ENTAH kapan pertama kali saya mendengar kalimat
"jadilah diri sendiri", atau biar lebih keren orang-orang menyebut
"be yourself" (manusia memang suka dengan segala sesuatu yang
artifisial).
Karena itu, bertahun-tahun saya mencoba berkelana, menemukan
"diri sendiri" seperti yang dimaksud oleh orang-orang (sok) bijak
itu.
Saya mencari, terus mencari, tapi tak kunjung menemukan.
Semakin hari, semakin banyak juga yang menasihati, jadilah
diri sendiri, be yourself, kun nafsak, tapi tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana saya
bisa menemukan "diri saya sendiri".
Saya bertemu dengan orang liberal, yang selalu menyuarakan
kebebasan individu.
Mereka juga mengatakan hal yang sama, jadilah diri sendiri.
Saya bertemu dengan para motivator di berbagai seminar.
Sama, pesan yang mereka sampaikan, jadilah diri sendiri!
Saya bertemu dengan orang-orang urakan. Mabuk, nyimeng,
semua sudah biasa bagi mereka. Dan yang mereka katakan kurang lebih sama, "ya ini diri
saya, saya hidup bukan untuk kesenangan orang lain, ngapain harus ngikutin
omongan orang lain?"
Saya juga bertemu dengan para "budak cinta", yang
mereka katakan, "ya ini aku apa adanya, kalau nggak suka ya sudah nggak
usah sama aku".
Saya terus bertemu dengan orang-orang dari berbagai kelas
dan latar belakang yang berbeda-beda. Dan yang mereka katakan kurang lebih
selalu sama.
Hingga saya jatuh pada sebuah kesimpulan, bahwa
"menjadi diri sendiri" sudah menjadi sebuah slogan universal yang
telah diamini kebenarannya secara mayoritas.
Masalahnya, saya tak pernah, setidaknya sampai saat ini
belum bisa menemukan "diri saya sendiri".
Saya pernah menjadi anak yang sangat "rajin",
sangat mengutamakan akademik, serta penampilan selalu rapi. Hingga saya sadar,
itu bukan "diri saya", itu adalah representasi dari keinginan
keluarga dan guru-guru saya di sekolah.
Saya pernah sangat rajin ikut berbagai kajian keagamaan,
penampilan saya begitu "nyantri", sampai-sampai saya dikira anak
pesantren, padahal satu-satunya pesantren yang pernah saya ikuti hanya
pesantren kilat.
Hingga akhirnya saya menyadari, itu pun bukan "diri
saya". Semua itu adalah manifestasi dari keinginan saya supaya
terlihat alim di mata orang lain.
Lalu saya masuk ke lingkungan baru, citra yang saya bangun
atas diri saya pun baru. Saya menjadi orang yang seolah kritis, berani,
progresif, dan revolusioner.
Saya mulai membaca buku-buku yang kebanyakan orang
memandangnya tabu. Saya mengkritisi apapun yang ada di depan saya, pokoknya
saya harus beda dengan orang kebanyakan.
Saya membuat tulisan-tulisan yang "kontroversial"
dan "menyimpang" dari pandangan orang kebanyakan.
Saya juga cenderung menunjukkan keberpihakan saya pada
hal-hal yang secara mayoritas dianggap menyimpang, sebut saja komunisme, Syiah,
bahkan sampai Freemason.
Padahal, saya tak tau apapun tentang mereka. Tujuannya?
Supaya beda saja.
Hingga saya sadar, itu semua juga bukan diri saya. Semua itu
sekadar upaya untuk menunjukkan eksistensi diri yang artifisial.
Saya mulai putus asa dalam proses pencarian "diri
sendiri". Hingga saya menyadari, bahwa hampir mustahil seseorang menjadi
diri sendiri.
Kepribadian, sifat, maupun pemikiran seseorang selalu
dipengaruhi oleh faktor-faktor di sekitarnya. Dari lingkungannya,
teman-temannya, buku yang ia baca, film yang ia tonton, ceramah-ceramah yang ia
dengar, teman-temannya di Facebook, atau orang-orang yang ia ikuti di Twitter
dan Instagram, sampai keinginan-keinginan orang lain atas dirinya.
Bahkan ketika masih di dalam kandungan, seorang janin sudah
terpengaruh oleh gen dan apa yang dikonsumsi orangtuanya.
Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi diri sendiri?
Sementara ia adalah konstruk dari semua hal di sekitarnya, dari apa yg ia baca,
ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan?
Akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan yg lebih lanjut,
bahwa orang yang mengatakan "ya ini diri saya, kalau nggak suka ya itu
urusanmu", adalah orang-orang pesimis dan sedang berusaha menutupi
kekurangannya.
Entah dia pesimis atau memang malas untuk
"memperbaiki" diri, sehingga dia sudah puas dengan dirinya saat itu.
Dia merasa sudah sampai pada titik final dalam pencarian "diri", sehingga tidak perlu lagi ada perbaikan. Akhirnya dia tutup-tutupi semua kekurangannya dengan frasa
"diri sendiri".
Nasihat “jadilah diri sendiri” yang sebelumnya saya kira
sebuah pandangan yang prinsipil nyatanya tidak lebih dari sekadar gimmick.
Ya, saya tahu, kesimpulan yang mengecewakan.
Meski begitu, saya membagi soal konstruk tadi menjadi dua
golongan besar. Karena jika mau dijabarkan lebih jauh lagi, sebenarnya bab
ini bisa lebih banyak digali.
Pertama, mereka yang tidak sadar kalau mereka adalah sekadar
konstruk.
Biasanya tipe pertama ini begitu memuja materi. Mereka tidak
sadar kalau sedang menjadi korban modernisasi, globalisasi, tren, atau mode.
Mereka akan cenderung selalu mengikuti tren, gengsi, dan
sebagainya hingga tidak sadar kalau sebenarnya mereka sedang dimanfaatkan oleh
pihak lain, misalnya kapitalisme.
Mereka selalu tergoda dengan embel-embel diskon, promo, dan
sebagainya termasuk label halal yang belakangan justru sekadar menjadi tren
alih-alih sesuatu yang lebih ideologis dan prinsipil.
Meminjam diksi mas Ali Antoni, "buih" merupakan kata
yang tepat untuk mendefinisikan orang-orang di golongan ini.
Buih ini jumlahnya sangat banyak, bahkan paling banyak.
Mereka selalu mengikuti arus dan pada akhirnya akan lenyap tanpa ada guna.
Kedua, mereka yang menyadari kalau mereka adalah konstruk.
Orang jenis ini paham di mana posisinya, karena itu mereka lebih
bisa memilah mana yang baik untuknya dan mana yang tidak perlu ia gunakan.
Mereka lebih bisa mengendalikan Id dan Ego dalam diri
mereka.
Konstruk golongan kedua ini lebih ideologis dan memiliki
prinsip, bahkan ia bisa menentukan dirinya ingin "dikonstruk" seperti apa.
Mereka biasanya berjalan melawan arus mainstream, karena
sadar bahwa di dalam arus mainstream itu hanya berisi buih-buih yang tidak ada
gunanya.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyadur sebuah
hadits, yang setelah saya renungkan ternyata semakin relevan dengan situasi
saat ini.
Meski konteks objek hadits berikut adalah umat Islam, tapi
tampaknya tetap relevan jika dipakai untuk konteks yang lebih luas.
Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu
dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di
atas piring.”
Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu
itu?”
Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali,
tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut
musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit
wahn.”
Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?”
Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR.
Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)
Surakarta, 21 July 19.
22:30
Sumber foto: Pixabay
Komentar
Posting Komentar