sumber gambar Pixabay
Dia sudah berada di meja
sudut ruangan. Siang itu kafe masih lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang
tengah sibuk dengan gawainya. Dan seperti biasa, dia selalu memilih tempat
duduk favorit kami, dulu. Tempat itu ada di paling belakang, dekat kolam dengan
ikan-ikan kecil di dalamnya. Riak airnya hampir terdengar di seluruh ruangan.
Rokok di tangannya
hampir habis. Tampaknya sudah cukup lama dia menunggu. Tapi belum terlihat ada
minuman di meja kami. Aku menarik napas dalam. Menguatkan diri, menyusuri
celah-celah meja lain untuk sampai di meja paling ujung itu. Sekilas dia belum
berubah, masih tampak dingin.
“Hei, sudah lama?”
sapaku sambil mengulurkan tangan untuk menjabatnya.
Dia hanya membalas
senyum tipis, lalu mengulurkan tangannya menerima jabat tanganku. Sampai sini
dia memang masih seperti dulu.
“Seperti janji semalam,
sejak jam dua belas,” jawabnya tenang.
Ah, dia memang masih
seperti dulu. Dia selalu datang tepat waktu dalam setiap pertemuan kami. Sedangkan
aku, sebaliknya. Semalam memang aku menelponnya, setelah dua tahun kami tak
menjalin hubungan. Kebetulan tiga hari ini aku ada tugas kantor di Jogja. Kotanya.
Kota kami, dulu. Dan sebelum pulang, aku ingin menemuinya.
“Kamu belum berubah,”
kataku mencoba mencairkan suasana.
“Kamu juga masih seperti
dulu, mungkin,” jawabnya ketus.
Kami terdiam sejenak.
Suasana menjadi sangat kaku dan dingin.
“Belum pesan?” tanyaku.
Dia hanya menggeleng
pelan. Lalu mematikan rokoknya di asbak kaca bening yang masih kosong di
depannya.
“Mbak!” aku melambaikan
tangan memanggil pelayan.
“Ya, mau pesan apa
mbak?”
“Emm, kopi arabikanya
satu. Ditubruk ya”
“Kamu sekarang ngopi?”
tanyanya tetiba.
“Tidak lah, itu
untukmu,” jawabku sambil melempar senyum tipis padanya. Dia membalas dengan
senyum tipis juga. Ah, senyum yang selalu kurindukan.
“Terus, cokelat dingin
satu, sama kentang goreng,” lanjutku.
Setelah mengulangi
pesanan kami, pelayan itu bergegas pergi meninggalkan kami di sudut ruangan
ini.
“Yakin sekali kamu
dengan pesananku”
“Aku rasa dua tahun
bukan waktu yang terlalu lama, sampai-sampai mengubah minuman favoritmu”
“Memang, tapi dua tahun
itu sangat lama untuk dilewati dalam bayang-bayang yang sudah telanjur
membekas”
Jawabannya seperti
peluru yang menembus dadaku. Seperti tali laso yang mencekik leherku. Membuatku
sesak seketika. Aku sekuat mungkin bersikap biasa, seperti tak terjadi apapun
di dalam diriku.
“Kamu masih marah sama
aku?”
“Marah? Untuk apa?”
“Hemm, baiklah. Aku
kangen”
Dia hanya diam, bahkan
senyum tipis tak ada di wajahnya. Tampak tatapannya kosong. Mungkin sedang
melamunkan kemesraan kami dulu. Di tempat yang sama. Namun situasi yang
berbeda.
Tak lama pesanan kami
datang. Aku agak lega, setidaknya datangnya pelayan itu bisa memberikan aku
sedikit waktu untuk bernapas.
“Kamu kurusan sekarang,
pasti makanmu tak teratur”
“Keteraturan itu
membosankan”
“Kau benar-benar belum
berubah”
“Suamimu tak ikut?”
tanyanya sambil menyalakan sebatang rokok di mulutnya.
“Kamu kurangin rokok
dong, ndak baik buat kesehatanmu”
“Aku sudah lupa rasanya
benar-benar sehat kok. Kamu belum jawab pertanyaanku”
“Dia di Jakarta, tidak
ikut”
Dia hanya mengangguk
kecil. Asap berhembus pelan dari mulut dan lubang hidungnya.
“Kamu tidak makan?”
tanyaku.
“Belum lapar”
Tiba-tiba handphon-nya yang dari tadi ada di atas
meja menyala. Menarik perhatian kami yang saat itu masih dibungkam kebekuan. Tampaknya
ada pesan. Tapi aku tak peduli dengan pesan itu. Ada satu hal yang lebih
menarik perhatianku. Wallpaper handphone-nya
ternyata masih fotoku. Ya, itu foto yang sudah dia pasang sebelum kami
berpisah. Foto wajah manyun-ku ketika
dia memaksa memotretku.
“Ada masalah?” tampaknya
dia menangkap keresahanku.
“Tidak. Kamu masih menjadikan
foto itu wallpaper-mu?”
“Apakah ada larangan
menjadikan foto seseorang sebagai wallpaper
handphone?”
“Kenapa tidak kamu
ganti?”
“Tidak ada alasan untuk
diganti. Tapi kalau kau tak suka, aku bisa menggantinya sekarang”
“Tidak-tidak, itu hakmu”
“Ya, benar”
Tiba-tiba mengalun lagu
Aerosmith. I Don’t Want to Miss a Thing. Ah, kenapa lagu ini yang diputar. Dulu,
lagu ini yang paling sering dinyanyikannya untukku. Dengan suara yang tidak
bagus-bagus sekali, bahkan kadang terdengar sumbang. Juga kemampuan bermain
gitar yang pas-pasan. Tapi aku selalu menikmatinya. Juga selalu merindukannya.
