“Di balik meriahnya perayaan lebaran, ada mereka yang sendiri dan kesepian”
PERUT yang keroncongan
akhirnya membangunkan saya siang itu. Mata yang baru dua jam terpejam harus
dipaksa melek untuk menuruti keinginan perut yang terakhir diisi pagi kemarin. Dengan
langkah gontai saya berjalan menuju kamar mandi untuk sekadar cuci muka dan
gosok gigi. Setelah meneguk segelas air putih, saya panaskan mesin motor untuk
mencari sarapan yang agak kesiangan. Dengan mata yang masih agak berat saya
mulai mengitari komplek kontrakan, mencari warung yang menjual makanan.
Warung burjo langganan yang
saya datangi pertama tutup, di pintunya tertempel tulisan dalam kertas
berukuran A4, “TUTUP, LIBUR LEBARAN, BUKA LAGI H+10”. Tidak apa, saya maklum
karena hampir semua pemilik warung burjo adalah orang perantauan, dan di suasana
lebaran seperti ini tentu mereka sedang bermesraan bersama keluarga sembari
menyantap ketupat dan opor di kampung halaman. Saya lanjutkan ke warung burjo
yang kedua, tutup juga. Saya coba memutar, menuju warung rames milik Mbok
Yanti, lagi-lagi kehampaan yang saya dapat. Tapi tenang, saya masih punya
angkringan yang selalu jadi andalan ketika tanggal tua menyerang. Namun ketika
sampai di tempat, lagi-lagi kekecewaan yang saya peroleh. Akhirnya saya
melanjutkan perjalanan tanpa arah dan tujuan pasti, hanya berharap akan ada
warung yang menjual apa pun untuk mengganjal perut. Warung demi warung, burjo
demi burjo, angkringan demi angkringan semua saya lewati namun semuanya nihil. Di
ujung keputusasaan, saya teringat sebuah swalayan yang kerap dikatai kapitalis,
apa lagi kalau bukan Indomaret.
Akhirnya saya ke
Indomaret terdekat yang berada di dekat terminal Condongcatur. Saya membeli
tiga bungkus mie instan rebus rasa ayam bawang, sosis, dan sebungkus rokok. Sampai
di kontrakan langsung saya masak dua bungkus mie instan sekaligus dengan sebuah
alat canggih yang serba guna, magicom. Memang baru setelah kuliah saya tahu
fungsi-fungsi tersembunyi dari magicom, bukan hanya untuk menanak nasi, tapi
juga untuk memasak mie instan, membuat kopi, merebus telur, membuat agar-agar,
bahkan ada yang memakainya untuk menggoreng kerupuk. Yang paling baru dapat
juga dijadikan sebuah properti video klip musik, dan siapa sangka, grup musik
itu viral gara-gara sebuah magicom. Luar biasa banget nggak sih?
Baiklah, cukup
basa-basinya. Cerita di atas adalah kisah saya setahun lalu, ketika tiga hari
setelah lebaran saya sudah harus kembali ke Jogja, kota tempat saya merantau
untuk mencari kata-kata. Karena harus menyiapkan tetek bengek KKN yang akan diberangkatkan seminggu pasca lebaran,
maka saya harus merelakan romantisme perayaan hari raya bersama keluarga.
Saat ini, bulan puasa
sudah melewati pertengahannya, lebaran semakin dekat. Orang-orang mulai
menyiapkan perayaan semeriah mungkin. Para perantau mulai sibuk berburu tiket
untuk pulang ke kampung halaman. Ada juga yang mulai sibuk berburu diskonan
baju lebaran. Semua tampak gegap gempita menyambut datangnya hari raya yang
suci, hari kemenangan.
Tapi di balik semua itu
ada satu mahluk Tuhan yang justru terasingkan di hari yang raya ini. Mahluk itu
bernama mahasiswa rantau. Kisah saya di atas mungkin tidak ada apa-apanya
ketimbang kisah beberapa kawan saya yang bahkan tidak pulang saat hari raya. Alasannya
bukan karena jadwal kuliah yang padat, tapi harga tiket pesawat yang jadi
penghambat.
Kawan saya yang asli
Aceh bahkan sudah hampir empat tahun ini tidak pulang ke kampung halaman. Setali
tiga uang dengan kawan saya yang asli Medan dan Maluku, sejak hijrah ke Jogja
mereka juga belum sekalipun pulang ke kampung halaman, di hari yang paling raya
sekalipun. Alasan mereka semua sama, harga tiket yang tak terjangkau. Walhasil
kawan-kawan saya itu lebih memilih menghimpun rindu meski semakin menggebu.
“Ketimbang buat beli
tiket, mending buat bayar UKT atau bayar kontrakan,” kata Kawan saya yang asli
Medan ketika ngobrol dengan saya beberapa hari lalu. Risikonya mereka harus
siap menjadi mahluk sendiri dan kesepian di tanah rantau ini. Mendengar kisah
mereka saya merasa bersyukur, karena hanya dengan gocap saya sudah bisa pulang ke kampung halaman. Itu pun masih sisa
untuk mampir ke warung dawet hitam di pinggiran jalan Purworejo.
Tidak hanya kesepian
karena ditinggal kawan-kawan lain pulang kampung, tapi mereka juga harus siap kesulitan
mencari tempat makan yang masih buka. Bayangkan, jika saya yang kala itu sudah
H+3 saja masih kesulitan mencari makan, bagaimana kawan-kawan saya itu mencari
makan di hari raya? Jawabannya? Yak,
Indomaret solusinya. Empat kali menjalani lebaran di tanah rantau, membuat
mereka sudah beradaptasi dengan keadaan demikian. Dan yang jadi andalan untuk
mengganjal perut adalah mie instan, roti sobek, dan energen. Persetan dengan
takaran gizi dan kandungan nutrisi. Sehari dua hari mungkin tak jadi soal, tapi
memasuki hari ketiga pencernaan mulai tak beres, dan lambung mulai terasa perih.
“Bagaimana lagi? Kalau hanya karena masalah kecil seperti itu saja membuat kita mengeluh, untuk apa kita jadi anak rantau sampai bertahun-tahun?” kali ini kawan saya yang orang Maluku menimpali.
Menjadi anak rantau memang sudah menempa diri mereka menjadi pribadi-pribadi yang lebih kuat. Menjadi pribadi-pribadi yang tidak cengeng. Kalau hanya di-PHP gebetan saja kamu sudah nangis tiga harmal, sepertinya kamu harus pergi merantau.
Kebanyakan orang memang
bersukacita menyambut hari yang suci. Bahkan tidak jarang, maksud saya hampir
semua merayakan hari kemenangan itu dengan pesta pora. Tapi ingatlah, di balik
gegap gempitanya perayaan lebaran, ada mereka yang tengah berurai air mata di
pojokan kamar kos menahan rindu yang sudah sekian lama tak kunjung menemukan
tempat untuk dilepaskan. Ada mereka yang tengah menahan perihnya lambung karena
sudah lima hari hanya makan mie instan, roti sobek, dan energen secara
bergantian. Ada mereka yang sendiri dan kesepian.
sumber gambar: flickr
sumber gambar: flickr