Banser kembali menyita perhatian publik. Pasalnya, pada
peringatan hari santri 22 Oktober lalu, beberapa kadernya kedapatan membakar
sebuah bendera bertulis kalimat tauhid dengan semangat bergelora dan diiringi
lagu mars NU. Saya tidak menyebut orang-orang pembakar bendera ini oknum, sebab
sampai sekarang memang belum ada klarifikasi atau sejenisnya dari pimpinan
Banser ataupun GP Ansor. Mereka justru sibuk membuat argumen untuk membenarkan
aksi tersebut. Tidak perlu waktu lama, aksi ini langsung menyita banyak
perhatian dari berbagai elemen masyarakat seketika setelah video pembakaran
bendera itu diunggah.
Terlepas dari semua argumen yang membenarkan tindakan
anggota Banser, pembakaran bendera dengan tulisan tauhid yang identik dengan
bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini adalah tindakan yang tidak bijak sama
sekali. Sebab di tengah suasana beragama yang semakin panas, dimana semua orang
begitu sensitif dengan semua hal yang berbau agama, tindakan ini sangat
potensial memicu konflik. Dan sekarang sudah terbukti. Banyak orang ngamuk
gara-gara aksi anggota Banser di hari santri itu. Bukankah dalam ajaran Jawa
kita diajarkan untuk bersikap bener dan pener (bijak)?
Banyak juga yang berdebat tentang bendera yang dibakar,
apakah itu bendera tauhid atau bendera HTI. Mereka itu seperti mendebatkan
apakah ikan cupang itu cupang atau ikan? Apakah burung kepodang itu kepodang
atau burung. Sebab kita semua tau bahwa bendera HTI ya gambarnya
kalimat tauhid, jadi yang dibakar itu ya bendera HTI ya bendera tauhid. Saya
pikir hal tidak perlu diperdebatkan terus menerus. Macam orang goblok saja.
Sikap seseorang ketika berada di tengah kerumunan memang
kerap tidak terkendali. Tirto sempat
menyinggung soal karakteristik kerumunan ini ketika mencuat kasus pengeroyokan
seorang Jack Mania oleh Bobotoh belum lama ini. Mengutip pandangan Gustave Le
Bon, Tirto menulis
bahwa setiap individu umumnya adalah mahluk berbudaya, tapi saat berada dalam
kerumunan massa, adab yang mereka miliki akan turun, dan berubah menjadi
seorang barbar, yaitu seorang mahluk yang bertindak dengan naluri spontanitas,
kekerasan, keganasan, juga antusiasme dan kepahlawanan mahluk primitif (Tirto.id). Jadi
tidak mengherankan ketika dalam setiap kerumunan sangat rawan terjadi chaos atau
kekacauan. Dan beberapa anggota Banser mengalami hal serupa ketika akal sehat
mereka kabur di tengah kerumunan saat peringatan hari santri kemarin.
Apakah itu cukup untuk memaklumi kelakuan beberapa anggota
Banser? Belum? Baiklah, mari kita lihat dari sisi yang lain lagi. Sebuah
kelompok pasti ada orang-orang yang dijadikan figur atau role model. Figur
inilah yang selanjutnya akan mempengaruhi sikap para kader, terutama di akar
rumput. Nah, siapa
tokoh Banser yang paling sering muncul di media? Benar, Abu Janda alias Permadi
Arya. Hobinya mainan media sosial bahkan sampai membuatnya menyandang gelar
intelektual ‘Aktivis Media Sosial’ oleh beberapa stasiun televisi yang
mengundangnya. Dia memang tidak hanya aktif di sosial media, melainkan juga
beberapa kali diundang dalam acara talk show oleh
stasiun televisi nasional. Sayangnya sikap yang dicitrakan oleh tokoh Banser
ini jauh dari citra NU yang jamak kita kenal. Citra NU yang adem, tentrem,
ngayomi, santai, dan tentunya lucu, sama sekali tidak terlihat dari tokoh yang
kerap muncul di media ini. Yang ditampilkan justru sebaliknya, Abu Janda justru
kerap mengeluarkan statemen-statemen provokatif yang dangkal dan miskin esensi.
Inilah yang membuatnya dibantai habis oleh Felix Siaw dan Ratna Sarumpaet dalam
sebuah acara talk
show di televisi nasional.
