Dosakah Saya yang Putus Asa?




BEBERAPA kali, beberapa kawan dari sedikit kawan yang saya miliki mempertanyakan tulisan-tulisan saya yang jadi lembek, melankolis, penuh rasa pesimistis dan kesedihan.

Mereka protes dan bertanya, mana tulisan-tulisan saya yang seperti dulu, yang keras dengan setiap hal yang melenceng, dengan setiap kezaliman, dengan setiap kesewenang-wenangan, dan ketidakberesan.

Mereka tidak tahu, kalau sebenarnya kondisi saya jauh lebih parah ketimbang apa yang mereka sangkakan. Saya lebih dari sekadar lembek, lebih dari sekadar melankolis, lebih dari sekadar pesimis, lebih dari sekadar sedih. Saya jauh lebih parah ketimbang kondisi-kondisi itu, saya putus asa.
 
Ya, putus asa, taiasu kalau dalam bahasa arabnya. Kalau Cak Nun bilang, taiasu se taiasu-taiasunya. Putus asa se putus asa putus asanya.

Ya, banyak sekali tulisan-tulisan Cak Nun yang setelah saya baca lalu saya mereasa, “baik, tidak masalah, saya tidak sendiri”.

Semakin beranjak tua, saya semakin memahami bahwa persoalan yang ada nyatanya telah menggurita.

Persoalan-persoalan yang dulu sering saya protes dengan keras bersama kawan-kawan di kampus, mulai dari masalah pendidikan, sosial, agama, eksploitasi rakyat kecil, penggusuran, perusakan lingkungan, semua ternyata seperti mustahil untuk dibereskan setelah saya sedikit tahu bagaimana dan siapa saja pihak-pihak yang terlibat.

Dalam bukunya, entah saya lupa yang mana, Cak Nun pernah menuliskan bahwa mustahil permasalahan di Indonesia ini diselesaikan oleh manajemen manusia.

Cak Nun yang saya pikir sudah mengetahui seluk beluk permasalahan bangsa ini sampai ke sudut-sudut terdalamnya juga pernah mengatakan dalam sebuah forum Maiyah. 
Intinya, Cak Nun kasihan dengan anak-anaknya, generasi muda bangsa ini apabila ia menceritakan semua yang sebenarnya tengah terjadi terhadap bangsa ini.

Dari kata-katanya, saya tidak bisa membayangkan, seberapa rumit permasalahan yang ada di Indonesia ini.

Misalnya saja, ketika masih mahasiswa, bersama kawan-kawan yang lain kami begitu keras memrotes praktik-praktik kapitalisasi pendidikan yang ada di dalam kampus.

Kami mengkritik lewat tulisan, kami melawan dengan cara diplomasi, sampai beberapa kali menggunakan demonstrasi, tapi hasilnya nihil.

Saat ini, saya berpikir, semua perlawanan itu omong kosong ketika saya tahu bahwa yang kami lawan bukan hanya rektor, melainkan juga kemeterian. Karena rektor pasti menghamba pada menteri yang telah banyak berkontribusi terhadap jabatannya.

Ternyata tidak sampai di menteri saja lingkaran setan itu, karena menteri juga tidak lebih dari abdi presiden. Sialnya presiden bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi, karena presiden ternyata juga hanya wayang.

Presiden masih tunduk pada permainan dunia industri dan investor, juga kepentingan-kepentingan politis orang-orang yang mengusungnya. Dan di atas mereka, masih ada pihak yang memang mengonsep semua ini, mengonsep manusia untuk menuhankan materi, menuhankan uang, mereka adalah pihak yang mendambakan sebuah tatanan baru di dunia ini.

Dengan adanya komersialisasi pendidikan, masyarakat hanya akan fokus mencari uang, dan perlahan lupa dengan yang sebenarnya punya kuasa penuh atas hidupnya dan alam semesta ini.