Lagu itu terus mengalun.
Mengisi kekosongan di antara kami. Dia sepertinya menangkap ketidaknyamananku.
Tatapan matanya seolah mengatakan “dikoyak-koyak nostalgia ya?”. Aku menarik
napas dalam. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam dadaku mengingat apa yang
sudah ku lakukan padanya dua tahun silam. Waktu berputar sangat lambat.
“Kamu masih suka
menulis?”
“Itu pekerjaanku”
“Aku dengar buku
terbarumu baru saja terbit?”
“Hanya novel biasa”
“Tapi banyak lho yang
memuji”
“Tidak sedikit juga yang
memaki”
“Emm, masih suka nulis
puisi?”
“Tentu, puisi yang
membuatku merdeka”
“Boleh aku minta
sesuatu?”
Dia hanya mengangkat
kedua bahunya. Seolah berkata, “kenapa tidak?”
“Aku ingin kamu nulis
puisi lagi buat aku”
Dia tampak menarik napas
panjang. Memejamkan mata. Tampaknya dia juga sedang dikoyak nostalgia. Tak lama
dia membuka lagi matanya.
“Puisi apa?”
“Puisi yang paling
indah”
Dia termenung sebentar.
Lalu mengambil sebuah buku notes kecil dari tasnya. Sejak dulu dia memang
selalu membawa tas kemanapun. Dan aku hafal, barang yang selalu ada di dalamnya
adalah sebuah buku bacaan, ballpoint, dan
tentu sebuah buku catatan. Dia juga selalu menyimpan semua barang bawaan
seperti dompat dan handphone di dalam
tas. Dia tak pernah membawa barang
apapun di sakunya, selain ballpoint.
Dia terdiam sebentar.
Untuk kesekian kalinya dia mematikan rokok di asbak bening yang sudah berisi
beberapa putung itu. Lagi-lagi dia terpejam. Kemudian membuka lagi matanya. Dia
mulai menggoreskan pena di buku kecilnya. Tapi tampaknya dia tak puas, lalu
mencoret-coretnya. Lalu membuka lagi lembaran baru di bukunya. Menulis lagi,
lalu mencoretnya lagi. Begitu terus entah berapa kali.
“Apakah aku harus pergi
dulu?” tanyaku di tengah diamnya. Dia hanya menggeleng pelan. Lalu menatapku
tajam. Menarik napas dalam lagi. Lalu membuka lembar baru lagi di bukunya yang
dia pegang dengan tangan kiri. Aku tak tahu apa yang dia tulis. Dia selesai
menulis. Lalu menatap dalam tulisan itu. Terpejam lagi. Tak lama membuka lagi
matanya. Lalu merobek selembar kertas terakhir yang ditulisnya. Melipatnya
kecil. Lalu menatapku lagi dengan senyum tipis.
Dia menyerahkan lipatan
kertas itu padaku. Aku tak sabar untuk membacanya. Saat itu juga aku mulai
membuka lipatan kertas itu. Sebelum dia menahanku.
“Jangan dibaca sekarang”
Aku berhenti. Lalu
kulipat rapi lagi kertas itu. Memasukkannya ke dalam saku kemejaku. Aku menatapnya.
Melempar senyum tipis. Dia masih saja suka membuatku penasaran.
“Kamu baca nanti saja di
kereta” katanya.
Jam di arlojiku sudah
menunjukkan pukul tiga. Dua jam sudah kebersamaan kami. Setengah jam lagi
keretaku berangkat. Aku harus segera bergegas ke stasiun. Entah, kenapa
perpisahan ini terasa sangat berat.
“Kamu mau mengantarku ke
stasiun?”
“Bukankah kau tahu, dari
dulu aku benci tempat itu” jawabnya dengan nada menolak. Dari dulu dia memang
membenci stasiun. “Aku benci perpisahan, karena itu aku juga benci stasiun,”
katanya dulu.
“Baiklah, aku naik taksi
saja. Terimakasih kamu masih sudi bertemu denganku”
Lagi-lagi dia hanya
membalas dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan. Aku berdiri. Mendekat ke
wajahnya. Lalu mengecup hangat keningnya.
“Makasih untuk hari ini,”
bisikku.
Dia hanya diam. Tak
beranjak. Mataku mulai sembab. Aku berbalik. Mengambil tas di kursi sebelah dan
pergi meninggalkannya. Aku tak tahan, hujan mulai turun dari kelopak mataku. Langkah
kupercepat. Aku tak mau meninggalkan air mataku bersamanya. Entah, apakah
perpisahan ini juga melumpuhkannya, seperti ia melumpuhkanku.
Di kereta aku mulai
membuka lipatan kertasnya. Tanganku bergetar. Kelopak mataku masih terasa
basah. Meski sudah tak ada lagi tangis. Di tanganku kini ada tulisan tangan
yang sama sekali tak asing bagiku.
“Maaf, aku tak bisa
menuliskan puisi yang paling indah untukmu. Karena puisi terindahku adalah
dirimu. Dan aku telah kehilangan itu”
Akhirnya sesuatu yang
dari tadi hendak meledak di dalam dadaku, meledak juga. Aku menangis sejadinya.
Sesenggukan tak keruan. Hujan yang sempat reda kini menjadi badai. Aku tak
peduli lagi menjadi pusat perhatian penumpang lain. Kepalaku pusing. Dadaku
sesak. Tega sekali dia menyiksaku seperti ini.