SALAH satu organisasi
mahasiswa yang kerap menjadi perhatian saya adalah lembaga dakwah kampus (LDK),
di tingkat SMA biasa dikenal kerohanian Islam (rohis). Pasalnya, organisasi ini
selalu mengingatkan saya pada Tuhan. Selain itu, akhwat-akhwat yang
ada di dalamnya juga tidak kalah menarik dan menyejukkan. Setiap saya melihat
mereka bergamis dan berkerudung panjang, memunculkan bayangan betapa indahnya
jika mereka menjadi makmum saya ketika sembahyang. Benar-benar menyejukkan,
bukan? Jauh lebih sejuk daripada ubin masjid. Ketertarikan ini bahkan sempat
membuat saya daftar menjadi anggota LDK ketika masih mahasiswa baru (maba),
namun godaan iblis teramat kuat sehingga saya tak kuasa melawan. Akhirnya saya
tersesat dan terlempar ke dalam jurang pers mahasiswa yang penuh nestapa, juga
berisi kumpulan reptil di dalamnya.
Waktu terus berjalan, rasa
simpatik saya kepada organisasi ini perlahan mulai terkikis. Arah pergerakan
dan cara mereka berdakwah membuat LDK kehilangan arah dan bentuknya. Fokus LDK dalam
mendakwahkan rahmatan lil
alamin-nya Islam perlahan terkikis
dan tergantikan bagaimana para anggotanya menjuarai berbagai perlombaan, MTQ
misalnya. Paradigma bahwa LDK berisi orang-orang yang ingin belajar agama mulai
terganti dengan organisasi yang berisi orang-orang alim, ahli agama, atau
orang-orang suci yang rajin mengaji dan hafal berbagai jenis kitab. Sayang
sekali, tujuan yang mengarah pada kepentingan akhirat mulai tergeser oleh
tujuan-tujuan yang sangat materialistik. Semoga ini perasaan saya saja. Kalau
ditanya tentang akhwat-akhwat di dalamnya, tentu tetap menarik.
Memang masih banyak
agenda-agenda kajian rutin yang diselenggarakan oleh LDK. Di kampus saya
misalnya, setiap Jumat mengadakan kajian untuk umum di Fakultas Teknik UNY.
Beberapa kali saya sempatkan untuk hadir dalam kajian mereka. Harapannya bisa berkenalan dengan salah satu
akhwat membuat saya lebih dekat dengan Tuhan. Selain itu,
ada ekspektasi besar terhadap isi kajian mereka yang ternyata bertepuk sebelah
tangan. Bahwa mereka akan membahas isu-isu yang sedang hangat di lingkungan
kampus atau masyarakat. Misalnya isu UKT yang semakin tinggi, wacana uang
pangkal yang sekarang sudah terealisasi, atau isu-isu penggusuran rumah dan
lahan rakyat atas nama pembangunan infrastruktur demi kepentingan umum. Saya
berharap menemukan solusi dari sudut pandang agama mengenai
permasalahan-permasalahan konkret di depan mata itu. Atau paling tidak
mendapatkan sebuah pandangan dan sikap terkait isu-isu tadi dari sudut pandang
agama untuk memperkaya referensi saya. Harapan demi harapan itu pupus. Persis
saat kamu bilang akan dilamar oleh kekasihmu esok hari. Syedy nggak sih
Sejak saat itu saya hampir
tak pernah lagi ikut kajian yang diadakan oleh LDK. Paling banter saya tanya tema kajian jika ada yang mengajak,
sekadar asas sopan-santun dan basa-basi. Dan akhirnya saya akhiri dengan
“insyaallah” yang berarti “tidak” dalam bahasa yang lebih santun. Setelah
kajian bukannya mendekatkan saya pada Tuhan atau memberikan pengetahuan serta
semangat baru untuk berjuang, malah maaf, jadi terangsang. Bawaannya ingin
nikah terus.
Saya tidak menyalahkan
pengurus-pengurus di dalam LDK itu. Mungkin penyebabnya bimbingan dari para
senior yang minim. Tidak bisa dipungkiri, arahan ‘orang tua’ memang penting
demi menjaga arah pergerakan dan idealisme suatu organisasi. Bukan berarti
semua titah mereka diamini. Lembaga atau organisasi harus tetap bisa mengikuti
perkembangan zaman supaya tidak menjadi organisasi yang konservatif dan gagal move on. Untuk
itu, LDK harus bisa menempatkan diri secara kontekstual agar tidak terseret
arus zaman.
