MALAM itu, seharusnya langit Yogya dihiasi dengan purnama penuh. Tapi gumpalan awan hitam yang berarakan seolah melahap sang purnama. Sementara di sudut kota yang mulai bergeliat lagi setelah nyaris mati berbulan-bulan karena serangan virus, seorang pemuda duduk termenung.
Tatapannya kosong, menerawang gelap. Sesekali dia hembuskan napas panjang, melepas sesak yang kian menjadi. Kopi pahitnya sudah dingin, padahal belum satu tegukpun dia minum.
“Galau lagi?” tanya seorang teman yang baru saja datang dengan secangkir kopinya.
“Iya,” jawab pemuda itu.
“Kenapa?”
“Kalau aku tahu kenapa, mungkin aku tidak akan segalau ini”
“Patah hati?”
“Entah”
“Siapa yang membuatmu sampai patah begini?”
“Kekasihku”
“Kekasihmu? Kenapa bisa membuatmu sampai segininya?”
“Karena hanya aku yang menganggapnya kekasih, namun tidak sebaliknya”
“Hah? Maksudnya?”
“Hanya aku yang mengasihinya, tapi dia tidak pernah mengasihaniku. Aku tidak pernah menjadi kekasihnya”
“Dan kamu merasa pengorbananmu sia-sia?”
“Hemm, aku kurang suka dengan istilah pengorbanan. Aku tak pernah menganggap cintaku padanya adalah sebuah pengorbanan”
“Lantas, apa yang kamu sesalkan?”
“Jika memang dia tidak bisa mencintaiku, paling tidak jangan bersikap jahat”
“Jahat bagaimana?”
“Dia bercumbu dengan orang lain persis di depan mataku”
“Kan kau bisa tidak usah melihatnya”
“Tidak bisa. Mereka berdua sengaja selalu mengikuti arah pandanganku”
“Kan kau bisa menutup matamu?”
“Mereka akan mengeraskan suara cumbuannya, sampai desah kenikmatan mereka berdua terdengar jelas di telingaku”
“Aku yakin, kalau hanya itu yang kekasihmu lakukan, kau tidak akan sekacau ini”
“Tepat”
“Lalu, apa lagi yang dia lakukan?”
“Dia selalu berusaha agar aku tetap bodoh, supaya bisa selalu dia bodohi. Dia selalu bilang, menuntutku memberikan lebih, sebagai bukti kalau aku memang mencintainya”
“Apa saja yang dia minta?”
“Semua. Jiwa dan ragaku. Uangku. Tanahku. Bahkan rumahku yang kini mereka jadikan sebagai tempat bercumbu setiap siang dan malam”
“Kan kau bisa menolak untuk menyerahkannya?”
“Kalau aku menolak, aku akan dituduh makar atas cintaku sendiri. Bahkan sedikit saja protes dariku, dia langsung menuduhku macam-macam. Tidak jarang dia dan kekasihnya menyiksaku, memukulku, mengurungku di dalam kamar mandi penuh tikus dan kecoa, saat aku mencoba menuntut hak-hakku, mulutku juga disumpal dengan kain kumal supaya tidak bisa berteriak. Aku sudah dibuat bodoh oleh cintaku sendiri. Berkali-kali aku dibuatnya patah, tapi aku tidak bisa untuk tidak mencintainya”
“Memangnya, siapa nama kekasihmu itu?”
“Negara”
“Negara? Lalu orang yang bercumbu dengannya sepanjang siang dan malam?”
“Oligarki”
Yogya, 13 Juni 20
Gambar: Pixabay
Sial ketipu clickbait sm caption. Kirain udh pilih jln ngepop, jebul podo wae :D
BalasHapusPercuma saya dididik Tribun setengah tahun lbh kalau enggak bisa bikin judul yang clickbait :p
Hapus