Sambat Omah; Sebuah Elegi Anak Rantau

Sumber gambar: Pixabay

“Bait demi bait lagu yang dinyanyikan begitu jujur. Membuka sisi lain dari gemerlapnya kehidupan kota. Mengungkap fakta bahwa mengadu nasib di kota, tak selalu membawa kehidupan yang lebih baik seperti yang banyak orang bayangkan. Tidak sedikit orang-orang tersesat dalam perburuan tanpa henti yang kadang mengikis kemanusiaan. Menginjak-injak keadilan. Juga memupus harapan”

Industri musik populer yang digawangi label-label ternama tampaknya kian hari kian murung nasibnya. Maraknya pembajakan serta tidak nge-trend lagi penggunaan nada sambung pribadi (NSP) yang sempat buming era 2000-an, membuat label-lebel tersebut harus memutar otak supaya dapur tetap bisa ngebul. Kualitas musik yang dilahirkan juga kerap menuai kritikan pendengar, mulai dari cengeng, cemen, kacangan, kampungan, dan beragam cacian lainnya. Memang masih ada beberapa musik yang sempat populer dan muncul ke permukaan, tapi popularitas tidak berlangsung lama, biasanya hanya dengar tiga sampai empat kali pendengar sudah mulai bosan. Tidak seperti lagu-lagu lama yang sampai sekarang masih tetap enak didengar, seperti karya-karya Iwan Fals, Ebit G. A. D., Crisye, Nike Ardila, dan Dewa misalnya. Lagu-lagu itu masih setia mengisi play list musik orang banyak, baik di hand phone, laptop, maupun komputer. Tak pernah membuat si pendengar bosan meski selalu menggema setiap hari dan setiap saat.

Di lain sisi, saat industri musik populer tengah berjuang lepas dari cengkraman kematian, musik-musik indie hadir sebagai musik alternatif dengan warna yang lebih segar. Musik-musik indie tampaknya sedang berada di titik kejayaan, setelah sebelumnya juga mengalami sebuah keterpurukan. Musik indie yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisasi seni oleh label-label pemilik modal juga sempat kehilangan jati dirinya, di saat nama indie dimaknai sebagai musik yang belum bisa menembus label musik profesional. Seiring perkembangan teknologi yang membuat proses perekaman lagu dan video klip semakin mudah, karya-karya band atau penyanyi indie semakin menjamur dengan berbagai aliran musik. Ditambah lagi dengan fasilitas publikasi bernama Youtube yang semakin populer, membuat para seniman musik indie tak pernah kesulitan lagi untuk mempublikasikan karya-karyanya.

Salah satu seniman musik yang berkarya lewat jalur indie adalah Silampukau, sebuah grup musik dengan aliran folk dan lirik lagu yang banyak mengisahkan fenomena-fenomena serta kritik sosial di Kota Surabaya. Inilah yang membuat Silampukau perlahan mulai merangkak, menuju sebuah popularitas. Bahkan salah satu acara reality show di televisi nasional sempat mengundangnya karena ciri khas mereka, lirik lagu yang dinilai tidak biasa. Lagu-lagu yang dinyanyikan Silampukau benar-benar terasa sebuah kejujuran, apa adanya namun tidak seadanya. Silampukau tidak segan-segan menggunakan kata-kata yang banyak dianggap tabu oleh masyarakat, namun tidak bisa dielakkan, memang seperti itulah keadaannya. Pendengar kerap dibuat melongo ketika mendengar karya-karyanya sambil bergumam, “benar juga ya”. Tidak akan banyak majas atau kata-kata indah yang ditemukan dalam syair lagunya, tapi justru itulah yang menciptakan keindahan tersendiri. Mungkin mereka memiliki prinsip seperti Dowes Deker, bahwa puisi yang paling puitis adalah kejujuran.

Saya tidak akan banyak bercerita tentang Silampukau, saya ingin mencoba bercerita tentang salah satu karya mereka, yaitu sebuah lagu dengan judul “Lagu Rantau (Sambat Omah)”. Lagu ini menarik perhatian saya karena begitu dekat dengan saya sebagai seorang anak yang hidup di perantauan. Ya, sejak tiga tahun silam saya hidup berstatus anak rantau di Kota Pelajar, Yogyakarta. Tiga tahun tentunya bukan waktu yang sebentar, apa lagi saat awal-awal menjalani kehidupan tersebut, maklumlah sebelumnya saya tak pernah hidup jauh dari keluarga. Beradaptasi dengan lingkungan, kawan, kultur, dan atmosfer masyarakat yang berbeda menjadikan awal-awal masa perantauan begitu berat. Tapi sebab utamanya satu, kerinduan pada keluarga dan kampung halaman yang makin hari sialnya makin bisa membuat sendu.

Bait pertama Lagu Rantau sangat jelas menggambarkan keadaan sial ini, “Waktu memang jahanam; Kota kelewat kejam; dan pekerjaan menyita harapan”.

Jam dinding di pojokan kamar kost terus berputar, lembaran kalender terus berganti, sayangnya nasib tak kunjung membaik. Dan keadaan terasa makin menyiksa setiap senja mulai menua, karena saat itulah saya tersadar, lagi-lagi saya menyia-nyiakan satu hari untuk memperbaiki nasib, dan malam hanya mampu menyisakan kutukan, Waktu memang jahanam!.

