Exulansis, Sebuah Coretan Harian [2]



CATATAN ini saya buat di sebuah warung kopi: Secangkir Jawa namanya. Jarum jam sudah jauh melewati angka 12, ketika saya, Danang, dan Akbar sudah mulai lelah menertawakan luka dan kesedihan. Tak ada bintang, apa lagi bulan. Pagi semakin dingin, dan kami mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Saya melihat kalender di Laptop, tanggal 25 Januari. Hampir empat bulan saya menetap di Jogja (lagi), setelah memutuskan keluar dari sebuah perusahaan media nasional di Solo dan merintis media sendiri di Jogja.

Hari ini rasanya sangat melelahkan. Pikiran dan perasaan tidak keruan. Siang tadi, liputan saya berantakan. Empat tema liputan yang sudah direncanakan, tak ada satupun yang berhasil saya kerjakan. Bodoh memang.

Saya merasa begitu terpuruk. Merasa sangat kacau akhir-akhir ini. Saya tidak bisa fokus, mudah lupa, dan sangat sepi. Saya merasa menjadi sangat sensitif dengan perkataan dan perlakuan orang lain kepada saya. Jadi mudah marah, dan tersinggung.

Mungkin saya tak akan sekacau ini, andai saja saya tahu apa yang membuat saya begini. Celakanya, saya tak tahu. Bahkan saya tak bisa mendengar suara hati saya sendiri.

Banyak yang ingin saya ceritakan, tapi semesta sepertinya sedang tak ingin mendengar cerita saya. Semesta sedang tidak ramah. Banyak yang ingin saya tuliskan, tetapi pikiran saya tiba-tiba kosong setiap menghadap layar komputer.

Azan subuh berkumandang, Danang dan Akbar sudah terlelap, dan kabut semakin tebal, menghasilkan butir-butir embun di dedaunan. Tuhan, saya boleh istirahat kan? Sebentar saja. Saya lelah. Maaf jika akhir-akhir ini sering mengeluh. Boleh kan, saya tidur di pangkuanMu?

Komentar

Posting Komentar