Kita Adalah Generasi Krisis Panutan




JUMAT lalu, 14 September 2018, saya menghadiri sebuah diskusi yang diselenggarakan kawan-kawan dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Keluarga Muslim Al-Musthofa (KMM). Dalam diskusi yang diberi nama Lentera Qolbu itu saya diberi tugas untuk memaparkan peran-peran mahasiswa. Mengherankan, sebab biasanya acara ini identik dengan kajian-kajian bernuansa islami. Sampai-sampai ada yang protes, mengatakan bahwa LDK ini sudah menyerobot fungsi lembaga lain. Untungnya di awal acara, moderator sudah langsung mengklarifikasi, bahwa islam itu bersifat menyeluruh, general. Islam itu luas, tidak melulu harus berbahasa arab supaya bisa dikatakan islami. Mungkin itu yang harus dipahami orang-orang yang mengatakan LDK ini telah melenceng dari rel pergerakan mereka. Justru dengan bahasa-bahasa yang lebih umum seperti ini dakwah mereka akan lebih gampang untuk dipahami. Tidak seperti khutbah jumat yang kebanyakan membosankan dan bikin ngantuk karena sangat normatif.

Namun ada yang lebih mengherankan, kenapa harus saya yang ditugasi menjabarkan peran-peran mahasiswa? Sedangkan saya sendiri tidak punya kapasitas apa-apa untuk membicarakan persoalan-persoalan itu. Masih banyak orang-orang yang jauh memiliki kapasitas, aktif di berbagai organisasi mahasiswa, dan yang jelas mereka lebih paham soal peran mahasiswa ketimbang saya yang hanya mahasiswa tua bangka yang kerjanya hanya ngopi dan ngerumpi sepanjang malam. Tapi setelah melalui diskusi dengan panitia, akhirnya saya menerima permintaan mereka dengan kemampuan dan pengetahuan saya yang seadanya. Tujuan saya sangat sederhana, hanya ingin merangkul semua pihak. Dan akhirnya kami sepakat untuk menjadikan acara tersebut sebagai ajang berbagi pandangan, sebagai wadah untuk belajar bersama.

Singkat cerita, di akhir diskusi ada salah satu peserta yang mempertanyakan beberapa statemen saya sepanjang diskusi. Sayangnya waktu keburu habis, adzan maghrib keburu berkumandang, sehingga terpaksa diskusi harus ditutup sebelum saya menyampaikan beberapa hal terkait keresahannya tersebut.

Tiga hal yang ditanyakan, pertama adalah terkait kritikan saya pada mahasiswa-mahasiswa yang sangat hobi melakukan diplomasi, perundingan, atau audiensi dengan birokrasi dalam usaha mengadvokasi mahasiswa yang bermasalah, atau lebih tepatnya sengaja dilimpahi masalah. Yang saya maksud di sini bukanlah benar-benar meniadakan diplomasi, melainkan menegaskan bahwa diplomasi itu tidak akan membuahkan hasil manis tanpa dilakukannya jalan-jalan lain. Apa jalan itu? Bisa apa saja, aksi demonstrasi, propaganda media, serta jalan-jalan lain. Karena sampai sekarang belum pernah saya menemukan diplomasi yang menguntungkan kecuali bagi para penguasa. Mungkin itu yang membuat Tan berkata, tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya. Jadi perlulah organisasi mahasiswa nakal sedkiti, tidak melulu seperti para pejabat yang ideologinya ‘asal bapak senang’ dan memandang semua masalah dapat diselesaikan di meja makan. Ya, selesai untuk mereka, tapi bencana untuk rakyat.

Kedua, peserta itu menanyakan, kenapa sepanjang duskusi saya selalu menyinggung-nyinggung keburukan kampus, tanpa menyinggung kebaikannya sedikitpun. Jawabannya simpel, karena yang dia anggap sebagai kebaikan-kebaikan kampus itu sudah ada di mana-mana melalui berbagai bentuk pencitraan. Saya hanya berusaha memaparkan fakta-fakta dari perspektif lain yang jarang sekali mendapat tempat. Tujuannya apa? Supaya kita tahu, bahwa kita masih banyak kekurangan, dan kita harus memperbaiki itu. Bukan malah terlena dengan nama besar yang dibangun dari pencitraan-pencitraan kosong belaka. Bukan juga terbuai oleh slogan-slogan manis tapi kosong.

