Corona dan Betapa Rapuhnya Kita


Situasi sekarang menyadarkan saya pada satu hal: betapa rapuhnya kita. Pandemi virus corona baru atau COVID-19 telah mempecundangi kita, manusia modern. Kita dan semua kemajuan modernitas yang selalu kita agungkan kalah telak oleh mahluk yang ukurannya teramat kecil itu.

Jauh lebih kecil ketimbang kawanan nyamuk yang membinasakan Namrud dan kerajaannya. Apalagi jika dibandingkan dengan burung ababil yang menghancur leburkan pasukan gajah yang dipimpin Abrahah.

Kita, sekali lagi bersama semua teknologi mutakhir hasil revolusi industri 4.0, tak berdaya di hadapan corona. Artificial Intelligence tak mampu berbuat banyak. Manusia terus berjatuhan, tumbang tak terselamatkan setiap hari.

Corona menjelma sebagai sosok paling populer, paling sering diperbincangkan, paling sering terdengar namanya dari pojok-pojok warung kopi, angkringan, kafe, tempat ibadah. Namanya selalu disebut-sebut dalam setiap acara talkshow di radio maupun televisi. Hingga menempel lekat di kepala kita, menjelma mimpi buruk setiap malam.

Kita mengalami ketakutan bahkan sekadar untuk bertemu dengan orang asing, jangankan untuk bersalaman, ngobrol saja kita sudah saling curiga. Kita selalu paranoid ketika membuka pintu swalayan, memegang pintu toilet umum, mengambil uang di ATM, atau sekadar membeli gorengan di pinggir Jalan Jogja-Solo. Kita kehilangan kepercayaan pada siapapun, pada apapun. Dan semua karya cipta manusia abad 21, tak mengobati kekhawatiran itu.

Masihkah kita PD menyebut diri sebagai manusia paling modern? Manusia yang sudah berpikir untuk hijrah ke Mars, untuk menghindari kiamat, namun collapse oleh mahluk mungil bernama corona itu.

Corona telah menyadarkan kita, betapa kita sudah terlalu jauh dengan sangkan-paran. Kita terlalu jauh melampau batas-batas kita sebagai khalifah, pengayom dunia. Corona menyadarkan kita, bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Kita butuh tanah, butuh air, tanaman, binatang, udara, api, dan semua yang sudah terlalu lama kita zalimi. Kita sudah terlalu angkuh untuk bisa hidup sendiri.

Corona telah mengingatkan kita, barang siapa yang tahu batasan, maka dia akan selamat. Celakanya sudah terlalu lama kita lupa batasan. Semua ingin kita terobos. Semua ingin kita dobrak. Semua ingin kita kuasai. Semua ingin kita jajah. Semua, semua, dan semua.

Hingga akhirnya, corona datang, menjadi penyelamat semesta sebelum semua dirusak oleh kita. Corona sedang berusaha mengobati ibu bumi yang sedang lara. Yang hutannya dibakar. Yang gunungnya dibabad. Yang air dan udaranya dicemari. Yang tanahnya dikeruk. Yang satwanya dihabisi. Yang manusianya sudah lupa dari mana, oleh siapa, dan untuk apa dia diciptakan.

Siapa yang akan selamat dari wabah mengerikan ini? Bukanlah mereka yang masih bertahan hidup selepas pandemi ini berakhir. Tapi mereka yang sadar, mereka yang mafhum atas kezaliman luar biasa yang sudah dilakukan sekian lama. Mereka yang melihat corona sebagai sebuah tanda, bahwa ada yang tidak beres dengan manusia, dan karena itu mulai mencoba membereskan semampunya.

Tentu tidak ada yang menyangka, apalagi mengharapkan wabah ini terjadi. Semoga situasi tidak semakin kacau karena semua orang tiba-tiba menjelma pakar corona. Semoga kita lekas sadar, kita banyak salah.

Corona, terima kasih. Semesta, lekas sehat kembali.

Yogya, 24 Maret 2020
Gambar: Pixabay

Komentar

  1. Poker online dengan presentase menang yang besar
    ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :D
    WA : +855969190856

    BalasHapus

Posting Komentar