menyiapkan kedatangan presiden siang nanti. Kami tak ambil
pusing untuk urusan yang satu itu. Tenaga dan pikiran kami sudah terlampu
lelah. Dan kami memilih untuk tenggelam dalam lautan mimpi.
Hari kedua kami masih
melanjutkan assessment yang kemarin
belum selesai, masih di Desa Plorengan. Setelah sarapan dan briefing sebentar, jam sembilan kami
berangkat. Sengaja kami berangkat lebih pagi, menghindari keramaian karena
kedatangan presiden yang tentu akan membuat jalan sangat macet.
Sepanjang jalan kami
menemui banyak fasilitas-fasilitas baru terpasang. Tenda-tenda pengungsian
baru, tempat sampah, toilet umum, dan sebagainya. Jalanan juga mulai
dibersihkan, sampah-sampah disingkirkan, rerumputan dipangkas dengan rapi.
“Arep ono presiden wae lagi dipasangi kabeh. Kit wingi ngopo wae?,” oceh
Jamal yang saat itu membonceng saya.
“Mungkin baru sempat,” jawab saya pendek, malas membahasnya terlalu
panjang.
“Sing rak tak senengi, kok seolah-olah banget lho,” ocehnya lagi mengungkapkan kekesalannya.
“Wah, kopine apik-apik tenan. Teh-e yo apik. Iso nggo selfie-selfie
iki,” jawab saya mencoba mengalihkan pembicaraan sembari menikmati hijaunya
kebun teh serta kopi di kanan dan kiri jalan.
Terjebak hujan di rumah Pak Dukuh Plorengan
Siang hari hujan deras
kembali mengguyur. Memaksa kami menghentikan pekerjaan yang belum setengahnya
selesai. Hampir tiga jam kami terjebak di rumah Pak Dukuh. Hampir semua dari
kami sampai tertidur. Jam tiga gerimis masih rintik-rintik. Kami paksakan untuk
melanjutkan tugas, enggan pulang tanpa hasil. Beberapa kali kami harus berteduh
karena gerimis yang tiba-tiba menjadi deras. Akhirnya berbarengan dengan adzan
maghrib yang mulai menggema, tugas kami selesai.
Sampai di posko kami tak
membuang waktu, sebab hari ini juga kami harus pulang ke Jogja. Usai
bersih-bersih badan, jam tujuh kami langsung mulai untuk mengolah data. Meski
sudah dikebut, tetap saja butuh waktu lama untuk menyelesaikan tugas terakhir
itu. Waktu berjalan sangat cepat. Secepat habisnya batang demi batang rokok di
tangan kami. Tangah malam pekerjaan kami tak kunjung selesai juga. Padahal
besok pagi kami harus sudah di Jogja. Akhirnya jam satu pagi kami bisa bernapas
lega. Kami bisa menyetorkan hasil pekerjaan kami kepada Mas Agung dan Kang
Jimbun untuk selanjutnya pamit ‘balik kanan Jogja’.
“Mbok sehari lagi. Wong pekerjaan belum selesai kok balik,” kata
Kang Jimbun berat melepas kepulangan kami.
“Wah, sesuai perjanjian Kang. Tugas kami kan satu desa. Hehehe,” jawab
Jamal.
Setelah berkemas dan
ngobrol santai, setengah dua kami meluncur ke Jogja. Karena pick up yang
dijanjikan tak juga menjemput kami, saya terpaksa membonceng Kang Ojan. Supra
tua tahun 2002 di-gas pol oleh Kang Ojan melewati tikungan demi tikungan tajam.
Ketika melewati tanjakan, mesin motornya seolah menjerit, meronta-ronta
menopang beban kami berdua. Rasa kantuk saya hilang karena ekstremnya Kang Ojan
mengendarai motornya. Pikiran saya ke mana-mana. Mode waspada tingkat tinggi
saya aktifkan. Karena lengah sedikit saja nyawa bisa melayang. Entah menabrak
tebing, mesuk jurang, tergelincir karena jalan yang tak bisa dikatakan mulus.
Apalagi mengingat ban belakang yang sangat halus, mungkin setiap hari diolesi
krim wajah yang memiliki label halal dari MUI oleh Kang Ojan.
“Bagaimana dengan proyek ‘membahagiakan orang tua’ saya yang tak kunjung
selesai karena dosen pembimbing yang ilang-ilangan? Bagaimana dengan Buku Asu
saya yang tak kunjung terbit karena terlalu asik makan bangkai teman? Bagaimana
dengan orang-orang yang membenci saya? Jika saya mati di sini, kasian mereka,
hilang satu lagi ladang jihad mereka. Bagaimana dengan kamu? Iya kamu?,” pertanyaan-pertanyaan
itu berkecamuk dalam pikiran saya sepanjang jalan.
Hawa dingin mulai menyerang.
Seperti meremukkan tulang belulang kami. Kadua kaki saya tak berhenti gemetar
karena menahan dingin. Sampai di daerah Dieng, tidak hanya kaki saya yang
gemetaran, tapi seluruh tubuh saya. Gigi saya tak henti-hentinya mengeluarkan
suara gemeretak.
“Di sini ketinggiannya 2000-an,” kata Kang Ojan sembari tetap meliuk-liukkan
motornya supaya bisa menaklukan tanjakan tajam di daerah Dieng.
Benar saja sekujur tubuh
saya menggigil. Rasa-rasanya sudah sangat lama saya tidak merasakan dingin
sedahsyat ini. Mungkin terakhir ketika pendakian pertama saya ke Sumbing. Saat
itu saya hampir hypothermia di Pasar Setan. Dan rasa dingin ini mengingatkan
pada saat-saat saya berjuang lepas dari jerat kematian tiga tahun silam.