Itu baru contoh kecil, hanya satu kasus. Sedangkan seperti yang kita tahu, permasalahan di negeri ini bukan hanya komersialisasi pendidikan.

Hampir semua sektor kehidupan di negeri ini adalah masalah. Pertanian, agama, ideologi, politik, pertahanan, pembangunan, sampai sepak bola, semua tidak lepas dari masalah yang sudah terlampau pelik dan mustahil untuk diselesaikan dengan manajemen manusia.

Saya mulai berpikir tentang keomongkosongan teori-teori yang pernah jadi perdebatan saya dan beberapa teman di kampus seperti teori marxisme, leninisme, anarkisme, marhaenisme, yang semuanya mengarah pada kemerdekaan rakyat kecil, saya mulai berpikir semua hanya omong kosong jika tidak ada intervensi Tuhan di sana.

Beberapa waktu ini, sering ada bisikan-bisikan di telinga saya, “sudah, tidak apa-apa, nanti juga akan ada orang-orang baru yang datang”.

Saya menolak bisikan-bisikan itu. Sayangnya semakin saya tolak, bisikan itu semakin keras terdengar dan menjelma menjadi teriakan-teriakan.

Hingga saya sampai pada titik taiasu se taiasu-taiasunya ini. Putus asa se putus asa – putus asanya.

Lantas, apakah saya berdosa karena telah putus asa? Bukankah Tuhan mengecam siapa saja yang putus asa atas hidupnya?

Bukankah tuhan sudah memperingatkan,

"....Wala taiasu mirraukhillah, Innahu la yai asu mirraukhillah, illal qoumul kafiruuna".

"....janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berpurus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum kafir"


Apakah saya sekarang menjadi kafir karena sudah putus asa, bahkan putus asa - seputus asa-putus asanya?

Entahlah, pertanyaan saya selanjutnya adalah, apakah setelah putus asa saya hanya diam saja tanpa melakukan apapun?

Saya memang sudah putus asa, bahkan untuk menaruh harapan saja saya tidak berani karena begitu traumanya dengan berbagai kekecewaan yang pernah saya alami.

Tapi sekali lagi, apakah setelah saya putus asa lantas saya diam, tak melakukan apapun?

Tetiba saya teringat sebuah kisah yang sangat tersohor, tentang seekor burung pipit yang berusaha menolong Ibrahim ketika dibakar hidup-hidup oleh Namrud.

Burung pipit itu bolak-balik, membawa beberapa tetes air dengan paruhnya untuk disiramkan ke api yang berkobar membakar Ibrahim.

Cicak yang melihat kelakuan si burung pipit itu lalu mencemooh. Cicak melihat betapa bodohnya burung pipit itu karena telah melakukan sesuatu yang sama sekali sia-sia.

“Mengapa kamu bersusah-payah bolak-balik mengambil air, sedangkan kamu tahu api besar yang membakar Nabi Ibrahim takkan hilang dengan sedikit air yang kamu siramkan itu?“ kata cicak kepada burung pipit.


Lalu dijawab oleh burung kecil, “Walaupun aku tahu aku tidak akan mampu memadamkan api tersebut, namun aku mesti berusaha untuk menegakkan kebenaran dengan segenap kemampuan yang kumiliki.”


“Allah tidak akan bertanya kepadaku apakah aku berhasil memadamkan api itu atau tidak. Tapi aku lebih takut Allah akan menanyakan apa yang aku lakukan saat melihat kezaliman di depan mataku!” lanjut si burung.

Cicak tertawa. Ia kemudian menjulurkan lidahnya, berusaha meniup api yang membakar Ibrahim.

Memang tiupan cicak tak ada artinya, tak menambah besar api yg membakar Nabi Ibrahim.
Tapi Allah melihat di mana ia berpihak.




Surakarta, 28 Mei 2019.

sumber gambar: Pixabay

Komentar

  1. Bagus mass kisahnya 🌝 tetep, dosa mass!!1!1!1! Dosa!!!1!1!

    BalasHapus

Posting Komentar