Absenteisme [2]




KASIH, aku masih menantimu.

Di bawah pohon ketapang yang daunnya mulai berguguran karena kemarau aku terus menulis surat untukmu.

Surat-surat yang ku kirimkan lewat semilir angin sore, lewat pendar purnama di malam ke lima belas, lewat suara hewan-hewan nokturnal di tengah malam, lewat kabut tipis yang melayang-layang di atas ilalang saat pagi menjeang.

Lewat semua, Kasih. Lewat apapun dan siapapun yang aku jumpai.

Tapi, sampai kini belum satu pun surat-surat itu kau balas, Kasih.

Apa karena kalimat-kalimat dalam suratku kurang indah?

Ah, aku rasa tidak. Dari dulu kau sangat paham betapa payahnya aku dalam hal merangkai kata-kata, Kasih.

Malah kau sering mengejekku setiap kali mencoba membuat sebuah puisi untukmu.

Kau selalu menyuruhku menjadi diriku sendiri.

Kau bilang kau tak perlu kata-kata, karena yang kau mau adalah rasa. Bukankah begitu, Kasih?

Substansi, isi!

Bukankah kau masih seperti yang dulu?

Atau kau pun sudah berubah menjadi pemuja kata?

Ah, tidak mungkin. Kau bukan pribadi yang labil, gampang berubah pendirian.

Aku yakin kau masih sama, dan selamanya akan seperti itu.

Kau sedang sangat sibuk di sana ya?

Kau bilang dulu kau akan menulis buku. Pasti sekarang kau sedang sibuk menyelesaikan bukumu itu kan, Kasih?

Ah, aku tidak sabar menanti bukumu itu. Aku tidak sabar untuk masuk ke dalam alur cerita di buku yang sedang kau garap itu, Kasih.

Pasti kata-katamu begitu puitis, penuh majas-majas dan paradoks yang setiap kali aku baca selalu saja aku memaknai berbeda.

Tidak seperti buku-buku kebanyakan yang sering kau kritik itu.

Buku mahal namun hanya untuk sekali baca.

Kau bilang penulis-penulis seperti itu telah dzalim kepada pembacanya.

Ah, kali ini aku setuju dengan tuduhanmu itu. Dan aku yakin, kau tidak akan menulis buku yang seperti itu kan, Kasih?

Aku sendiri belum terpikirkan untuk menulis buku seperti dirimu, Kasih.

Kau tahulah kemampuanku dalam hal ini. Karena itu aku lebih memilih untuk menjadi lelaki penulis surat saja, hanya ini yang aku bisa dalam hal tulis-menulis, Kasih.

Dan ketika aku sedang menulis surat untukmu di bawah pohon ketapang yang daunnya mulai berguguran karena kemarau, rintik gerimis mulai turun.

Rumput taman yang meranggas tampak bersorak, berbahagia menyambut gerimis yang sangat langka di tengah kemarau yang berkepanjangan.

Butir-butir air mulai membasahi kertas yang sudah setengah berisi surat untukmu, Kasih.

Membuat tinta birunya mulai luntur ke mana-mana. Ku biarkan saja gerimis itu membawa kata-kataku kepadamu.

Kau masih ingat kan, Kasih? Dulu ketika sedang gerimis seperti ini aku sering menyanyikan lagu kesukaanmu.

Lagu Oh My Love-nya John Lennon.

Kau sangat suka ketika petikan gitarku yang apa adanya menyatu dengan suara gerimis yang berjatuhan di air kolam dan di atas daun ketapang.

Kau juga sering mengejek bahasa inggrisku yang payah ketika aku mulai menyanyikan lagu kesukaanmu itu.

Ya, selain payah dalam tulis-menulis, aku juga sangat payah dalam bahasa.

Ah, sebenarnya hal apa yang aku tidak payah? Entahlah, Kasih.

Tapi bukankah kita tak perlu kata-kata, Kasih? Yang kita perlukan adalah rasa. Heuheuheu.

            Oh My Love for the first time in my life
            My eyes are wide open
            Hemmm hemmm hemmm
            Hemmm hemmm hemmm

Aku masih saja tak hafal liriknya, Kasih. Tapi tak apa, lewat rasa tetap ku nyanyikan lagu kesukaanmu sampai selesai.

            I feel life oh i feel love
            Everything is clear in my heart
            Hemmm hemmm hemmm
            Hemmm hemmm hemmm....

