“Dalam
memberitakan kasus bunuh diri, media di Gunungkidul seolah sedang memberitakan
konten infotainment”
KABUPATEN Gunungkidul dikenal dengan wisatanya
yang ciamik, terutama wisata alam. Pantai di Gunungkidul memang tidak diragukan
keindahannya. Pegunungan, goa bawah tanah, serta air terjun juga tidak kalah.
Tak heran jika pembangunan di sektor wisata merupakan prioritas utama
pemerintah daerahnya.
Namun ada yang mengerikan di kabupaten dengan
jargon Handayani ini, yaitu angka bunuh diri yang sangat tinggi. Dimuat
oleh Yayasan Inti Mata Jiwa (Imaji) dalam artikelnya “Menelisik Data dan Fakta Bunuh Diri di Gunungkidul 2001-2017”,
jumlah korban bunuh diri dari tahun 2001 sampai 2016 mencapai 458 orang.
Sedangkan data yang dirilis Polres Gunungkidul, tahun 2017 kasus bunuh diri
mencapai 34 kasus dan tahun 2018 sebanyak 33 kasus. Itu artinya setiap tahun
dari tahun 2001 sampai 2018, sebanyak 29 warga Gunungkidul menjadi korban
ganasnya bunuh diri.
Angka paling rendah terjadi pada tahun 2001
dengan 18 kasus, sedangkan angka tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan 39
kasus. Di luar kedua tahun itu, angka bunuh diri di Gunungkidul selalu ada di
kisaran 30 kasus. Tahun 2019, memasuki pertengahan April kasus bunuh
diri di Bumi Handayani ini sudah memakan 14 korban. Fenomena yang mengerikan di
balik indahnya bentang alam Gunungkidul.
Persoalan
Tak Kunjung Usai
Fenomena bunuh diri di Gunungkidul menjadi
permasalahan pelik sejak bertahun-tahun. Organisasi kesehatan PBB, WHO bahkan
sempat menyoroti fenomena mengerikan di Gunungkidul ini.
Persoalan bunuh diri di Gunungkidul menjadi
sangat pelik, pasalnya masalah ini merupakan masalah multifaktorial. Sangat
banyak faktor yang mempengaruhi mulai dari faktor psikologi, ekonomi, sosial,
bahkan faktor mitologi “pulung gantung” yang telah berkembang di tengah
masyarakat selama bertahun-tahun.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul
sebenarnya telah membentuk Satgas Berani Hidup, yang belum lama ini berganti
nama menjadi Satgas Penanggulangan Bunuh Diri. Di dalamnya ada para pimpinan
daerah sebagai anggota satgas. Sayangnya kinerja satgas tak pernah menunjukkan
hasil signifikan, kasus bunuh diri di Gunungkidul terus berlanjut.
Satgas seolah dibentuk sekadar untuk formalitas.
Pasalnya minim sekali orang-orang yang memang kompeten di bidang penanganan
bunuh diri. Memang mereka punya kewenangan atas berbagai bidang di bawahnya.
Namun selama ini tidak pernah ada gagasan-gagasan konkret yang lahir dari
dibentuknya satgas tersebut. Yang ada hanya wacana-wacana normatif, sama sekali
tak menyelesaikan masalah.
Bahkan ketika diwawancarai oleh beberapa media
lokal di Gunungkidul mengenai permasalahan pelik tersebut, ketua satgas yakni
Immawan Wahyudi yang juga merupakan Wakil Bupati Gunungkidul tak memberikan
solusi apapun.
Dimuat oleh gunungkidul.sorot.co dalam artikel
“Sulit Tanggulangi Bunuh Diri, Ketua Satgas Sebut Bunuh Diri Tidak Bisa Diprediksi” dan pidjar.com dalam artikel “Bunuh Diri Marak, Wakil Bupati : Kematian Itu Rahasia Allah”,
Immawan hanya menyampaikan hal-hal yang sifatnya sangat normatif.
Alih-alih memberikan gagasan yang solutif, ia
malah mengatakan bahwa masalah bunuh diri merupakan fenomena yang unpredictable, tidak dapat diprediksi.
Menurutnya bunuh diri tak ada bedanya dengan kematian pada umumnya, dimana yang
mengetahui hanya Tuhan semata.
Memang tidak salah sepenuhnya. Tetapi untuk
sekelas ketua satgas, statemen tersebut sangat konyol. Dilihat dari
faktornya, tentu sangat berbeda antara bunuh diri dengan kematian pada umumnya.
Lagi-lagi Tuhan dijadikan tameng untuk menutupi ketidakbecusan pemerintah.