Lagi pula ketika kita berbicara soal baik dan buruk, itu hanya soal perspektif saja. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi hal tersebut setelah kita tahu dia ‘baik’ atau dia ‘buruk’. Bagaimana kita menyikapi setiap kebaikan yang selalu dipublikasikan dan jadi kebanggaan kampus, serta bagaimana cara kita menyikapi kekurangan-kekurangan yang kita tidak dapat menangkis keberadaannya meski menyakitkan. Janganlah kita mewarisi sifat orang-orang tua yang alergi pada kritik itu, karena mental seperti itu adalah mental yang anti pada kemajuan. Kritik adalah bahan kita bercermin, melakukan instropeksi demi menjadi sosok yang lebih baik. Bukankah akan merugi jika seseorang stagnan, tidak lebih baik dari hari kemarin, dan celaka seseorang ketika dia justru lebih buruk dari sebelumnya?

Ketiga saya ditanya, siapa yang bisa kita jadikan panutan ketika saya menyampaikan senior-senior kita yang tidak lebih dari seorang munafik. Mereka yang selalu membicarakan wacana-wacana besar tentang bangsa dan negara, tapi tidak tahu cara membuang sampah yang benar.

Dia yang selalu berorasi tentang agent of change, social control, dan iron stock, tapi sesama mahasiswa masih sikut-menyikut, gontok-gontokan hanya karena berbeda pandangan, berbeda organisasi. Untuk akur dengan sesamanya saja belum becus kok sudah ngomongin negara, apa itu tidak munafik namanya? Lalu, siapa lagi yang dapat kita jadikan panutan?

Begini, kita memang lahir sebagai generasi yang krisis panutan. Kita harus menerima kenyataan itu meski pahit. Mereka yang mengaku pemimpin ternyata tak lebih dari sekadar penguasa. Celakanya, mereka bukan hanya penguasa, tapi mereka juga monster yang tega secara sadar mengeksploitasi rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya. Pejabat kampus yang seharusnya jadi teladan mahasiswa, ternyata tidak lebih dari boneka pemuas nafsu atasan, budak jabatan. Lalu, para intelektual yang pandangan-pandangannya seharusnya bisa mencerdaskan, justru ikut-ikutan berpolitik. Pandangan mereka tidak hanya kabur, tapi sudah buta karena memang dibutakan oleh kepentingan politiknya yang fanatis. Ulama yang seharusnya bisa jadi penengah, bisa mengayomi dengan segala kebijaksanaannya juga tidak mau ketinggalan turut berebut kue politik. Alih-alih menjadi penengah dan pemersatu, mereka justru semakin memecah belah. Kita memang generasi krisis panutan, sebuah realitas yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus kita terima.

Lalu bagaimana kita tidak tersesat dalam perjalanan yang tanpa pedoman ini? Kuncinya adalah di ilmu. Dan bagaimana kita berilmu? Ya belajar, membaca, diskusi. Karena hanya dengan cara itu kita akan menjadi orang berilmu, tidak mudah diombang-ambingkan, tidak mudah dipecah belah. Bukan malah ikut terjun dalam perdebatan siapa yang lebih baik, Jokowi atau Prabowo? Karena tanpa mereka berdua pun negeri ini akan tetap jalan. Bukan malah sibuk berebut eksistensi antar organisasi. Bukan malah ribut, ini ranah siapa, itu ranah siapa. Bukankah Tuhan telah berjanji akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu? Maka, iqra’ ! Bacalah! Intinya tidak perlu disesali bahwa kita adalah generasi krisis panutan, tapi khawatirlah ketika generasi-generasi setelah kita masih mengalami hal yang sama karena kita ternyata sama gagalnya untuk menjadi panutan mereka.

Karangmalang, 21 Sep. 18
 sumber gambar pixabay