TUHAN menciptakan alam
semesta beserta isinya melalui sebuah proses yang panjang. Tidak
sekonyong-konyong, tidak tiba-tiba, tidak ujug-ujug,
tidak dadakan seperti menggoreng tahu bulat. Mahluk pertama yang diciptakan
Tuhan adalah Nur Muhammad (cahaya), dari cahaya itulah nantinya akan terbentuk
gas dan padatan. Dari padatan ini akan terbentuk tata surya dan planet-panet,
termasuk bumi. Di alam semesta itu nantinya baru Tuhan ciptakan air dan udara
serta habitat dasar alam semesta. Setelah habitat dasar itu diciptakan baru
Tuhan menciptakan tumbuh-tumbuhan serta binatang. Jauh sebelum Tuhan
menciptakan tumbuhan dan binatang, Tuhan sudah lebih dulu menciptakan malaikat
dan jin. Baru setelah binatang diciptakan, Tuhan menciptakan manusia. Sehingga
dalam lingkungan keluarga antar mahluk, manusia adalah anak bungsu dari semua
mahluk yang diciptakan Tuhan.
Sebagai anak bungsu,
menghormati kakak-kakaknya, kangmas-nya, mbakyu-nya, adalah suatu keharusan
jika ingin disayangi kakak-kakaknya. Namun manusia hadir sebagai anak bungsu
yang pongah, yang merasa menjadi anak emas di antara yang lain, merasa menjadi
yang paling disayangi Tuhan ketimbang mahluk-mahluk-Nya yang lain.
Seperti yang pernah
menjadi kekhawatiran malaikat tatkala Tuhan hendak menciptakan manusia sebagai
pengelola, pemerintah, pemimpin di muka bumi, bahwa manusia hanya akan menjadi
pengrusak dan penyebab pertumpahan darah. Namun karena saking penurutnya,
akhirnya malaikat hanya bisa menerima keputusan Tuhan yang memang Maha Tahu
Segala. Nasib naas menimpa sang kakak lainnya, yaitu Iblis. Meski sempat
menjadi mahluk yang paling taat, namun iblis justru harus menerima dirinya
dilempar ke jurang nestapa, justru karena kecintaannya terhadap Sang Pencipta. Iblis
menolak perintah Tuhan untuk bersujud pada Adam, sebab bagi Iblis, hanya Tuhan
lah yang berhak untuk disujudi. Namun tanpa sadar, kecintaannya pada Sang
Pencipta justru melahirkan kesombongan. Iblis merasa lebih tahu ketimbang
Tuhannya. Walhasil Iblis harus menerima keputusan dan rela mencintai Tuhannya
dengan cara yang sangat menyakitkan.
Akhirnya, singkat
cerita, diturunkanlah Adam dan Hawa ke muka bumi. Di sana mereka sudah disambut
kakak-kakaknya seperti rumbuh-tumbuhan dan para hewan. Seiring berjalannya
waktu mereka beranak-pinak, menciptakan peradaban demi peradaban. Namun seiring
perjalanan waktu juga, seperti yang dikhawatirkan malaikat, mereka juga semakin
gemar melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Manusia turun ke bumi menjadi
sosok adik bungsu yang tidak tahu diri, yang kerap kurang ajar terhadap
kakak-kakaknya.
Manusia menjelma menjadi
seorang adik yang kerap menyakiti kakak-kakaknya. Terhadap kakak tumbuhan
mereka binasakan seenaknya. Hutan-hutan mereka tebangi, mereka gunduli dengan
luar biasa. Mereka bangun pabrik, gedung-gedung bertingkat, apartemen, mall,
dan semuanya dengan mengatasnamakan modernisasi. Alam mereka eksploitasi
sejadi-jadinya untuk kekenyangan perut pribadi. Kakak hewan mereka gusur tempat
tinggalnya, sehingga sang kakak kerap jadi gelandangan. Harimau, gajah, orang
utan, mereka kerap luntang lantung dan dimusuhi manusia karena masuk dan
merusak ladang warga. Hah? Masuk dan merusak ladang milik manusia? Siapa yang
sebenarnya merusak? Bukankah manusia sendiri yang sudah membabat habitat
mereka? Menggunduli hutan sehingga kakak-kakak hewan tidak punya tempat tinggal
lagi. Betapa pandai adik bungsu ini memutar balikan fakta. Suatu sore, ketika sedang
berselancar di Twitter, ada sebuah akun membagikan video seekor orang utan
tengah lari ke sana ke mari di tengah pemebasan lahan. Beberapa orang
mengejarnya untuk dipindahkan ke panti jompo bernama hutan lindung.
Giliran sang kakak sedikit
menegur dengan mengirimkan banjir, tanah longsor, kekeringan, sang adik dengan
manisnya mengadu pada Sang Pencipta, Pemilik sekaligus Pengelola alam semesta. “Ya,
Tuhan, apa yang sudah kami lakukan sehingga Kau uji kami dengan cobaan begini?”.
Sang adik bungsu tak paham-paham, bahwa dunia ini sejatinya adalah hukum sebab-akibat.
Apa yang menimpanya adalah akibat dari sebab-sebab yang mereka lakukan. Tapi
yang ada mereka justru membawa-bawa Tuhan, atau lebih tepatnya menyalahkan Tuhan
atas apa yang mereka alami. Saya hanya bisa berharap, semoga kakak-kakak kita bisa
tetap sabar menghadapi seorang adik bungsu yang kurang ajar ini, semoga mereka
tetap ngemong dan ngayomi, meski terus disakiti dan dikambinghitamkan setiap
sang adik tertimpa bencana. Tapi terkadang memanjakan seorang anak juga tidak
baik dampaknya dalam mendidik. Kadang dalam mendidik juga diperlukan sedikit
kekerasan. Akhirnya saya hanya bisa menutup dengan laa haula walaa quwwata illa billah.
sumber gambar: https://id.bookmyshow.com
sumber gambar: https://id.bookmyshow.com