Alih-alih menjadi pengayom, seperti kyai-kyai sepuh NU, Abu Janda justru kerap berbicara dengan nada kebencian, terutama ketika menyinggung HTI dan PKI, tentunya dibalut dengan slogan NKRI Harga Mati. Ini tentu sangat berpengaruh, terutama pada kader-kader Banser di akar rumput yang hobi berselancar di dunia maya dan tidak dididik langsung oleh kultur pesantren.
Di sini saya tidak menekankan mana yang benar, soal menjaga
kesucian kalimat tauhid saya pikir para pimpinan Banser atau Ansor jauh lebih
paham dari saya. Lagian bagi saya untuk apa sok-sokan menyucikan
kalimat tauhid kalau baru tidak punya duit saja sudah blingsatan,
merengek-rengek minta utangan. Akui sajalah, tuhanmu itu duit (sambil ngomong
di depan kaca). Yang saya tekankan di sini adalah soal kebijaksanaan semua
pihak. Di tengah suasana beragama yang sangat panas dan sensitif seperti
sekarang, tindakan membakar bendera HTI yang ada lafal tauhid di dalamnya
adalah tindakan konfrontatif, sangat berpotensi memicu perselisihan. Terlebih
ekspresi yang ditunjukkan saat membakar bendera itu adalah ekspresi
kebahagiaan. Layaknya Bobotoh yang tengah membakar atribut Persija. Jika memang
anggota Banser menemui anggota HTI yang membawa benderanya, bukankah akan lebih
bijak mengamankan oknum tersebut dan menyerahkannya ke pihak yang berwajib?
Jika memang ia melanggar hukum, biarkan diproses secara hukum, sehingga tidak
memicu kegaduhan seperti sekarang. Tapi semua sudah terjadi, yasudahlah ya.
Bisa dibilang aksi tersebut adalah sebuah blunder. Selain
menimbulkan kegaduhan, tidak lama setelah berita ini viral, bendera tauhid
mulai banyak dikibarkan kembali di banyak tempat sebagai tanda pengecaman
terhadap aksi pembakaran bendera ini. Dan HTI yang dibenci setengah mati oleh
Banser dan kawan-kawannya kini mendapat sebuah momentum untuk mendapat simpati
lagi dari masyarakat. Sialnya lagi, citra Banser kembali tercoreng karena
kejumawaan mereka.
Saya pikir langkah paling bijak saat ini adalah menyudahi
perselisihan. Meredamnya supaya tidak menjalar lebih luas lagi. Untuk pihak
Banser, minta maaf lah, tidak susah kok. Dan itu
tidak akan membuat dirimu jadi kecil, justru sebaliknya. Ratna Sarumpaet saja
berani meminta maaf atas kesalahannya, masa kalian kalah gentle sama
nenek berusia 70 tahun itu. Memang sih, kasus
Ratna Sarumpaet tidak bisa disamakan dengan persoalan yang kalian hadapi sekarang.
Tapi sekali lagi, ini demi menjaga harmonisme, meredam dan menyudahi konflik
sesama anak bangsa, dan lebih luas lagi konflik sesama umat beragama. HTI itu
bukan musuh kita, tapi adik kita. Jika dia bandel dan nakal, rangkul dia, didik
dia dengan cara-cara kekeluargaan yang harmonis. Mereka bukan musuh kita, musuh
kita adalah kejumawaan yang ada di dalam diri kita sendiri.
Ini bukan soal gagah-gagahan, bukan soal siapa paling benar,
bukan soal kuat-kuatan, tapi soal menjaga sendi-sendi keharmonisan, baik
sebagai sesama anak bangsa maupun sebagai sesama umat muslim. Saya sendiri
heran, kenapa Banser jadi sangat reaksioner seperti ini, kenapa mereka seolah
sangat ketakutan dengan HTI, Atau bukan ketakutan, melainkan kejumawaan,
mengingat massa mereka yang sangat besar. Mereka harus paham, bahwa bukan HTI
atau yang lain yang membuat mereka mati, melainkan kejumawaan yang ada dalam
diri mereka sendiri. Di samping itu mereka juga sedang sangat mesra dengan
penguasa. Eh, saya jadi ingat, apa karena terlalu lama bermesra ria dengan
penguasa sehingga mereka jadi tidak asik lagi? Tidak bisa berpikir jernih dan
elegan. Jadi suka main bakar dan gebuk seperti penguasa? Entahlah. Sebagai
seorang nahdliyin partikelir, saya hanya bisa berharap, semoga NU dan semua elemen
di dalamnya bisa asik lagi seperti dulu.
Aku cinta Banser, tapi lebih cinta Fatayat. Hiyaa.
sumber gambar: beritagar
Komentar
Posting Komentar