MINGGU, 8 Desember 2019. Bus ekonomi Jogja-Purwokerto paling
legendaris: Mulyo, penuh sesak. Tak ada satupun tempat duduk yang kosong.
Bahkan beberapa orang harus rela berdiri karena tak kebagian tempat duduk.
Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Mengobrol dengan orang di sebelahnya, memainkan gawai, mendengarkan musik,
tidur, tak sedikit juga yang sekadar melamun dengan pikiran bergejolak dan tatapan
mata kosong ke luar jendela.
Suara Cholil Mahmud menggema dari earphone yang terpasang di
telinga saya, menyanyikan Hujan Jangan Marah, salah satu lagu ERK favorit saya.
Persis seperti doa saya pagi itu: hujan,
turunnya nanti malem aja ya.
Volume saya kencangkan, enggan mendengar keriuhan di dalam
bus. Saya fokus dengan sebuah buku yang sengaja saya bawa karena sejak awal
memang sudah berniat tak mau ngobrol dengan siapapun di dalam bus.
Beberapa halaman tandas terbaca di tempat dan situasi yang
sebenarnya sama sekali tak layak untuk membaca. Bisa dibayangkan, bagaimana
rasanya membaca buku di tengah kerumunan orang di dalam bus ekonomi yang penuh
sesak. Ditambah, cara Pak Sopir mengemudi sangat tidak santai. Tapi bagaimana
lagi, daripada orang di sebelah saya mengajak ngobrol lebih baik saya paksa
untuk membaca.
Sampai di daerah Temon, Kulon Progo, dari jendela bus yang
kusam tampak bandara baru yang masih dalam tahap pembangunan, meski sudah
beroperasi beberapa bulan terakhir. Masih teringat, di atas tanah yang kini
berdiri bangunan megah itu, beberapa kali saya pernah bermalam di teras masjid
dan rumah warga. Kebun dan pepohonan hijau dulu masih cukup banyak, meski
tinggal beberapa keluarga saja yang masih bertahan di sana.
Tapi sudahlah, saya enggan mengingat masa-masa itu lagi. Ingatan
itu hilang seiring bus terus berlari. Saya alihkan lagi perhatian saya ke arah
buku. Penumpang di samping saya akhirnya tertidur sangat lelap. Puji Tuhan,
saya selamat dari penumpang sok asik dengan pertanyaan-pertanyaan acaknya yang
kerap membuat kesal.
Yogyakarta lewat, bus memasuki wilayah Purworejo. Pemandangan
mengerikan terpampang dari balik jendela. Bukit-bukit yang ada persis di sebelah
utara jalan nyaris habis digerus oleh alat berat. Truk-truk besar berjejer,
siap memindahkan bukit itu ke bandara baru Kulon Progo. Sayangnya bukan sebagai
bukit hijau lagi, melainkan sebagai hamparan tanah rata agar di atasnya bisa
dibangun bangunan-bangunan angkuh ciptaan manusia.
Ya, saya sebenarnya sudah tahu proyek itu sejak sekitar lebih
setahun lalu. Ketika saya lewat di tempat itu setahun silam, pengerukan sudah
mulai dikerjakan, tapi saya tak menyangka sekarang kondisinya semengerikan itu.
Saya lihat orang sekeliling saya, tak ada yang tertarik dengan pemandangan
mengerikan itu. Atau saya yang lebay dan terlalu baper?
Mungkin saja. Beberapa bulan terakhir, saya banyak bertemu dan
bercakap dengan orang-orang yang bergelut di upaya pelestarian lingkungan. Saya
ngobrol dengan Pak Bambang yang merawat setiap pohon dan mata air layaknya anaknya.
Suatu subuh, saya ikut mengamati burung-burung migrasi di muara Kali Progo
dengan dengan sejumlah mahasiswa biologi UNY. Saya berbincang dengan Suster
Mariati yang menyulap lahan gersang menjadi layaknya Taman Firdaus yang sejuk
nan indah. Saya berkeliling hutan Biologi UGM bersama Prof Purnomo dan
mengagumi banyak hal di sana.
Saya bertemu dengan calon mahasiswa Papua dari Mappi,
mendengar mereka bercerita tentang cara mereka berburu rusa dan menjaga
alamnya. Saya berbincang dengan Opu Silvester dari Flores Timur tentang
perjungannya menyelamatkan pohon-pohon beringin dari egoisnya otoritas agama.
Saya bertemu dengan banyak orang-orang mengagumkan lainnya yang membuat umur bumi
ini sedikit lebih lama.
Dari mereka, saya kini selalu terpesona pada setiap pohon
besar yang saya lihat, dengan burung-burung yang hinggap di atas pohon, dengan bunga-bunga
yang bermekaran, dengan serangga, dengan reptil, dan dengan semua hal yang
sebelumnya tak pernah menarik bagi saya.
Saya membayangkan berapa juta mahluk hidup yang dikorbankan
untuk proyek modernisasi itu. Berapa ribu serangga yang mati dan tergusur
karena rumahnya dibabat habis oleh manusia? Berapa ular dan burung yang harus
jadi gelandangan? Berapa juta flora yang dimusnahkan untuk sesuatu yang katanya
“kepentingan umum” itu?
Kepentingan umum? Benarkah? Kenapa justru lebih banyak pihak
yang kepentingannya direbut daripada yang diakomodir?
Berapa mata air yang mati gegara praktik kerakusan itu? Berapa
ton oksigen yang hilang? Apakah kerugian itu pernah dihitung? Apakah kerugian
itu sebanding dengan keuntungan dari proyek modernisasi itu?
Ketika kekeringan, tidak malukah mereka masih memohon hujan
kepada Tuhan? Masih bisa pongahkah mereka menyalahkan iklim? Ketika banjir dan
tanah longsor, masihkah mereka menyalahkan alam dan Tuhan sembari mengatakan “Ini
cobaan Tuhan”. Tuhan tertawa, itu bukan cobaanNya, itu adalah buah dari apa
yang manusia tanam.
Pada siapa pertanyaan-pertanyaan ini harus saya tujukan?
Pada operator alat berat yang sedang mengeruk bukit-bukit itu? Pada sopir-sopir
truk yang mengangkut tanah-tanah itu ke proyek bandara? Ah, tidak mungkin,
mereka sudah terlalu pening memikirkan kebutuhan keluarganya di rumah. Mana
peduli dengan pertanyaan-pertanyaan lebay itu.
Kepada tukang, mandor, atau kontraktor? Ah, mereka juga
sama. Bukankah semua kepentingan yang ada hanya kepentingan antroposentris; yang
hanya berpusat pada kepentingan manusia.
Kepada negara? Hemm, bukankah kita tidak boleh membebani
seseorang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mereka kuasai. Bukankah
negara tidak pernah dibebani untuk memikirkan nasib tumbuhan, hewan, dan alam,
juga rakyat kecil? Bukankah tugas mereka hanya bagaimana agar para elit tetap
bisa kaya dan berkuasa sebagai bagian oligarki? Jadi, saya yang salah ketika
menanyakan masalah-masalah di atas kepada negara. Karena mereka memang tidak
pernah ditugaskan untuk itu. Jadi, tak usah menuntut macam-macam sama negara!
Lalu pada siapa saya harus bertanya? Tuhan? Hemm, saya malu
sedikit-sedikit mengeluh padaNya.
Hari ini, hujan memang tidak marah. Tapi, patah hati ini sangatlah
parah. Entah.
Yogyakarta, 11 Dec. 2019
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus