ADA satu proyek wajib
bagi mahasiswa tua macam saya di perguruan tinggi. Namanya imut dan klise:
“proyek membahagiakan orang tua”. Secara formal ia disebut skripsi (maaf saya
menyebut kata tabu). Sifatnya paradoks, satu sisi membahagiakan orang tua pada sisi
lain ia menjadi proyek paling menyebalkan. Bagian membahagiakan orang tua
karena anaknya tidak masuk daftar mahasiswa drop
out (DO) misalnya. Sedangkan
bagian menyebalkan dari proyek ini mengurangi waktu kencan kita bersama qeqasi.
Sebel nggak sih?
Proyek klise ini
menguras pikiran dan perasaan. Bahkan tidak jarang menguras anggaran belanja
yang tidak masuk dalam perencanaan. Misalnya untuk mencetak naskah skripsi yang
hanya menjadi coretan revisi dosen pembimbing untuk menunjukkan eksistensinya.
Satu dua kali tidak jadi masalah. Lain cerita ketika setiap bimbingan harus
membawa naskah baru dengan biaya cetak setara biaya hidup untuk dua hari. Belum
lagi inflasi yang membuat mahasiswa proletar susah mendengar biaya fotokopi.
Sementara itu pengurusan
izin melakukan penelitian masih berbelit. Ini memperburuk kondisi dompet
mahasiswa yang kering menjadi kerontang meski sedang musim penghujan. Bukan
karena adanya pungli tapi ongkos perjalanan dengan kendaraan motor matic keluaran lama. Ingin tahu borosnya
bahan bakar? Lihat saja orang yang sedang ‘beser’ akut, bahan bakar seperti
dibuang tanpa ada rasa sayang. Macam mantan yang tak pernah berharap balikan
gitu deh. Sialnya proses permohonan surat tersebut tidak cukup satu hari.
Belum selesai biaya
fotokopi dan bahan bakar mencekik, saya harus berhadapan dengan kenyataan untuk
membeli buku yang sama sekali tidak kita sukai. “Besok kamu bawa semua buku
yang kamu pakai sebagai sumber untuk dasar teorimu,” kata dosen pembimbing saya
yang kemarin pamitan keluar kota untuk tiga minggu ke depan.
Walhasil hari itu juga
saya pergi ke salah satu toko buku paling ternama di kota Pendidikan ini.
Sebenarnya bisa saja meminjam buku di perpustakaan kampus, namun prosesnya yang
tidak mudah membuat saya mengurungkan niat. Saya harus menelusuri rak demi rak
untuk menemukan buku yang saya butuhkan. Karena komputer yang disediakan
perpustakaan untuk mencari judul, nama pengarang lengkap dengan posisi rak
berbeda dengan kenyataannya. Buku yang seharusnya ada di rak A, misalnya, bisa
berpindah ke rak 36B. Belum lagi aturan perpustakaan kampus saya bahwa satu
mahasiswa hanya boleh meminjam dua buah buku untuk satu minggu. Hal-hal
menyebalkan itulah yang memantapkan saya memilih Gramedia di simpang empat Jl.
Soedirman daripada perpustakaan kampus.
Sesampainya di sana, buku yang saya cari tengah bertahta anggun di singgasananya. Perasaan ini sempat lega meski tak bertahan lama. Semuanya sirna ketika saya membalik buku itu dan melihat label harga di belakangnya.
“Kalau begini ceritanya,
anggaran hidup saya selama sebulan bisa habis. Apalagi perekonomian dunia
sedang lesu, sangat susah mencari investor asing untuk menyokong pembangunan
masa depan saya,” gerutu saya dalam hati. Pantas saja kesadaran literasi kita
rendah, lha wong harga buku saja mahalnya minta ampun kok. Padahal setelah saya membuka
salah satu buku yang tak bersampul, hampir semua isinya itu ada di Google. Sayang sekali jika saya harus
menghabiskan anggaran sebesar itu untuk membeli buku sekali pakai, demi
melengkapi kutipan yang tak genap satu paragraf di skripsi saya. (Ah, maaf saya
menyebut kata tabu itu lagi).
Akhirnya dengan berduka
hati saya letakkan kembali buku-buku itu di singgasananya dan saya putuskan
untuk pulang. Ketika menuruni tangga, tiba-tiba saya teringat ucapan teman
tentang sebuah toko buku bajakan di sekitar Gramedia. Sebuah harapan kembali
tumbuh. Sebelum terjebak malam, bersama Mio biru saya pacu dengan cepat ke
tempat itu.
Apa yang saya dapatkan
di sana? Sangat kontras dengan toko buku pertama tadi yang rapi, wangi, dan
ber-AC. Di sini hanya ada berjejer kios-kios sederhana di sepanjang jalan.
Setelah mengamati beberapa saat, saya menuju ke salah satu kios yang koleksi
bukunya terlihat paling lengkap.
“Wonten buku niki Pak?” tanya saya sembari menunjukkan sebuah
foto di layar HP butut saya.
“Ono Mas,” jawabnya setelah mengamati foto
yang saya tunjukan
“Pinten Pak?
“Telungpuluh wae Mas”
Asal kalian tahu saja
warganet yang budiman, harga buku di toko pertama tiga kali lebih mahal dengan
yang ada di sini. Benar saja toko buku ini begitu familiar di kalangan
mahasiswa. Itupun masih bisa ditawar. Saya bisa memiliki buku itu dengan mahar
sebesar dua puluh ribu dibayar tunai. Dengan kisaran harga segitu, saya beranikan diri
berinvestasi untuk empat buah buku. Setidaknya mereka bisa menjadi hiasan di
dinding kos saya.
Sepanjang perjalanan
pulang, saya mulai sadar pentingnya toko buku bajakan di kota yang menjadi
kawah candradimuka-nya pelajar ini. Kehadirannya bagai pelita dalam kegelapan.
Laksana embun penyejuk dalam kehausan. (Kayak pernah dengar kata-kata ini
ketika SD dulu). Yang jelas kehadiran toko buku bajakan sangat membantu tugas
para pelajar dan mahasiswa. Dari tempat itu mereka tetap bisa memberikan
nutrisi yang seimbang untuk otak dengan biaya yang ramah terhadap kantong. Dari
toko buku bajakan lah mahasiswa-mahasiswa kelas proletariat bisa merebut haknya
ketika ilmu-ilmu dikomersialisasikan begitu dahsyatnya. Dari toko-toko buku
bajakanlah mahasiswa bisa tetap ada dan berproses. Karena dari sana lah pengetahuan-pengetahuan
mereka dapatkan sebagai sarana menunjukkan eksistensi mereka sebagai mahasiswa.
Hidup toko buku bajakan!