Bagaimana
Media Media Memberitakan Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul
erlepas dari berbagai faktor penyebab bunuh
diri di Gunungkidul, media menjadi salah satu faktor yang turut berperan dalam
melanggengkan masalah bunuh diri tersebut. Kinerja jurnalistik beberapa media
yang abai dengan etika-etika jurnalistik telah berperan, kenapa persoalan
tersebut tak kunjung bisa diselesaikan.
Sedikitnya ada delapan media lokal daring di Gunungkidul,
diantaranya gunungkidul.sorot.co, infogunungkidul.com, suaragunungkidul.com,
radargunungkidul.com, pidjar.com, gunungkidulpost.com, swaragunungkidul.com,
serta kabarhandayani.com.
Alih-alih memuat pemberitaan yang edukatif,
media di Gunungkidul justru selalu memberitakan kasus bunuh diri dengan
sensasional, sangat vulgar. Mereka tak lebih hanya menjadikan kasus demi kasus
bunuh diri sebagai bahan komoditas belaka. Bisa dilihat bahwa berita tentang
bunuh diri selalu menjadi berita paling populer di media-media tersebut.
Mereka memberitakan setiap kasus bunuh diri
dengan sangat vulgar, mulai dari identitas korban, penyebab, kondisi fisik korban
setelah bunuh diri, sampai modus atau kronologi bagaimana korban melakukan
aksinya juga dicantumkan dengan sangat detail.
Gunungkidul.sorot.co bisa dibilang menjadi
media yang paling vulgar di antara media yang lain. Tidak hanya vulgar,
gunungkidul.sorot.co juga kerap me-running sebuah kasus bunuh diri menjadi
beberapa berita. Misal pemberitaan tentang bunuh diri yang terjadi di Desa
Mulo, Kecamatan Wonosari pada 3 Februari 2019 silam. Gunungkidul.sorot.co
memberitakan kasus tersebut menjadi tiga artikel.
Tiga artikel itu diantaranya berjudul “SiangBolong Simbah Ditemukan Gantung Diri di Rumah Kosong”,
“Korban Gantung Diri Tak Pernah Mengeluh”,
serta “Takut Jadi Rumah Angker, Bangunan Bekas Gantung Diri Dibongkar”.
Media lain tidak mau ketinggalan,
infogunungkidul.com dan kabarhandayani.com juga me-running kasus tersebut
menjadi dua artikel berita dengan sudut pandang yang tidak jauh berbeda.
Media-media lain juga tidak lebih baik. Di kasus yang sama, alih-alih menjadi
oase, media lainnya juga melakukan pemberitaan dengan sangat vulgar.
Kasus bunuh diri di Desa Mulo tersebut hanya satu contoh, di kasus-kasus lainnya pola pemberitaan sama, terlampau vulgar dan sensasional.
Tidak hanya isi berita yang vulgar, hampir semua
media tersebut juga selalu memuat foto korban, baik ketika korban masih dalam
kondisi menggantung (kebanyakan kasus bunuh diri di Gunungkidul dilakukan
dengan cara gantung diri) maupun ketika ia sudah dievakuasi. Kendati foto
tersebut telah disensor, namun tetap saja masih menampakkan kondisi korban
dengan cukup jelas. Hal ini tidak bijak, karena seharusnya dalam kasus bunuh
diri foto untuk pemberitaan cukup dengan ilustrasi saja.
Abai
Terhadap Etika Jurnalistik
Sampai sekarang memang belum ada pedoman khusus
untuk memberitakan sebuah kasus bunuh diri. Namun pemberitaan kasus bunuh diri
secara detail seperti kondisi fisik korban setelah bunuh diri, identitas korban, modus dan
lokasi bunuh diri dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan baik bagi keluarga korban
bunuh diri maupun bagi pembaca.
Memberitakan
kasus bunuh diri secara vulgar juga termasuk dalam pemberitaan sadis, dimana
hal itu melanggar kode etik. Bagi seorang wartawan, hal-hal semacam itu
seharusnya sudah paham di luar kepala.
Selain itu, bunuh diri masih dipandang sebagai
aib bagi banyak orang. Karena itu, seharusnya media tidak memuat identitas korban
maupun keluarga secara gamblang. Namun hal ini tampaknya diabaikan oleh
media-media di Gunungkidul.
Sebenarnya dewan pers telah menyiapkan draf
panduan untuk pemberitaan bunuh diri, meski sampai saat ini belum juga
diberlakukan. Seperti yang dimuat oleh Detik.com dalam artikel “Dewan PersSiapkan Draf Panduan Pemberitaan Bunuh Diri”,
setidaknya ada 14 poin yang ada dalam draf pedoman tersebut, dan hampir semua
pemberitaan media di Gunungkidul tidak memenuhi poin-poin tersebut.
Beberapa poin di dalam draf tersebut
diantaranya tidak mengeksploitasi kasus bunuh diri dengan membuat berita yang
bersifat sensasional, tidak memuat stigma kepada korban bunuh diri, menghindari
penyebutan identitas (semua data dan informasi yang memudahkan orang lain untuk
melacak) korban bunuh diri.