Lain cerita jika terseret
arus zaman. Seperti sekarang, LDK masuk fenomena ngepop nikah muda. Di berbagai media sangat menjamur
propaganda-propaganda nikah muda. Banyak mubalig-mubalig instan diberikan
panggung seluas-luasnya untuk berceramah tentang indahnya nikah muda. Bahkan
tidak sedikit dari mereka yang mengkampanyekan poligami. Dengan dibalut
kata-kata mutiara dan kutipan dalil yang setengah-setengah, propaganda
mengerikan itu sungguh sangat manis dan terbukti ampuh mempengaruhi muda mudi
kita.
Saya kerap ber-khuznudzan, mungkin cara-cara ngepop sengaja dipakai LDK untuk menjaring pasar
sebanyak-banyaknya. Untuk menjaring massa aksi yang besar demi perjuangan ke
depan. Karena mereka melihat peluang, mahasiswa sekarang lebih suka membahas
masalah-masalah populer seputar selangkangan daripada masalah-masalah
sosial-politik-ekonomi-budaya. Jika melihat potensi yang dimiliki, LDK memang
memiliki potensi paling besar, terutama dalam hal kuantitas SDM. Mereka selalu
bisa menjaring anggota paling banyak jika dibandingkan dengan
organisasi-organisasi mahasiswa yang lain. Di Fakultas Teknik UNY, setiap tahun
mereka mempunyai pengurus sekitar seratus. Bandingkan dengan pers mahasiswa
yang hanya bisa menjaring belasan anggota setiap tahun, itu pun harus melewati
seleksi alam lagi.
Memang benar, segala hal
jika dibalut dengan agama pasti akan laris. Tapi ini bisa jadi bumerang bagi
mereka. Kuantitas yang besar tanpa memperhatikan kualitas hanya akan jadi buih
di lautan. Atau paling mentok jadi
kotoran yang setia mengikuti arus di sungai. Jika dengan sepuluh pemuda
Soekarno bisa mengguncang dunia, apakah dengan seratus pemuda LDK-LDK ini hanya
akan memenuhi sungai-sungai dengan kotoran? Semoga saja tidak.
Bayangkan jika potensi
sebesar itu dapat dioptimalkan dengan baik, kekuatan mereka sungguh luar biasa.
Sejak dini para anggota mendapat doktrin perjuangan-perjuangan pembelaan
terhadap rakyat kecil yang tertindas. Melawan penguasa-penguasa dzalim dengan berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Bukan
doktrin-doktrin untuk berprestasi dalam konteks material dari para birokrat
kampus. Maka dalil-dalil yang mereka kutip untuk caption di media sosial bukan lagi dalil soal nikah muda.
Melainkan dalil yang bisa dipakai untuk melawan komersialisasi pendidikan.
Bukan lagi dalil soal poligami tapi dalil untuk membela rakyat yang ditindas
atas nama pembangunan. Bahasan-bahasan mereka tidak melulu polemik boleh
tidaknya celana melebihi mata kaki bagi seorang laki-laki, dzikir bersama usai salat, salat tarawih 20 rakaat atau 8 rakaat. Kajian mereka bukan
lagi membahas nikah muda sebagai solusi atas maraknya perzinaan, tetapi
bagaimana para jomblo ini bisa produktif dan lebih bermanfaat untuk bangsa,
negara, dan agama. Isi kajian mereka bukan lagi masalah-masalah receh boleh
tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat atas hari raya saudaranya yang non
muslim, bukan lagi soal boleh tidaknya merayakan ulang tahun, boleh tidaknya
tahlilan atau sadranan. Bahasan-bahasan dalam setiap kajian mereka akan diisi
dengan tesis bagaimana menciptakan tatanan sosial-politik masyarakat yang lebih
bermartabat. Bagaimana mengentaskan kaum buruh, tani, dan rakyat-rakyat kecil
dari kemiskinan dan penindasan. Semoga LDK akan segera bangun dari tidur
panjang mereka di malam yang seolah tanpa fajar ini.