HARUS saya akui, ketika radang paru-paru saya tengah kambuh
kadang saya merasa sangat pesimis untuk hidup. Saya merasa usia tidak akan lama
lagi. Dalam hati saya terus bertanya, sampai kapan saya bisa bertahan hanya
dengan napas yang tinggal seperempat ini?
Seperti saat ini, sudah hampir tiga minggu radang paru-paru
yang sudah sejak SMP saya derita tengah kambuh. Biasanya penyebabnya dingin,
atau kelelahan. Biasanya kalau sudah minum salbutamol setelah itu lega, saya
seperti terbebas jeratan simpul-simpul yang sangat erat di dada saya. Namun
saat ini tidak, salbutamol tak lagi mempan. Sekarang bukan hanya sesak, tapi
juga nyeri setiap kali saya menarik napas.
Hingga pikiran-pikiran pengecut itu mucul, sampai kapan saya bisa bertahan dengan napas yang tidak utuh ini?
Hari-hari terus berjalan. Pekerjaan menuntut saya untuk
pergi ke pelosok-pelosok wilayah Gunungkidul. Berbagai kalangan saya temui,
pejabat pemerintahan, pengusaha, politikus, aktivis, tukang angkringan, tukang
becak, juga orang-orang yang terjebak dalam penyakit menahun di sudut-sudut
kabupaten yang terkenal dengan keindahan pantainya ini.
Saya menemui seorang gadis di perbatasan
Gunungkidul-Sukoharjo, usianya hanya satu tahun di atas saya. Sudah hampir
setahun ia hanya bisa berbaring di tempat tidur, penyakit-penyakit yang saya
tak tahu namanya hari demi hari terus menggerogoti tubuhnya. Hingga sekarang
yang tersisa hanya tulang dibalut kulit. Suaranya lemah, tatapan matanya sayu,
namun di balik semua itu tersimpan semangat yang luar biasa untuk melawan
penyakitnya, untuk tetap hidup.
Di waktu yang berbeda, saya bertemu dengan simbah berusia
seratus tahun lebih. Sekarang ia sudah sakit-sakitan karena faktor usia. Mulai
dari kekuatan indera yang mulai melemah, tulang yang sakit-sakitan, dan
sebagainya. Namun di sisi lain ia masih sangat bersemangat menjalani
kesehariannya. Ketika saya sowan ke gubuknya, ia tengah beberes di sekitar
rumah. Menyapu halaman, mencabuti rerumputan liar, dan sebagainya.
Ketika saya datang, ia meyambut sangat hangat, saya cium
tangannya seperti saya mencium tangan ibu saya. Saya perkenalkan diri dan
menjelaskan maksud dan tujuan saya datang, tentunya dengan bahasa Jawa krama
inggil, karena simbah tidak mengenal bahasa Indonesia yang katanya bahasa
persatuan itu.
Kami ngobrol panjang lebar, simbah bercerita tentang masa
mudanya, ketika tentara Nipon mulai masuk ke Indonesia mengambil alih kekuasaan
dari tangan Belanda. Ketika ia harus sembunyi dari kejaran tentara-tentara
Nipon maupun Belanda. Ketika masa-masa kelam pembantaian PKI. Ketika ia harus
berjalan dari Gunungkidul sampai Jogja untuk kulakan barang dagangan di Pasar
Beringharjo. Semua hal ia ceritakan dengan sangat semangat. Dan sebagai anak
yang dibesarkan oleh orang tua bernama globalisasi, saya hanya bisa kagum
dengan kisah-kisahnya.
Yang terakhir, kemarin, Rabu (30/01/2019), saya kembali bertemu dengan seseorang yang sangat luar biasa. Usianya masih sangat jauh di bawah saya, masih lima setengah tahun dan sekarang duduk di bangku TK kelas Nol Besar. Ia adalah ODHA, penderita AIDS sejak masih bayi. Ayah dan Ibunya sudah lebih dulu meninggal ketika usianya masih setahun. Kini ia tinggal berdua dengan sang nenek yang sudah sangat lanjut usianya.
Saya menemui bocah kecil yang cantik itu di rumahnya. Saat
itu ia belum pulang sekolah, baru setelah menunggu sekitar setengah jam ia
pulang. Wajahnya tak mencerminkan rasa sakit apapun seperti yang sudah saya
bayangkan. Laiknya anak-anak yang hidupnya dipenuhi kebahagiaan. Ia menyalami
saya. Saya tersenyum, dia membalas malu-malu.
Kami duduk lesehan di depan televisi
yang sedang menyala, yang sama sekali tidak kami perhatikan apa yang sedang
ditayangkannya. Saya hanya fokus dengan kisah bocah ini.
Selama bertahun-tahun ia harus meminum obat dua kali sehari.
Ia beraktivitas seperti biasa. Benar-benar seperti biasa, selama berbincang tak
ada raut kesedihan di air mukanya. Entah karena ia belum paham seberapa
bahayanya penyakit yang ia derita, atau memang karena sudah terbiasa. Yang
jelas kisah bocah manis ini kembali menampar keras wajah saya.
Sepulang dari rumahnya, di tengah jalan rintik gerimis
turun. Saya tidak fokus, pikiran saya tak keruan. Kaca helm saya tutup ketika
rintik gerimis yang mulai membesar meninggalkan jejak sakit di wajah saya.
Setelah itu pikiran saya kembali melayang entah ke mana. Sesak yang menjerat
dada saya seperti hilang. Di tepi jalan saya berhenti, memandangi hamparan
sawah yang mengijau. Saya ambil sebatang rokok di saku jaket. Menyalakan dan
menghisapnya dalam. Lalu asap mengepul, terbang ke langit membawa doa-doa
selamat untuk si bocah manis dan semua orang-orang yang telah menampar saya
dengan kisah-kisah mereka.
Lalu saya teringat kisah para tokoh revolusi, Tan Malaka dan
Che Guevara yang juga menderita penyakit pernapasan. Namun penyakit itu tak
pernah menjadi penghalang mereka untuk mengibarkan bendera revolusi, menumpas
kolonialis.
Wonosari, 31 Jan. 2019
Sumber gambar: Pixabay
Komentar
Posting Komentar