"Kakek, mengertilah, saya tak mau sekolah lagi, saya lelah. Bukannya lelah belajar, tapi saya lelah berada dalam sistem formal yang memperbudak dan mengekang"
HAMPIR empat bulan ini
saya belum juga pulang ke kampung halaman. Padahal kampung halaman saya tidak
jauh-jauh amat, hanya perlu empat jam jika mengendarai Mio dengan kecepatan
sedang. Lebih jauh jarak yang selama ini memisahkan kita pokoknya. Duh.
Entah berapa kali sehari
Bapak, Ibu, dan Adik di rumah menanyakan kepulangan saya. Setiap ada pesan dari
mereka, sudah bisa saya tebak apa isinya, meski belum saya buka pesan itu.
Begitu pun ketika handphone saya berdering
karena ada telefon dari mereka, saya selalu bisa menebak apa saja pertanyaan
mereka meski belum saya angkat. Intinya pasti selalu “kapan pulang?”. Apa lagi di
bulan puasa seperti ini, pertanyaan-pertanyaan itu semakin intens saja
ditujukan kepada saya. Dan paling sering saya jawab “Apa? Suaranya ndak jelas,
di sini berisik banget,” sembari membanting dan menendang apa saja di sekitar
saya supaya terkesan ramai. Heuheu, maaf
Pak, Buk, anakmu tak bermaksud durhaka.
Bukan berarti saya tak rindu
dengan kampung halaman, dengan keluarga, dengan ikan lele di kolam belakang
rumah, dengan tanaman-tanaman saya yang entah kini nasibnya, bukan. Bukan
berarti juga saya tak ingin berbuka puasa dan sahur bersama keluarga, bukan. Hanya
saja ada satu hal yang membuat saya harus menguatkan niat berkali-kali untuk
pulang, yaitu tuntutan untuk jadi PNS dari Kakek saya.
Kuliah di kampus
kependidikan selalu mengidentikkan saya sebagai calon guru. Dan guru tidak
pernah jauh-jauh dari PNS. Inilah yang membuat Kakek saya selalu getol menanyai saya, “sudah ada rencana
mau ke sekolah mana belum? sudah mulai cari-cari info pendaftaran PNS belum?
sudah ikut tes CPNS belum?”. Begitulah paradigma masyarakat desa. Meski zaman
sudah semakin berkembang, profesi semakin beraneka ragam, tapi PNS masih tetap
menjadi primadona. Ditambah lagi iming-iming berbagai tunjangan sertivikasi,
jaminan kesejahteraan hidup dan sebagainya, membuat PNS menjadi calon menantu
idaman setiap mertua. Semoga tidak termasuk orang tua mu ya Dhek, uhukuhuk.
Saya selalu memutar otak
mencari alasan yang tepat untuk menjawab setiap pertanyaan Kakek saya. Untuk
menjelaskan kepada belio, bahwa saya tidak ingin jadi PNS. Tapi tentu tidak
bisa saya jelaskan menggunakan perspektif mahasiswa, dengan bermacam teori-teori
aneh yang biasa kawan-kawan saya katakan tatkala kita sedang ngopi. Tidak bisa
juga saya gunakan alasan bahwa PNS itu tidak merdeka, dikekang oleh
sistem-sistem busuk hingga menyeret mereka menjadi pribadi-pribadi yang busuk
juga. Tidak mungkin, secara beberapa keluarga saya adalah PNS. Bisa-bisa bukan
hanya kakek saya yang jadi musuh ideologi saya, tepi juga Pakdhe, Pakle,
Mbakyu, dan Kakak Ipar saya.
Duh,
andai saja kakek saya tahu, bahwa jalan menjadi PNS tidak semulus ketika zaman
Pakdhe saya. Andai saja kakek saya tahu, untuk menjadi PNS saya harus siap
dengan sistem labil, yang setiap tahun terus berubah. Andai saja kekek saya
tahu, bahwa agar bisa jadi PNS saya harus sekolah lagi selama satu tahun,
namanya PPG. Bagi mahasiswa kependidikan tentu akrab dengan program
kontroversial yang dipaksakan ini. Ya, supaya bisa jadi guru dan diangkat jadi
PNS, saya harus melewati tahap ini. Kakek, mengertilah, saya tak mau sekolah
lagi, saya lelah. Bukannya lelah belajar, tapi saya lelah berada dalam sistem formal
yang memperbudak dan mengekang. Biarkan saya belajar di tempat lain, di
jalanan, di kebun, di sawah, di toko buku bekas dan bajakan, di dalam kendaraan
umum yang sesak, di warung kopi yang remang-remang, di gunung, di hutan, di laut,
di mana saja asal tidak di dalam kelas formal. 16 tahun adalah waktu yang
terlalu lama bagi saya mendekam dalam penjara yang bernama pendidikan formal
ini. Dan sekarang, biarkan saya lepas dan menghirup udara segar di luar sana.
