Apapun Masalahnya, Solusinya Adalah Menikah



MUMPUNG masih Januari, saya kira masih cukup relevan jika saya berbagi sedikit cerita tentang saya dan seorang kawan di malam tahun baru yang, ya sebenarnya biasa saja sih. Bagi saya sendiri tidak ada yang istimewa dengan tahun baru, soalnya setiap tahun saya pasti mengalaminya, dan jika dihitung-hitung entah sudah berapa kali saya melewati malam-malam serupa. Yang jelas semua jari tangan dan kaki sudah tidak cukup jika dipakai untuk menghitung.

Oke, kita langsung ke intinya saja. Ketika kebanyakan orang sibuk menyiapkan even menyambut tahun baru, saya bersama seorang kawan (panggil saja Doeng) lebih memilih menyepi di pojokan warung kopi di pinggiran Kota Jogja yang tentunya masih istimewa. Tidak ada pesta, juga bakar-bakaran laiknya para pemuda yang meramaikan tahun baru. Warung kopi yang biasanya ramai oleh para mahasiswa saat itu juga sepi, pengunjungnya bisa dihitung jari.  Karena kehabisan bahan ngobrol, kami berdua akhirnya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Doeng sibuk dengan gawainya, saya sibuk mendata harapan-harapan yang kandas di tahun 2018 untuk dijadikan sebagai resolusi di tahun yang baru ini.

Kesunyian di antara kami pecah, lantaran Doeng tetiba misuh-misuh sendiri tanpa sebab. Usut punya usut, Doeng ternyata dibuat kesal oleh sebuah postingan seorang kawan di media sosialnya. Agak lupa seperti apa postingan aslinya, tapi intinya begini.

“Enaknya kalau udah nikah itu gini, kalau yang lain ngerayain tahun baru dengan berbuat dosa, kalau kita malah dapet pahala. Jadi sampai kapan kalian akan bertahan dengan hubungan yang hanya akan menjerumuskan ke api neraka my love?” tentunya dilengkapi dengan hastag #AyoHijrah dan #HijrahYuk sebagai pemanis.

Tentu kalian tahu konteks postingan tersebut. Intinya dia mau pamer, kalau sudah nikah mah enak, ya gak harus saya jelaskan dimana enaknya, pembaca sekalian yang budiman juga pasti sudah paham. Setelah saya melihat postingan bajingan itu, saya pun memaklumi kekesalan si Doeng.

Di lain kesempatan, saya juga sempat melihat postingan serupa, misalnya begini.

“Kalau udah nikah mah enak, pagi-pagi sudah ada yang masakin, kalian kapan nikah?”
Postingan-postingan serupa akan semakin menjamur tatkala kita memasuki bulan puasa. Intinya mereka-mereka itu cuma mau pamer, kalau sudah nikah itu ada yang bangunin buat sahur, ada yang nyiapain santap sahur, ada temen buat buka puasa (nggak nunggu takjil di masjid kampus), dan berbagai kegiatan lain yang mereka pikir bisa meningkatkan libido para anak muda labil yang dikit-dikit pengin nikah, nikah kok dikit-dikit.

Bagini pembaca sekalian, serendah itukah posisi pasangan di mata mereka? Kalau cuman dimasakin buat sarapan atau buat sahur saja mah Aa Burjo juga bisa. Kalau hanya untuk bangunin buat sahur saja mah pakai alarm juga bisa, kalau tidak pun masih ada toa-toa masjid yang tentunya lebih ampuh membangunkan kita ketimbang alarm. Lagian mereka juga harus tahu, bahwa hanya orang-orang lemah yang sahur ketika puasa, camkan itu!

Ada juga pernyataan yang lebih ekstrem, kira-kira begini “Makannya nikah, biar nggak nyabun mulu”

Yaelah, masa kita nikah niatnya cuman biar kita nggak nyabun, di mana letak keagungan seorang wanita di mata mereka? Wahai para feminis, bergeraklah!

Lagian kalau cuman biar nggak nyabun mah nggak harus nikah kali, misal nyarkem menyibukkan diri dengan hal-hal positif seperti baca buku, diskusi soal ketimpangan sosial di tengah rezim sontoloyo, naik gunung, sholawatan, atau baca Kabar Buruk. Nggak harus nikah woy! Sebercanda itukah nikah di mata mereka? Ketika sudah seperti ini biasanya orang-orang seperti mereka langsung memakai jurus-jurus ampuh, apalagi kalau bukan dalil berupa hadits dan ayat-ayat suci.

Stop! Cukup sampai di sini pembahasan itu, jangan dilanjut.

Intinya begini, di mata mereka apapun masalahnya solusinya adalah nikah. Banyak bencana itu karena banyaknya maksiat yang dilakukan oleh muda-mudi yang belum halal, coba kalau mereka sudah menikah. Tingginya penyakit kelamin itu karena banyaknya jomblo-jomblo yang jajan sembarangan, coba kalau mereka sudah nikah, gak mungkin kan mereka jajan sembarangan? Banyaknya mahasiswa depresi itu karena nggak ada yang nyemangatin mereka ketika ngerjain skripsi, coba kalau udah nikah, pasti selalu ada yang memberi semangat di samping mereka. Yaelah, kalau itu mah tergantung orangnya, kalau dasarnya bajingan mah bajingan saja, walaupun sudah nikah sampai poligami berkali-kali ya tetep jajan aja. Bilang saja kalian sangean!

Baiklah, mereka bebas membuat narasi-narasi semacam itu.Tapi fakta-fakta lain juga tidak bisa kita kesampingkan dong. Bagaimana dengan cewek-cewek yang menjadi janda muda, bagaiaman dengan kasus-kasus KDRT, bagaimana dengan banyaknya anak-anak yang telantar, yang semuanya disebabkan lantaran pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan oleh sepasang manusia yang belum matang dan siap baik secara mental maupun material? Kenapa mereka tidak mau melihat potensi bahaya itu? Namanya juga orang jualan.

Nanti lama-lama mereka akan mencocoklogikan masalah-masalah negara dengan perkara nikah dan jomblo. Misal buruknya prestasi timnas disangkutpautkan dengan banyaknya wartawan suporter-superter yang belum nikah. Atau lebih serius lagi, bobroknya bangsa ini itu karena banyaknya rakyat yang masih jomblo, karena banyaknya rakyat kita yang belum nikah. Bahaya sekali bukan? Itu baru rakyatnya yang jomblo Indonesia sudah separah ini, bagaimana kalau presidennya yang jomblo? #Ehh

ilustrasi pernikahan: Pixabay

Komentar

Posting Komentar