Ilustrasi Kerajaan. Foto: Historia
DI suatu kerajaan, seorang raja baru saja dilantik. Raja langsung mengumpulkan para adipati dan pengurus kerajaan lain untuk menentukan langkah strategis kerajaan ke depan.
Namun, air muka raja tampak muram saat dia membaca proposal yang berisi usulan program kerja para adipatinya."Pesta rakyat? Program apa ini? Kenapa bisa menghabiskan anggaran banyak sekali?" tanya sang raja kepada para pembantunya.
"Itu untuk memperingati sekaligus merayakan pelantikan Anda, Yang Mulia," jawab seorang pejabat kerajaan yang mengurusi bidang keuangan.
"Apa isinya?"
"Banyak Yang Mulia. Ada pertunjukan budaya sekaligus untuk nguri-uri budaya leluhur, ada seminar untuk membahas masa depan kerajaan, ada konser musik juga untuk anak-anak muda"
"Uang sebanyak ini? Hanya untuk kegiatan tidak penting seperti itu? Di saat banyak rakyat kita yang miskin dan kelaparan, banyak rakyat kita yang rumahpun tak punya, di tengah banyaknya kasus kriminal dan kejahatan, di saat bentrokan antara kelompok rakyat terjadi di mana-mana, di saat banyak bayi-bayi kita yang stunting, kalian mau mengadakan pesta untuk merayakan pelantikan saya?" tanya Raja dengan suara bergetar, marah.
"Kalian ini memang tidak punya malu atau bagaimana? Atau kalian sengaja ingin mempermalukan saya? Mau ditaruh di mana muka saya, bikin pesta di tengah derita rakyat?" lanjutnya.
Semua adipati dan pengurus kerajaan lain hanya bisa diam, tertunduk. Tak ada yang berani mengangkat kepalanya dan menatap sang raja. Ruang rapat jadi sangat tegang.
Satu pekan kemudian, kerajaan tiba-tiba menjadi sangat meriah. Pernak-pernik dipasang. Panggung-panggung didirikan. Berbagai pertunjukan seni, mulai dari musik, teater, wayang, ketoprak, tari tradisional, hingga berbagai jenis festival digelar.
Hanya beberapa puluh meter dari pusat keramaian itu, seorang lelaki duduk termenung menatap gemerlap lampu panggung. Di sampingnya, ada karung besar yang tampak penuh.
Dia tak berani pulang. Pagi tadi, sebelum berangkat kerja, dia sudah janji akan membawakan satu bungkus sate kambing kepada anaknya. Sate kambing di depan kerajaan, yang terkenal paling enak di seantero kerajaan itu.
Anaknya bosan tiap hari cuma makan nasi dingin pakai garam. Tapi apa daya, dia tak punya uang. Dagangannya sepi, seharian nyaris tak ada yang beli.
Di rumah, (yang sebenarnya terlalu berlebihan disebut rumah karena hanya satu petak tanah sempit dikelilingi dinding kardus), sang anak sudah tertidur sambil memegangi perutnya. Dia menunggu bapaknya sampai ketiduran. Di sampingnya, sang ibu memeluknya dengan mata yang basah.
Komentar
Posting Komentar