Selepas berkelana di wilayah barat Yogyakarta saya tidak langsung pulang. Karena kebetulan satu arah, saya sempatkan bertandang dulu ke rumah kecil yang hangat, Fenomena. Selepas sayup-sayup adzan maghrib, baru saya sampai. Di depan sekretariat tampak dua pemuda yang hampir tidak terlihat lagi kemudaanya. Tubuh kurus kering dan kumal, rambut awut-awutan, mata sipit, langsung membuat saya bertanya, kapan terakhir mereka makan, mandi, dan tidur?
Dari jarak jauh sudah dapat saya pastikan,
mereka adalah Jono dan Joni (nama saya samarkan untuk menjaga privasi). Dua
gelas kopi hitam di tengah mereka tinggal setengah. Asap rokok mengepul.
Terlihat keresahan pada air muka keduanya. Tampaknya ada obrolan yang cukup
serius.
Karena cukup lelah dan sedang malas berpikir,
saya mengendap-endap memasuki sekretariat, menghindari forum panas mereka
berdua. Tapi karena memang tidak ahli melarikan diri saya ketahuan juga. Sebuah
kursi tidak sengaja tersenggol. Seketika itu keduanya langsung mendapati saya
yang sedang mengendap-endap mencoba memasuki sekretariat. Atas dasar kesopanan,
saya jabat tangan mereka. Tanpa bisa mengelak lagi, saya pun terseret dalam
forum mereka yang belakangan saya ketahui sedang mengobrolkan SPI.
Bukan Serikat Petani Indonesia. Bukan juga
Serikat Pemuda Islam, apa lagi Sekolah Pecinta Indonesia (yang ini saya juga
nggak tahu apa). Tapi Sumbangan Pengembangan Institusi. Sebelum 2013, SPI lebih
eksis dengan nama uang pangkal. Uang pangkal ini dibayarkan satu kali selama
masa studi. Biaya ini lah yang membangun perspektif di tengah masyarakat, bahwa
kuliah itu mahal.
Namun seiring diberlakukannya Uang Kuliah
Tunggal(UKT) pada 2013 sebagai sistem pembayaran biaya kuliah, SPI mulai
ditiadakan. UKT sendiri dulunya ditujukan untuk menyederhanakan pembayaran
biaya kuliah, mengatasi maraknya pungutan liar (pungli) salah satunya. Sehingga
pembayaran biaya kuliah hanya dilakukan sekali setiap semester. Dengan
diberlakukannya sistem UKT, maka SPI, uang gedung, biaya administrasi, biaya
KKN-PPL, dan lainnya ditiadakan. Secara serentak, semua perguruan tinggi negeri
mulai memberlakukan UKT pada tahun 2013.
Mulai tahun 2018 ini, UNY akan menghidupkan
kembali SPI yang sudah tiada sejak 2013 lalu. Tampaknya kampus pendidikan
terbesar di DIY ini akan mengikuti jejak kampus-kampus lain seperti UNDIP,
Unair, Brawijaya, ITS, UM, USU, Unnes, Unej, dan kampus-kampus negeri lain yang
sudah memberlakukan SPI lebih dulu. Belum jelas bagaimana mekanisme dan besaran
SPI yang akan dibebankan kepada calon mahasiswa baru UNY. Hingga kini, pihak
universitas masih tertutup untuk membicarakan persoalan itu. Tapi jika
mendengar informasi dari dua sejoli Jono dan Joni, tahun ini UNY dipastikan
akan memberlakukan kembali SPI.
Saya percaya dengan informasi kedua sejoli
itu karena sekarang mereka masih aktif dalam dunia organisasi mahasiswa.
Sedangkan saya sudah cukup lama gantung seragam korsa, sebuah simbol
keaktivisan mahasiswa. Mereka kerap menghadiri forum-forum diskusi, baik dengan
organisasi-organisasi lain maupun dengan pihak birokrat kampus. Karena itu saya
bisa mempercayai informasi yang mereka sampaikan valid. Ibarat hadits, adalah
hadits yang sahih.
Baru saja duduk, mereka langsung mencerca
saya dengan berbagai pertanyaan tentang SPI. Seolah saya adalah pesakitan yang
sedang diinterogasi. Bahkan saya berani bersumpah, tidak ada konspirasi apa pun
antara saya dan birokrat kampus dalam pemberlakuan SPI. Merasa diperlakukan
tidak menyenangkan, rasanya saya ingin melempar gelas berisi kopi ke wajah
mereka sembari misuh-misuh. Beruntung saya adalah orang yang sabar dan
tak suka misuh, dengan pikiran dingin saya berhasil meredam
emosi yang hampir meluap. Memang benar, semester tua membuat siapa pun
penyandangnya menjadi sensian, emosian, bahkan dengan hal-hal remeh begitu. Jan*cuk !
“Memang apa
yang kalian persoalkan dari diberlakukannya SPI?” tanya saya membalikan pertanyaan,
mencoba memberikan serangan balik.
“Kalau sudah pakai UKT, kenapa masih ada SPI? Lalu apa artinya
tunggal dalam UKT itu?” jawab
si Joni bersemangat sambil memukul-mukul meja yang tak salah apa-apa. Mungkin
Ia membayangkan meja itu adalah birokrat kampus. Atau dia sedang membayangkan
sedang berdebat dengan Ruhut Sitompul dan Fahri Hamzah di sebuah talk show milik
Mbak Najwa.
“Sudah pelajari regulasinya?.” Tanya saya lagi menguji mereka.
“Kalau dalam regulasinya, memang tidak ada larangan kampus untuk
memberlakukan SPI kepada mahasiswa jalur mandiri,” kali ini Jono yang menanggapi tak kalah
semangat.
