Bukankah Tidak Ada Kekuasaan Seharga Nyawa?

Sejumlah massa Aksi 22 Mei terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/209). Aksi unjuk rasa itu dilakukan menyikapi putusan hasil rekapitulasi nasional Pemilu serentak 2019. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

KEDUA kubu bukannya sama-sama berada di lingkaran orang-orang yang mengaku ulama, dekat dengan Tuhan?

Bahkan wakilnya yang satu katanya mengetuai para ulama se-Indonesia. Yang satunya juga santri Pos-Islamisme. Mereka sama-sama memainkan isu agama. Mengklaim kelompoknya adalah yang paling diridhoi Tuhan. Kurang apa?

Tapi kenapa tidak ada yang belajar dari kisah Imam Hasan bin Ali, cucu Rasulullah?

Bagaimana Imam Hasan merelakan tahta sebagai khilafah kepada kubu Muawiyah. Padahal sebenarnya beliaulah yang berhak atas kedudukan itu.

Tapi cucu Nabi enggan mempersoalkan urusan jabatan itu, meski pasukannya sebenarnya sudah siap untuk bertempur.

Imam Hasan tetap menahan. Beliau tak mau ada pertumpahan darah hanya karena perebutan kekuasaan, jangan sampai ada setetes darah pun yang jatuh, terlebih pasukan Muawiyah adalah sesama muslim. Saudara sendiri, katanya.

Imam Hasan berpikir, siapa tahu yang berhak atas tahta itu memang Muawiyah. Maka ia ikhlas menyerahkannya. Namun jika ternyata yang berhak atas tahta itu adalah dia, maka atas nama perdamaian, demi tidak adanya pertumpahan darah, beliau rela dan ikhlas menyerahkan kepada Muawiyah.

Hingga akhirnya Imam Hasan wafat, diracun oleh istrinya sendiri.

Mantan presiden kita, Gus Dur juga pernah berkata ketika ia digulingkan dari jabatannya, "Tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian," katanya.

Lah sekarang, para elit itu kok berteriak-teriak, mengajak jihad untuk urusan kekuasaan mereka. Mereka membenturkan rakyat demi ambisi mereka. Dan sialnya, orang-orang goblok mabok agama dan kecanduan politik mau saja diprovokasi. Anjing lah!

Ngakune mencintai Alloh, Prekk!! Ra nggugu, ra percoyo nek neng atimu iseh ono kebencian karo sedulurmu dewe!!!

Hingga akhirnya kerusuhan benar-benar terjadi. Korban mulai berjatuhan. Ratusan luka-luka, 6 nyawa melayang sia-sia. Makan itu jihad njing!

Lalu kedua kubu sama-sama angkat tangan, saling melempar tanggung jawab. Sama-sama lupa ingatan. Bangsat!!

Jadi mulai sekarang tidak usah berharap pada siapapun, apalagi pemerintah. Karena mereka ternyata bukan pemerintah, melainkan penguasa yang sangat suka menindas rakyatnya. Menjadikan rakyatnya tumbal demi ambisi politik mereka.

Tidak usah lagi berharap pada ulama, karena ternyata mereka juga sudah masuk ke dalam lingkaran bedebah itu. Tidak usah berharap lagi pada para cendekia, karena mereka sudah melacurkan intelektualnya demi kepentingan politis. Sementara seniman yang seharusnya bisa menyucikan kotornya politik, juga sudah partisan.

(Memang tidak semua, masih ada mereka yang tak terlihat, yang masih berusaha merajut kembali rasa kebangsaan yang telah koyak)

Cukup pada dirimu dan Tuhanmu (bagi yang bertuhan), kamu gantungkan harapan.

Sadar cuk! Ameh Jokowi opo Prabowo, sing menang, koe tetep kalah! Rakyat tetep kalah!

Melek matamu Su!


Surakarta, 23 Mei 2019

gambar: ANTARA


Komentar