Yogya mungkin tidak sekejam kota megapolitan macam Jakarta, namun hidup di perantauan semua sama rasanya. Apa lagi saat tempat tinggal belum ada, kawan tak punya, dompet semakin menipis, namun waktu terus bergulir, menggilas tiada ampun. Setiap matahari mulai condong ke barat, otak mulai harus kembali berpikir, masjid mana lagi yang akan dijadikan tempat tidur. Walhasil, tidur di SPBU pun dilakoni sembari menahan lapar kala cacing-cacing di dalam perut mulai berontak. Ternyata seperti ini kejamnya kota, saat itulah saya heran, kok masih juga orang berbondong-bondong menuju kota.

Beruntung beberapa hari sebelum kuliah dimulai, saya sudah dapatkan tempat tinggal. Kamar kost berukuran 1.5 x 2.5 meter menjadi tempat saya melepas lelah setelah seharian bergulat dengan kerasnya kehidupan kota. Mendapatkan tempat tinggal bukan berarti permasalahan selesai. Badai memang berlalu, tapi badai baru selalu siap menerjang.

“Hari-hari berulang; Diriku kian hilang; Himpitan hutang; Tagihan awal bulan,” Bait yang semakin membuat saya tersindir.

Hari-hari melelahan terus berulang, tanpa banyak perubahan. Tanpa banyak perbaikan, yang banyak datang justru kerusakan. Membuat saya semakin tenggelam. Hilang ditelan raksasa bernama kota. Hutang mulai bertebaran, demi bertahan hidup. Awal bulan, ibu kost mulai cerewet. Tanda bayar sewa kost sudah jatuh tempo. Makan nasi putih, kerupuk, dan kecap itu sudah syukur. Sebab tak jarang ketika malam datang hanya bisa menahan lapar.

Bisa saja minta kiriman ke orang tua. Tapi itu sama saja tak punya muka. Memilih untuk kuliah adalah kemauan saya. Lamaran kerja sampingan tak kunjung ada jawaban. Pinjam ke teman, bulan kemarin saja belum diganti. Beruntung, kemampuan merayu saya cukup lihai. Ibu kost pun luluh, dan memberikan tenggat waktu pembayaran hingga beberapa hari ke depan.

“Demi Tuhan, Atau demi setan; Sumpah aku ingin; Rumah untuk pulang,” Begitulah gambaran perasaanku kala itu.

Bait berikutnya “Kota menghisapku habis; Tubuh makin tipis; Dompetku kembang kempis,” sebuah deskripsi tentang diri saya setelah beberapa bulan mengadu nasib di kota yang katanya istimewa ini. Gaji sebagai penulis lepas sering tak bisa menutupi kebutuhan. Tidak jarang keperluan kuliah merampas jatah untuk makan. Membuat tubuh kecil ini semakin kurus kering. Dompet, tidak perlulah saya jelaskan keadaannya.

Kadang saya iri pada burung di jalanan. Sesial apapun nasib mereka, saat malam tiba mereka tetap kembali ke sarang. Bertemu dan melepas rindu bersama anak istri. Begitu juga ketam, mereka hidup tenang di liang yang jadi rumahnya. Atau ikan-ikan yang bebas berenang di lautan. Hidup seperti tanpa beban. Seperti bait yang dinyanyikan Silampukau selanjutnya.

“Burung pulang ke sarang; Ketam diam di liang; Dan di lautan ikan-ikan berenang”.

Aku iri pada mereka. Punya rumah, punya kampung halaman. Melepas rindu bersama keluarga terkasih. Sedang aku masih bergantung pada tanah orang.

“Sumpah aku ingin rumah untuk pulang!”

Hanya anak rantau yang bisa merasakan kedalaman lagu ini. Kritik sosial pada kebangsatan kota dibawakan dengan alunan asyik ala musik folk. Bait demi bait lagu yang dinyanyikan begitu jujur. Membuka sisi lain dari gemerlapnya kehidupan kota. Mengungkap fakta bahwa mengadu nasib di kota, tak selalu membawa kehidupan yang lebih baik seperti yang banyak orang bayangkan. Tidak sedikit orang-orang tersesat dalam perburuan tanpa henti yang kadang mengikis kemanusiaan. Menginjak-injak keadilan. Juga memupus harapan.


Tidak banyak musik-musik seperti ini. Tidak takut kehilangan penggemar karena tak menyanyikan bait-bait puisi. Justru kejujuran dan kegamblangannyalah yang membuat lagu-lagunya lebih puitis dari puisi itu sendiri. Dan setelah ini, saya kembali harus melakoni hari-hari melelahkan sebagai anak rantau. Hari-hari penuh kutukan. Proposal skripsi yang tak kunjung di-acc. Berbagai artikel yang semakin mendekati deadline, padahal satu kata pun belum mampu saya tulis. Saya tahu, mengutuk keadaan tidak akan memperbaiki keadaan itu sendiri. Tapi hanya kutukan demi kutukanlah yang setia menjadi kawan dalam menjalani kehidupan yang semakin terkutuk ini. Terimakasih Tuhan, setidaknya saya masih bisa mengutuk apapun dan siapapun.


Komentar