Dengan mengikuti program
PPG saya juga merasa harga diri sebagai mahasiswa kependidikan yang sudah
ditempa bertahun-tahun menjadi pendidik profesional layaknya diinjak-injak. Untuk
apa saya lama-lama sekolah kependidikan kalau akhirnya untuk bisa jadi guru
harus ikut program PPG lagi? Baiklah, saya masih bisa toleransi ketika PPG itu
hanya ditujukan bagi sarjana-sarjana non-kependidikan (bukan maksud saya
rasis). Nyatanya program ini diwajibkan kepada siapa saja yang ingin menjadi
guru, khususnya guru PNS. Baik itu sarjana kependidikan maupun non-kependidikan
tidak ada bedanya. Sarjana kependidikan harus mengulang kembali mata kuliah
yang itu-itu saja, PPL lagi, bikin RPP lagi, bikin materi lagi, dan sebagainya
dan sebagainya. Sedangkan sarjana non-kependidikan harus bisa melahap semua
materi kependidikan ditambah PPL hanya dalam waktu satu tahun.
Padahal empat tahun saja belum tentu cukup untuk mendidik seorang calon pendidik sampai dia jadi pendidik yang kompeten. Jadi tidak heran ketika pada suatu obrolan di angkringan, kawan saya berceloteh “Saya tidak rela anak-anak saya dididik oleh guru-guru instan. Lha wong kita saja yang kuliah kependidikan empat tahun lebih masih kayak gini kok. Apa lagi mereka yang belajar bagaimana menjadi pendidik yang baik hanya dalam satu tahun?”.
Padahal empat tahun saja belum tentu cukup untuk mendidik seorang calon pendidik sampai dia jadi pendidik yang kompeten. Jadi tidak heran ketika pada suatu obrolan di angkringan, kawan saya berceloteh “Saya tidak rela anak-anak saya dididik oleh guru-guru instan. Lha wong kita saja yang kuliah kependidikan empat tahun lebih masih kayak gini kok. Apa lagi mereka yang belajar bagaimana menjadi pendidik yang baik hanya dalam satu tahun?”.
Di lain waktu, di
angkringan yang berbeda, saya sempat ngobrol dengan seorang pria paruh baya. Obrolan
kami dimulai dari hal-hal sepele dan tidak penting, seperti kuliah di mana,
asli mana, semester berapa, hingga ke pembahasan yang sangat menyebalkan bagi
saya.
“Kuliah di UNY? Berarti
nanti jadi guru ya mas?”
“Eh, nggih, insyaallah
Pak”
“Sekarang jadi PNS enak
kok mas, kesejahteraannya semakin diperhatikan”
“Guru Pak, bukan PNS”
“Lho, memangnya masnya
ndak mau jadi PNS?”
Saya hanya diam,
membalas dengan senyum kecut sembari menghembuskan asap rokok perlahan.
“Ya ya, saya paham mas. Pasti karena citra PNS yang jelek di mata umum. Pemalas lah, kerja seenaknya lah, tapi mintanya naik gaji mulu. Tapi gini mas, kalau selamanya orang-orang baik enggan jadi PNS, selamanya juga PNS akan diisi orang-orang yang penuh borok”
“Eh, nggih Pak, betul”
Saya kaget dan terkesan
dengan pemaparan pria paruh baya ini. Saya mulai curiga, siapa sebenarnya pria
ini. Tapi dari kuliah singkat yang diberikannya di bangku angkringan ini saya
menjadi semakin yakin. Bukan yakin untuk jadi PNS, justru yakin dengan pendirian
lama saya. Saya tidak mau jadi PNS. Kenapa? Karena saya bukanlah termasuk orang-orang
baik seperti yang disampaikan pria misterius yang kini sedang menyesap sisa
kopinya itu. Dan saya akan tetap memegang teguh cita-cita lama saya untuk
menjadi petani muda sukses yang punya usaha sampingan sebagai pengusaha
properti dan tambang emas sekaligus jadi ketua umum partai politik. Dan untuk
Ibu yang dari dulu ingin sekali anaknya menjadi guru, mohon maaf Bu, sepertinya
anak pertamamu tidak mampu mewujudkan mimpimu. Sebagai gantinya, akan saya
usahakan mencari seorang guru untuk jadi menantumu.
sumber gambar: tabloidbintang.com
sumber gambar: tabloidbintang.com