SEKITAR seminggu lalu pengumuman kelulusan untuk sekolah
menengah tingkat atas sudah dilaksanakan. Seperti tahun-tahun sebelumnya,
siswa-siswi yang baru saja lulus, merayakannya dengan konvoi, tidak ketinggalan
mencoret-coret seragamnya dengan cat semprot. Di beberapa tempat bahkan
perayaan siswa-siswi ini membuat kemacetan lalu lintas. Sudah seperti menjadi
rutinitas juga bahwa akan selalu ada nyinyiran terhadap tingkah mereka,
terutama di sosial media. Sudah menjadi rahasia bersama, bahwa hampir tidak ada
yang terlewat dari perhatian dan nyinyiran warganet yang terkenal aduhay
pedasnya. Mungkin pantas apabila warganet kita diberi penghargaan “the most
malignant netizens in the world”.
Benar saja, di malam hari setelah kelulusan itu, satu,
dua, dan mulai banyak teman saya di sosial media mulai menjadi penceramah
dadakan. Hemm, saya kira hanya tahu bulat dan panggilan dosen pembimbing saja
yang dadakan. Ada yang berceramah dengan sangat bijak, seolah ingin menjadi
pengganti Mario Teguh yang sudah lama tak kelihatan batang hidungnya di
televisi. Atau menyerupai Tere Liye yang kerap menuliskan kata-kata bijak namun
ndakik-ndakik, seolah Ia sedang menasihati malaikat.
“Bersiaplah nak, kehidupanmu baru dimulai. kamu akan
mengalami hidup yang sesungguhnya ujian kehidupan, bukan ujian sekolahan. Bila
kalian tidak sanggup maka kuburan sudah menantimu,” tulis salah satu warganet
yang muncul di beranda Facebook saya.
“Di saat mereka bahagia akan keberhasilannya menempuh
lamanya 12 tahun masa sekolah maka kalian tak sadar bahwa inilah roda kehidupan
yang sesungguhnya. Maka jangan kau bersenang ria dulu kawan bahwa perjalanan
hidupmu baru di mulai selamat menempuh jalur kehidupan yang
sesungguhnya, selamat datang
calon pengangguran 2018,” tulis kawan Facebook saya yang lainnya sembari
mengunggah sebuah video konvoi anak-anak SMA.
Ada pula sosok manusia berhati malaikat yang turut
berkomentar.
“Lebih baik seragamnya dikasih pada orang yg membutuhkan
lebih bermanfaat, daripada dicoret-coret seperti itu” benar-benar budiman,
bijak, dan dermawan kan warganet kita yang satu ini.
Tapi tak semua warganet sebijak kawan saya yang satu itu.
Tidak sedikit juga yang mengekspresikan kekesalannya kepada anak-anak SMA itu
dengan cacian makian yang penuh kutukan dan pisuhan. Tapi saya tak mau memuat
komentar mereka di tulisan ini. Sebab itu bisa memicu kominfo kembali mem-blok
blog saya dengan tuduhan ujaran kebencian. Jancuk!
Saya scroll lagi beranda sosial media saya ke bawah, dan
saya temukan sebuah video yang cukup menarik. Anak-anak SMA yang tengah konvoi
merayakan kelulusan dengan baju yang sudah warna-warni itu disiram menggunakan
air comberan oleh warga sekitar dari pinggir jalan. Dari mulai anak-anak,
mas-mas, bapak-bapak, sampai emak-emak berhijab besar tampak begitu bahagia
menyiramkan air comberan kepada setiap anak yang tengah melaju kencang dengan
sepeda motornya. Sejenak saya berpikir, ternyata kelakuan anak-anak dan
adik-adik kita ini ada positifnya juga. Mereka mampu memberikan kebahagiaan
kepada masyarakat kita yang mungkin sangat minim hiburan dan jarang merasa
bahagia. Tapi harus dengan cara seperti ini kah masyarakat kita mendapatkan
kebahagiaan? Ketika agama dan negara yang jadi harapan tak bisa memberi
harapan, maka anak-anak SMA lah yang jadi pelarian. Tidak menutup kemungkinan
kejadian semacam ini akan menjadi tradisi rutin setiap tahunnya. Menjadi
semacam hari raya baru di samping lebaran, natal, tahun baru yang selalu meriah
perayaannya.
Namun akhirnya yang membuat saya resah bukanlah fenomena-fenomena
itu. Bukan cacian, makian, kutukan, dan pisuhan masyarakat kepada anak-anak
SMA. Bukan tentang masyarakat yang memberikan pelajaran kepada anak-anak itu dengan
menyiramnya pakai air comberan. Bukan tentang bagaimana mendidik anak sesuai
dengan filosofi pendidikan yang ndakik-ndakik. Yang membuat resah sekaligus
menarik bagi saya adalah, mengapa yang menjadi sasaran bullying, sasaran
cacian, makian, hinaan, pisuhan, kritikan, selalu anak-anak SMA yang tengah
berbahagia itu? Kenapa kita tak pernah mencoba menarik lagi persoalan itu lebih
ke hulu. Kenapa yang selalu menjadi fokus perhatian masyarakat kita selalu
tentang ‘akibat’, bukan ‘sebab’?