Selain itu, media juga dilarang untuk
menyiarkan modus secara detail mulai dari cara, alat, jenis obat, bahan kimia,
termasuk informasi detail dari dokter maupun kepolisian. Selain dilarang memuat
foto atau video korban bunuh diri, media juga dilarang untuk mengulang-ulang
pemberitaan tentang kasus bunuh diri karena itu merupakan praktik eksploitasi
media terhadap kasus bunuh diri.
Sayangnya semua poin-poin tersebut diabaikan
oleh sebagian besar media yang memberitakan kasus bunuh diri di Gunungkidul.
Bagaimana
Media di Gunungkidul Mengajari Bunuh Diri
Kronologi atau cara korban bunuh diri yang
digambarkan secara detail dalam sebuah pemberitaan dapat menimbulkan dampak
imitasi atau peniruan (copycat suicide).
Media di Gunungkidul mengolah sebuah kasus bunuh diri layaknya sedang
memberitakan infotainment.
Judul-judul
dalam berita bunuh diri selalu dibuat sesensasional mungkin dilengkapi dengan
penyebab dan metode bunuh diri. Misalnya seperti berita “PutusCinta, Pemuda Kalibawang Gantung Diri di Dapur”, atau “Alasan Pelajar SMK Nekat Bunuh Diri di Gubuk Tengah Sawah”, atau “Diduga Frustasi Putus Cinta dan Jadi Korban Penipuan, Warga Bejiharjo Gantung Diri di Perantauan”.
Dalam badan
berita, semua identitas korban dan kronologi dijabarkan serinci mungkin. Kalau
perlu disisipkan cerita-cerita yang bias semakin mendramatisir sepreti surat
wasiat korban sebelum bunuh diri.
Hal ini tentu tidak etis. Suatu saat, jika ada
seseorang mengalami masalah yang sama dengan apa yang pernah dialami korban
bunuh diri, maka bisa terlintas di benaknya untuk melakukan hal yang sama
sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Namun media-media tersebut akan membantah
bahwa apa yang dilakukannya sama saja telah mengajari seseorang untuk melakukan
bunuh diri. Alasannya karena selama ini mayoritas korban bunuh diri merupakan
mereka yang sudah berusia lanjut, yang tidak mungkin membaca pemberitaan di
media daring.
Sayangnya persoalan tidak sesederhana itu.
Media-media itu kurang memperhatikan efek jangka panjang. Mereka lupa bahwa
yang membaca berita mereka saat ini juga nantinya akan tua. Dan tidak menutup
kemungkinan mereka akan mengalami masalah yang sama dengan apa yang menimpa
para korban bunuh diri di berita mereka.
Pemberitaan yang mereka lakukan bukan hanya melanggar kode etik, tapi juga berbahaya untuk kesehatan pembacanya.
Perlu diketahui bahwa di dalam otak manusia
terdapat sebuah proses sensitisasi, dimana sesuatu yang dialami secara
berulang-ulang kemudian akan terekam di alam bawah sadar. Hal ini kemudian akan
menyebabkan perilaku impulsif, dimana seseorang akan melakukan suatu tindakan
tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu. Bayangkan jika seseorang
membaca berita-berita tentang bunuh diri yang disajikan secara vulgar secara
berulang-ulang, sangat mungkin hal tersebut akan terekam di alam bawah sadarnya
dan dalam kondisi tertentu akan menyebabkan perilaku impulsif.
Sementara
itu, Stack (2003) mengungkapkan bahwa pemberitaan bunuh diri yang tidak sehat
dapat memicu pemikiran bunuh diri dan bunuh diri tiruan pada kelompok rentan
berusia remaja. Stack menyebut fenomena ini sebagai efek Werther.
Lebih
lanjut, Stack menjelaskan mengapa pemberitaan bunuh diri yang tidak sehat dapat
menimbulkan bunuh diri – bunuh diri tiruan. Pertama, seseorang akan mengalami
pembelajaran sosial bahwa ada orang lain yang mengalami masalah tertentu dan
menyelesaikan masalahnya dengan cara bunuh diri. Hal ini
mirip dengan perilaku impulsif yang telah kita bahas di atas.
Pembelajaran sosial membuat orang dengan masalah
yang dijadikan asumsi tunggal penyebab bunuh diri dari kasus tersebut (seperti
masalah romansa, kesulitan ekonomi, penyakit kronis, perundungan, pemerkosaan
dan hal lainnya) menganggap bahwa bunuh diri adalah solusi terbaik untuk
masalahnya.
