Musafir; Sebuah Coretan Harian [1]



KETIKA saya menulis ini (22 Mei 2019, pukul 22.55), hampir tiga pekan saya tinggal di Solo. Selama itu, saya merasa nyaman-nyaman saja di tempat baru ini. Paling tidak, belum ada masalah berarti. Meski bisa dikatakan, ini adalah fase paling sunyi dalam hidup saya dalam lima tahun terakhir.

Sebelumnya, saya setengah tahun lebih tinggal di Gunungkidul. Kabupaten terbesar di DIY, sekaligus yang termiskin.

Saya sendiri tak pernah berpikir untuk tinggal di Gunungkidul sampai selama itu.

Semuanya berawal ketika teman sekelas saya, Faruq mengabarkan kalau dibutuhkan seorang guru pengganti di sebuah SMK Muhammadiyah di Gunungkidul.

Saya lupa tepatnya, tapi yang jelas beberapa hari lagi masa studi saya di UNY berakhir.
Tanpa pikir panjang, saya hubungi Faruq untuk menerima tawaran itu. Karena jujur, saat itu saya belum siap untuk pulang ke kampung halaman, Banyumas.

Akhirnya, Kamis siang pada Bulan September, setelah saya Yudisium pada pagi harinya, kami berdua berangkat menuju ke sekolah tersebut. Kami disambut baik dan sangat hangat oleh guru-guru di sana.

Setelah berdiskusi beberapa saat dengan kepala jurusan, akhirnya disepakati, Senin pekan berikutnya saya sudah harus mengajar.

Saya ditugaskan untuk mengajar di empat kelas, dua kelas merupakan kelas sepuluh, dan dua kelas sisanya adalah kelas sebelas. Total dalam satu pekan saya mengajar selama 34 jam dari Senin sampai Jumat.

Berstatus sebagai guru pengganti, saya cukup bebas. Berbagai aturan yang mengikat tidak berlaku untuk saya.

Saya juga masuk hanya ketika ada jam pelajaran saja. Cukup fleksibel, saya pikir.
Tidak perlu waktu lama, saya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. Para siswa yang katanya beringas setengah mati juga tidak separah yang saya bayangkan. Sebagai alumni STM, saya tidak kaget dengan segala perilaku mereka. Terlebih sebelumnya saya juga sempat mengajar selama dua bulan di sebuah sekolah di bawah yayasan yang sama.

Anak-anak antusias. Mereka menerima saya dengan hangat di tengah mereka. Beberapa bahkan cukup akrab dengan saya. Karena saya menolak dipanggil “Pak”.
Kebanyakan dari mereka memanggil saya “Mas”, meski ada beberapa juga yang tetap memanggil “Pak”.

Hal tersebut membuat hubungan kami cukup hangat. Kami terbiasa bersenda gurau di tengah pembelajaran. Saya juga tidak mau terlalu mengekang mereka. Karena saya sudah mengalami bagaimana belajar di bawah tekanan selama 16 tahun, dan itu tidak enak.

Saya hanya menekankan ke mereka, kalau mereka boleh berbuat apa saja selama mereka bisa mempertanggungjawabkan perbuatan itu.

Misal, mereka boleh tidak memperhatikan materi yang sedang saya sampaikan, asal ketika ujian mereka bisa mengerjakan semua tugas-tugas mereka.

Saya juga sangat jarang menyampaikan materi dengan berceramah di depan kelas. Karena itu sama sekali tidak efektif untuk diterapkan di kelas dengan atmosfer seperti itu.

Walhasil, saya harus menjelaskan ke mereka satu per satu yang membuat beban pekerjaan saya jauh lebih berat. Tapi saya yakin, cara itu lebih efektif, setidaknya untuk mereka yang telah membayar mahal.

Dengan cara itu juga, saya bisa lebih dekat dengan mereka secara personal. Dan saya lihat, mereka cukup nyaman dengan cara itu.

Yang menjadi persoalan adalah, saya belum menemukan kawan di sana. Karena itu, seminggu sekali saya selalu sempatkan diri untuk turun ke Yogya, bertemu teman-teman untuk sekadar melepas penat atau menghabiskan waktu semalaman di warung kopi.
Di tengah-tengah saya mengajar, saya juga menulis untuk sebuah perusahaan penerbit buku dan tentunya untuk blog pribadi saya. Siapa sangka, kesendirian itu justru membuat saya semakin produktif menulis.

Saya biasa menghabiskan malam saya di warung-warung kopi yang mulai menjamur di Gunungkidul. Sayangnya saya belum menemukan warung kopi yang buka sampai pagi.
Hari terus berganti hari, dan saya mulai nyaman dengan rutinitas itu. Meski sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan atmosfer di sekolah yang terlalu kaku dan formal.

Hingga tak terasa masa mengajar saya sudah hampir selesai.

Tidak sengaja saya menemukan lowongan pekerjaan sebagai wartawan di sebuah media berita yang berpusat di Gunungkidul. Saya pikir itu lebih sesuai dengan passion saya yang sudah telanjur mencintai dunia jurnalistik.

Tanpa pikir panjang, saya kirimkan lamaran ke perusahaan media tersebut. Sebenarnya pihak sekolah menawarkan untuk perpanjangan kontrak, tapi saya menolaknya. Berbahaya jika saya kemudian terlalu nyaman di tempat itu.

Berselang beberapa hari, saya menerima panggilan untuk interview. Saat interview, saya jelaskan semua bahwa saya masih terikat kontrak mengajar dengan sebuah sekolah. Dan mereka mengerti, sehingga mengizinkan saya mulai bekerja ketika kontrak tersebut sudah selesai.

Meski begitu, beberapa kali saya tetap disuruh untuk liputan, bahkan ketika jam mengajar saya belum selesai. Akhirnya, saya kembali menekankan ke redaktur terkait perjanjian di awal, bahwa saya akan memulai bekerja ketika kontrak mengajar saya sudah selesai.
Singkat cerita, kontrak saya habis, bertepatan dengan hari wisuda saya, 24 November 2018.

Namun sehari sebelumnya sekolah mengizinkan saya tidak usah mengajar untuk menyiapkan segala keperluan wisuda. Lagi-lagi, Tuhan benar-benar baik kepada saya.
Akhirnya prosesi wisuda yang sangat melelahkan itu selesai. Jujur, kalau boleh tidak mengikutinya, saya akan memilih untuk tidak ikut wisuda.

Saya hanya memiliki waktu istirahat sehari setelah wisuda. Karena pada Seninnya saya sudah harus mulai bekerja di tempat yang baru.

Dan saat itulah, benang merah utamanya akan dimulai.

BERSAMBUNG...

Surakarta, 22 Mei 2019

gambar: Pixabay



Komentar