Meski sudah menerapkan sistem UKT, kampus
memang masih diperbolehkan menarik pungutan lain di luar UKT. Dalam
permenristekdikti No. 22 Tahun 2015, kampus diizinkan menarik pungutan di luar
UKT kepada mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa jalur
kerja sama, serta mahasiswa jalur mandiri.
“Terus masalahnya buat kalian apa? Bukannya kalian nggak masuk
lewat jalur mandiri? Lagian SPI kan buat angkatan 2018. Jadi nggak pengaruh
apa-apa buat kalian?” tanya
saya mencoba menggoyahkan opini mereka.
“Kata
siapa tidak ada pengaruhnya untuk kita? Kalau sekarang biaya kuliah terus naik,
belum ditambah pungutan ini pungutan itu, berapa besar biaya kuliah anak cucu
kita besok? Lagian ini bukan sekadar kita terkena imbas atau tidak. Oportunis
sekali kita jika melihat adik-adik kita didzalimi tapi kita malah asik main
game online. Kita berbicara sesuatu yang lebih besar. Kita berbicara
kemanusiaan. Bagaimana membela hak-hak adik-adik kita sebagai manusia, sebagai
warga negara. Hak memperoleh pendidikan yang layak,” Jono melanjutkan, seolah-olah ingin menghabisi
saya dan argumen yang saya lontarkan.
Saya sedikit tersenyum kecil. Sedikit
bangga melihat semangat aktivisme mereka yang masih membara.
“Sekarang kan UNY sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan
infrastruktur. Sebanyak 13 gedung baru dibangun hampir di semua fakultas.
Bukankah wajar jika UNY memberlakukan SPI untuk membantu proses
pembangunan?” kejar
saya, ingin tahu seberapa kuat pendirian dan argumen mereka.
“Oke, jika memang semua itu digunakan untuk menunjang pembangunan
gedung dan infrsatruktur lain, apakah siap mereka melaporkan semua secara
rinci? Mana transparansinya? Sedangkan sejak dulu kita minta transparansi
keuangan mulai dari sumbernya dari mana saja, berapa pemasukannya, berapa
pengeluarannya, untuk apa saja, sampai sekarang hanya di PHP. Mereka memang
menjanjikan transparansi, tapi janji lama mereka saja belum dipenuhi, bagaimana
kita bisa percaya dengan janji-janji yang baru?” Kali ini Joni yang menanggapi setelah
menyesap tandas kopi dalam gelasnya.
“Berarti selama ini belum ada alasan kenapa SPI kembali
diberlakukan?”
“Alasannya ya itu, kata mereka UKT dan bantuan dari pemerintah
tidak cukup untuk mengembangkan kampus. Tapi mana buktinya? Kalau memang tidak
cukup, memang berapa pemasukannya? Berapa yang dibutuhkan? Lalu berapa
kurangnya? Kalau ada itu semua kan kita bisa percaya. Semua jadi lebih jelas.
Tidak ada yang namanya prasangka macam-macam. Kita harus berbicara atas dasar
data, speak by data. Jangan seperti politikus yang hanya membual saja,”
Saya teringat sebuah pidato Muhammad Zainuri, Pembantu Rektor I Universitas Diponegoro yang dimuat dalam kampusundip.com. Dalam pidatonya, Muhammad Zainuri mengatakan bahwa SPI tidak digunakan untuk membangun gedung, sebab setiap pembangunan gedung pasti sudah disediakan oleh negara.
“Tidak ada istilah SPI itu digunakan untuk mbangun gedung. Tidak
ada. Ya! Bahwa kadang-kadang, “Ooohh… soalnya Undip butuh mbangun gedung
banyak.” Tidak! Setiap pembangunan gedung pasti disediakan oleh anggaran
negara, dan tidak dibebankan kepada pendanaan masyarakat, atau UKT. Ini mohon
dicatat baik-baik!,” ujarnya
seperti yang dilansir kampusundip.com.
Tapi itu di Undip, entah dengan UNY. Karena
ada peribahasa yang berbunyi ‘Lain
ladang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya’. Karena sampai sekarang pun saya belum
menemukan data tertulis resmi terkait penggunaan anggaran oleh kampus. Entah
karena saya yang malas mencari informasi atau memang karena tidak pernah
dipublikasikan.Hanya ada beberapa pernyataan saja dari wawancara kepada
birokrat kampus, bahwa SPI ditujukan untuk menunjang pembangunan sarana dan
prasarana seperti gedung dan laboratorium.
“Kamu
belum jawab pertanyaan saya Mas. Bagaimana pendapatmu tentang akan
diberlakukannya lagi SPI di UNY?” Tanya Joni tiba-tiba menyadarkan saya dari lamunan.
“Emm,
sebagai mahasiswa yang berpemikiran maju, saya sangat sepakat dengan kebijakan
itu”
Mendengar jawaban itu, dua sejoli si Jono
dan Joni melotot. Bola mata mereka seolah hendak loncat dari kelopaknya.
“Nggak usah kaget begitu, biasa saja. Saya sepakat dengan
diberlakukannya SPI karena ini adalah momentum. Isu yang bisa dijadikan musuh
bersama untuk kemudian bersatu. Tidak melulu ribut karena konflik horizontal
kekanak-kanakan antar organisasi, golongan, ideologi sesama mahasiswa. Tapi
jika isu ini ternyata memuai begitu saja, tidak bisa juga merangsang gairah
perlawanan mahasiswa saya hanya bisa berdoa. Semoga sejarah tidak mencatat
sepak terjang mahasiswa di era kalian,” jawab saya menutup obrolan petang itu.
Sumber:
UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012
Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015
Pertama diterbitkan di wartafeno.com
Komentar
Posting Komentar