Kedua, adanya proses identifikasi yang lebih kuat dengan jenis berita bunuh
diri tertentu. Kasus bunuh diri public figure dianggap mempengaruhi lebih banyak orang untuk berpikir bahwa jika
mereka yang terkenal, sukses dan berkarier baik saja tidak kuat menjalani
hidup, apalagi mereka sebagai orang awam yang menjalani hidup lebih berat.
Kemudian
yang terakhir, adalah berfokus pada
kondisi dari konsumen media. Jika sebuah berita bunuh diri muncul dalam kondisi
masyarakat berisiko tinggi (seperti krisis ekonomi, tingkat perceraian tinggi,
kesulitan lapangan kerja), maka ia akan memiliki efek bunuh diri tiruan yang
lebih tinggi karena adanya lebih banyak orang yang memiliki risiko bunuh diri. Hal ini juga yang tampaknya terjadi
di Gunungkidul. Menjadi Kabupaten termiskin di DIY, membuat berbagai masalah
muncul di sana.
Lalu Bagaimana Sebaiknya Media Memberitakan
Bunuh Diri?
Remotivi
sebenarnya pernah membahas permasalahan media dalam memberitakan bunuh diri
dalam artikelnya yang berjudul “Bahaya Bagi Kesehatan JiwadalamBerita Bunuh Diri”.
Beberapa penjelasan di atas juga mengambil apa yang telah dituliskan Remotivi
dalam artikel itu.
Beberapa
negara telah mengembangkan peoman pemberitaan bunuh diri, salah satu yang paling
berhasil adalah Australia.
Pada 1987, Austrian Association for
Suicide Prevention memulai kampanye media untuk mengubah jumlah dan cara
peliputan media dari kasus bunuh diri di subway mereka. Hal ini dilatarbelakangi adanya
peningkatan drastis kasus bunuh diri di subway
tersebut yang ternyata berkaitan dengan peningkatan peliputan tentang bunuh
diri sejak 1983 sampai 1986.
Dalam enam
bulan, di subway mereka ada Sembilan kejadian
bunuh diri. Lalu setelah Juni 1987, media di sana berhenti melaporkan kejadian
bunuh diri, atau memberitakan dalam laporan pendek di halaman dalam koran. Hasilnya,
ada penurunan bunuh diri hingga 75% setelah pedoman tersebut diluncurkan pada
1987 (Sonneck, dkk, 1994).
Tahun 2008, WHO juga telah meluncurkan pedoman pemberitaan bunuh diri yang dapat diadopsi
sesuai dengan konteks masing-masing negara. Situs reportingonsuicide.org juga
dapat dijadikan acuan untuk pedoman pemberitaan bunuh diri. Keduanya memberikan
tips mengenai apa saja yang perlu dan tidak perlu dimasukkan dalam pemberitaan
bunuh diri.
Dituliskan juga
dalam artikel Remotivi, bahwa pesan yang harus disampaikan
dalam konten berita adalah bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat,
bukan masalah kriminal atau moral.
Penyampaian pesan yang tepat penting untuk
mengurangi stigma terhadap bunuh diri yang tidak perlu. Di akhir badan berita,
perlu ditampilkan pesan untuk mencari bantuan ke orang sekitar atau
professional ketika masalah pemikiran bunuh diri ini terlampau mengganggu
individu. Sumber informasi yang berbasis bukti perihal bunuh diri dapat
ditambahkan sebagai sumber rujukan untuk mendidik masyarakat. Peletakan
pemberitaan bunuh diri juga tidak dianjurkan untuk diletakkan dalam kolom
kriminal atau diperlakukan seperti berita kriminal.
Namun apakah
media atau jurnalis masih bersedia memelihara rasa kemanusiaannya? Sedangkan media
kini didirikan bukan lagi untuk mengabarka, malainkan untuk kepentingan bisnis.
Hal ini menjadi kendala serius media-media yang “berpenyakitan” itu.
Media pers atau jurnalis seharusnya
bisa menjalankan fungsinya sebagai pemberi edukasi dan kontrol sosial kepada
masyarakat. Dalam konteks kasus bunuh diri di Gunungkidul, media seharusnya
bisa mengambil peran penting dalam upaya preventif kasus bunuh diri, alih-alih
mengeksploitasi fenomena bunuh diri demi meningkatkan trafic pembaca, yang
imbasnya akan melanggengkan fenomena bunuh diri tersebut.
Sonneck, G., Etzersdorfer, E., & Nagel-Kuess, S. (1994). Imitative suicide on the Viennese subway. Social Science and Medicine, 38 (3), 453–457
Stack, S. (2003). Media coverage as a risk factor
in suicide. Journal of Epidemiology and Community Health, 57 (4), 238–240
World Health Organization. (2008). Preventing
suicide: A resource for media professionals.Geneva: World Health Organization.
gambar: Pixabay
Komentar
Posting Komentar