PERNAH saya punya pikiran yang sangat memalukan, juga menjijikan. Saya pernah iri, melihat mahasiswa lain, melihat teman-teman saya punya cerita romansa yang sepertinya sangat manis. Nonton sama pacar, makan bareng, piknik ke taman atau pantai, malem Minggu selalu diisi dengan bercinta, telfonan setiap malam, dan cerita-cerita sejenisnya. Sementara saya, hampir setengah dekade kuliah, tak pernah merasakan kisah-kisah manis seperti itu.
Sudah tak punya kisah asmara, skripsi juga tak kunjung selesai. Saya justru disibukkan dengan kegiatan-kegiatan aktivisme dan keorganisasian hingga satu per satu teman lulus dan sibuk dengan dunianya masing-masing. Saya sempat menyesal, kenapa tak menjadi mahasiswa 'normal' saja, mengisi waktu luang dengan menjilat dosen dan bercinta dengan pacar.
Suatu saat, di sebuah warung kopi di sudut kota Jogja, saya merenung sendirian. Ketika malam hampir habis, terlintas untuk kembali ke jalan pragmatis; fokus pada akademis dan mulai menjalin hubungan asmara dengan beberapa gadis. Menanggalkan semua kegiatan aktivisme, tak usah lagi kebanyakan protes, bodo amat dengan masalah masyarakat apalagi masalah negara.
Entah berapa cangkir kopi yang sudah saya tenggak saat itu. Hingga azan subuh memberikan saya sebuah kesadaran.
Hidup hanya sekali, dan terserah saya ingin dikenal sebagai siapa setelah mati nanti. Rasanya, hidup yang sekali itu terlalu berharga jika hanya saya isi dengan nafsu dan kisah-kisah perselangkangan. Menjadi tukang protes, saya rasa lebih terhormat.
Surakarta, 2020.
Komentar
Posting Komentar