Kau masih ingat lagu itu kan, Kasih? Lagu yang tak juga ku hafal liriknya meski selalu menjadi pengantar tidurku setiap malam. Ah, kapan juga terakhir aku tidur, sampai lupa aku, Kasih.

Oh iya, Kasih. Bunga teratai putih di kolam taman kesukaanmu masih tetap saja indah meski sekarang tak ada yang mengurus.

Bunganya terus mekar tak mengenal musim. Kesuciannya tak ternodai sama sekali meski air kolam di sekitarnya keruh dan mulai menghitam.

Ia tak perlu mengklaim dirinya lebih suci dari sekitarnya supaya terlihat suci.

Ia malah selalu berbagi keindahan, meski sekitarnya selalu berusaha menodainya.

Ah, andai manusia seperti itu.

Putih tanpa mengitamkan yang lain. Suci tanpa menodakan. Wangi tanpa membusukkan. 

Seperti teratai putih di tengah kolam kecil yang keruh di taman ini, Kasih.

Tapi sepertinya itu mustahil, Kasih. Karena saat ini, supaya seseorang terlihat suci, maka ia harus menginjak-injak kesucian orang lain supaya terlihat lebih keruh dari dirinya.

Untuk terlihat baik setiap orang harus berlomba-lomba menjelek-jelekan orang lain.

Untuk terlihat benar, setiap orang wajib menginjak-injak kebenaran orang lain supaya terlihat sesat.

Supaya wangi, seseorang berlomba-lomba membusuk-busukkan lainnya.

Hemm, manusia memang mengerikan, Kasih. Mungkin karena itu kau lebih memilih berkawan dengan teratai, dengan burung gereja, dengan senja, dengan pekat malam, dengan purnama, dengan mereka yang tidak pernah merasa lebih dari yang lain. Dengan mereka yang selalu menjadi dirinya sendiri. Benar begitu, Kasih?

Bukankah semua memiliki kesucian dan kedudukannya sendiri-sendiri, Kasih?

Ya, kau pernah bilang seperti itu ketika aku membandingkan kesucian teratai putih di atas kolam dengan mawar putih di depan rumah tetangga.

Kau marah ketika aku membandingkan keindahan keduanya.

Dengan tegas kau katakan bahwa mawar dan teratai punya tempat bertahtanya masing-masing.

Kau pun tak terima ketika aku membandingkan keduanya.

Seperti kerikil dan berlian, semua akan mulia pada tempatnya masing-masing.

Tidak perlu membandingkan keduanya mana yang lebih mulia.

Karena keduanya memiliki peran yang berbeda di dunia ini. Seperti itu katamu.

Gerimis rintik-rintik mulai reda. Menyisakan basah di rumput taman yang meranggas.

Suara jangkrik dan belalang mulai nyaring bersahutan. Menyadarkanku bahwa hari mulai petang.

Tidak lama, azan maghrib nyaring dari berbagai penjuru mata angin. Kau dulu sempat kesal dengan suara-suara itu, Kasih.

Kau bilang, ‘katanya Tuhan itu begitu dekat, lebih dekat dari urat nadi manusia. Tapi kenapa setiap menyebut namanya harus berteriak-teriak menggunakan pengeras suara?’.
Ssssttttt, jangan keras-keras, Kasih. 

Jangan sampai kata-katamu itu terdengar oleh mereka para pembela Tuhan ‘sejati’. Bisa panjang urusannya, heuheu.

Kasih, kini aku mulai terbiasa dengan ketiadaanmu.

Toh ketiadaanmu bukan berarti benar-benar tiada.

Aku akhirnya mulai bisa meniadakan diriku untuk menyatu dengan dirimu, Kasih.

Aku merasakan semilir angin sore adalah belaian tanganmu di rambut kusamku yang entah kapan terakhir kali aku mengeramasinya.

Merasakan nyanyian jangkrik dan belalang menjadi lagu Oh My Love-nya John Lennon yang kau nyanyikan dengan bibir tipis nan merona itu.

Aku merasakan pendar sinar senja sebagai pelukanmu yang menghangatkan.

Aku merasakan semua yang ada di sekitarku adalah balasan surat-surat yang aku kirim kepadamu selama ini.

Aku merasakan kau adalah aku. Dan aku adalah kau yang sudah lama tiada, namun sebenarnya ada. Ada, namun sebenarnya tiada. [ ]



Yogya, 14 Desember 2017
Sumber gambar: Pixabay


Komentar