Begini kawan-kawan yang budiman, perilaku anak-anak yang
meresahkan itu hanyalah konstruk. Apa yang mereka lakukan adalah endapan, hasil
dari apa yang mereka temui dan dapatkan setiap hari baik di dalam keluarga,
lingkungan masyarakat, dan tentunya sekolah. Karena mereka adalah siswa, maka
faktor yang memegang peran terbesar di sini adalah sekolah. Apa yang
siswa-siswi kita lakukan adalah cerminan sekolah-sekolah kita. Lebih sempit
lagi, siswa adalah cerminan guru-gurunya. Saya tak mau menyalahkan sekolah,
karena tanpa disalahkan harusnya sekolah sadar, jika memang mereka mau
berrendah hati untuk berkaca.
Satu hal terpenting yang kerap lepas dari perhatian kita adalah, mengapa anak-anak itu begitu bahagia ketika lulus dari sekolahnya? Jika kita perhatikan, mereka seperti orang-orang pesakitan yang baru saja keluar dari bui.
Kebahagiaan mereka ibarat para budak yang baru saja merdeka dari tuannya. Tingkah mereka sudah seperti reaksi rakyat Indonesia ketika Bung Karno membacakan teks proklamasi tahun 1945 silam. Pertanyaannya, apakah sekolah kita sudah menyerupai bui untuk mereka? Apakah sekolah kita sudah seperti tuan-tuan yang kerap menyiksa budaknya dan memperlakukan tak manusiawi? Apakah sekolah kita menyerupai kolonial Belanda dan Jepang yang pernah membawa rakyat Indonesia ke dalam penderitaan dan kesengsaraan berkepanjangan (Bahkan dampaknya masih dapat kita rasakan sampai sekarang)? Apakah sekolah kita semengerikan itu, sehingga anak-anak itu teramat bahagia ketika lulus dan merdeka darinya?
Saya rasa tak perlu kita bahas bangunan sekolah yang
hampir semua kini sudah dikepung pagar tinggi dan tebal seperti penjara. Bahkan
tidak jarang di bagian atasnya dihiasi dengan kawat berduri yang tajam, kalau
tidak beling-beling pecahan kaca. Tak perlu juga kita bahas aturan-aturan
sekolah yang sangat mengekang siswa-siswi kita bahkan hingga pada ranah paling
pribadi mereka. Tidak perlu kita bahas tugas-tugas sekolah yang seperti tak ada
habisnya, hingga menyita waktu mereka bermain, mengaji, membantu orang tua,
juga waktu istirahat. Tak perlu kita bahas tentang guru-guru yang hanya
menjadikan mereka objek pembelajaran. Tidak perlu kita bahas juga
sekolah-sekolah yang sekarang visinya tidak lagi memanusiakan manusia,
melainkan merobotkan manusia. Atau ke tingkat yang lebih makro, tidak perlu
kita bahas tentang sekolah yang kini hanya menjadi anjing penjaga kapitalisme.
Tidak perlu kita bahas itu semua. Sebab sudah banyak artikel-artikel yang
membahas soal-soal itu. Kita serahkan saja pada sekolah-sekolah kita. Sekali
lagi, semoga saja mereka berkenan untuk bersikap rendah hati dan bercermin.
Kita tidak pernah menuntut sekolah karena
kenalpot-kenalpot siswa-siswi SMA yang kerap memekakan telinga ketika sedang
konvoi merayakan kelulusan. Yang menjadi tokoh antagonis selalu anak-anak kita
yang tengah mencari jati diri itu. Bukankah kebahagiaan mereka sama hal nya
dengan kebahagiaan kita ketika merayakan lebaran? Sama ketika kita merayakan
natal? Juga sama ketika kita merayakan meriahnya tahun baru? Bagi mereka, itu
adalah salah satu hari raya mereka. Soal bagaimana cara mereka merayakannya,
apakah kita juga perlu menyalahkan orang-orang yang merayakan lebaran dengan
foya-foya? Konvoi keliling kota sembari menabuh bedug dan menyulut petasan yang
bukan hanya memekakan telinga tapi juga membuat jantung hampir copot di malam
lebaran atau tahun baru. Apakah kita juga perlu mengkritik umat kristiani yang
merayakan natal dengan pesta pora, sedangkan Nabi Isa lahir dalam kesederhanaan?
Saya rasa itu juga tidak perlu.
Kita perlu menyadari, bahwa cacian dan makian bukanlah
cara terbaik mendidik anak-anak yang tengah berbahagia itu. Mereka justru akan
semakin brutal, semakin menikmati semua itu. Semakin ditekan, maka akan semakin
kuat mereka melawan. Jangan melulu kita matikan optimisme mereka, bagaimanapun
mereka adalah aset berharga kita. Kasihanilah mereka, kapan lagi mereka
merasakan kebahagiaan HQQ seperti itu. Toh setelah itu mereka akan dipaksa
untuk bergelut dengan kenyataan yang semakin bangsat. Jika bukan saat itu,
kapan lagi mereka bisa merasakan kebahagiaan? Kita harus melihat mereka sebagai
murid dan bersikap sebagai orang dewasa. Ketika kita menyikapi tingkah
anak-anak itu dengan cara yang kekanak-kanakan juga, lalu apa bedanya kita
dengan mereka? Dan rasa-rasanya pepatah lama masih berlaku, bahwa tak ada murid
yang bodoh atau nakal, yang ada adalah guru yang gagal.
Yogya, 9 Mei 18.
sumber gambar: regional.kompas.com
sumber gambar: regional.kompas.com