Ketika melewati tanjakan
panjang di daerah Dieng, motor yang dikendarai Jamal dan Dengkek tiba-tiba mogok.
Mesinnya overheating. Setelah
mendinginkan beberapa saat, akhirnya mesin dapat dinyalakan lagi. Tapi belum
jauh melanjutkan perjalanan, motor mogok lagi. Akhirnya kami agak lama
istirahat sembari menahan dingin yang makin menjadi. Sekitar setengah jam kami
istirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Belum jauh, lagi-lagi motor
Jamal dan Dengkek mogok lagi. Sekarang giliran bensin habis. Duh Gusti! Jam segini di mana penjual
bensin yang buka? Akhirnya kami menyerah. Setelah beberapa ratus meter
mendorong motor, kami putuskan untuk istirahat di sebuah masjid sembari menanti
datangnya pagi. Di emperan masjid kami menggelar matras. Berselimut sleeping bed kami mencoba tidur. Namun
rasa dingin yang kian menyengat membuat saya tak juga bisa terlelap. Padahal
ketiga kawan saya sudah mulai mendengkur. Saya malah mulai mengigau tak keruan.
Padahal saya sudah menahan sekuat tenaga untuk tidak mengigau. Tapi tak
tertahankan juga. Rintihan dan igauan terus terucap dari bibir saya yang mulai
pecah-pecah kekurangan cairan.
Matahari mulai malu-malu
menampakkan dirinya di ufuk timur. Membawa kehangatan yang sangat saya rindukan
sejak semalaman. Setelah mengisi tangki motor dengan bensin eceran, jam tujuh
pagi kami melanjutkan perjalanan ke Jogja. Pemandangan perbukitan di kanan kiri
kami begitu memanjakan mata. Sejuk angin pagi yang membaur dengan hangat sinar
mentari sangat melegakan tubuh yang semalaman kaku. Medan yang kami lalui tidak
juga men-jinak. Turunan dan tikungan tajam membuat saya harus sering-sering
menahan napas. Apa lagi cara Kang Ojan mengganti gigi motornya cukup kasar.
Memasuki Daerah Magelang
Kang Ojan meminta gantian, giliran saya yang menjadi driver, tampaknya Ia mulai lelah. Pertama memegang gas perasaan
saya sudah tidak enak. Ternyata gas motor Kang Ojan bisa mblandang. Tanpa saya menarik gas, motor sudah bisa jalan sendiri. Kepanikan
saya semakin menjadi ketika saya tahu, ternyata baik rem depan maupun belakang
sama sekali tidak mempengaruhi kecepatan motor ketika saya injak. Saya berusaha
keras menenagkan perasaan sambil terus nyebut dalam hati.
“All is well.. All is well.. All is well..”
Belum lama berganti posisi,
dua orang polisi menghentikan kami. Saya tetap cool. Surat-surat saya lengkap, begitu pun Kang Ojan. Kami menepi.
Seorang petugas menanyakan surat-surat kami. Dengan pede saya serahkan SIM dan
STNK.
“Mas tahu kenapa kami hentikan?,” kata seorang polisi.
“Tidak Pak,” jawab Kang Ojan singkat.
“Lampu Anda tidak dinyalakan, makannya kami hentikan”
Kami cukup kaget. Karena
sedari malam kami merasa tidak mematikan lampu utama. Namun setelah dicek,
ternyata kami tak bisa mengelak.
“Kemarin Jokowi lampunya juga nggak nyala, kok nggak ditilang Pak?” kata
Kang Ojan masih belum terima kena tilang.
“Besok-besok kalau Jokowi nggak nyalain lampu juga
ditilang ya Pak. Jangan tebang pilih!,” lanjut Kang Ojan sebelum kami menuju bank terdekat untuk membayar
denda.
Hampir setengah jam kami
mengurus denda di bank. Cuaca sangat terik, kontras dengan yang kami rasakan malam
tadi. Setelah semua selesai, kami lanjutkan lagi perjalanan. Beberapa kali saya
harus menahan napas ketika motor kami hendak menabarak pengendara di depan
kami. Saya harus benar-benar pandai menjaga jarak. Entah, bagaiamana Kang Ojan
bisa meliuk-liukan motor ini dengan lincahnya. Jam 12-an baru kami memasuki
wilayah Jogja. Selain lebih macet, terik matahari juga semakin menyengat. Persis
di perempatan UIN, giliran motor kami mogok. Bensin kami habis. Duh Gusti, kok ono-ono wae... Beruntung
tidak jauh dari situ ada penjual bensin eceran.
Akhirnya jam satu siang
sampai juga kami di basecamp Mapala
STTL, posko kami di Jogja. Lega sekali rasanya bisa kembali lagi ke Jogja
dengan selamat. Setengah jam istirahat, melemaskan urat-urat yang tegang, saya bergegas
pulang. Selain ingin mandi, rasa kantuk juga sudah mulai tidak tertahankan.
Namun kepulangan saya kembali tertahan di Fenomena karena suatu hal. Seorang
kawan meminta untuk membicarakan sebuah permasalahan yang cukup penting. Walhasil
mandi dan tidur kembali tertunda. Selesai ngobrol hari sudah cukup sore.
Tanggung untuk tidur. Akhirnya saya memilih untuk menuliskan kisah dua hari yang
panjang di Banjarnegara. Dan karena banyak hal, baru hari ini cerita yang tidak
terlalu penting ini selesai saya tulis.
Yogya, 29 Apr. 18
Komentar
Posting Komentar