Yaa Husein


MUNGKIN tidak ada luka yang lebih perih, ketimbang mengenang bagaimana cucu Nabi, Sayyidina Husein dibantai oleh ribuan pasukan tentara zalim. Tidak ada patah hati yang lebih remuk, ketimbang mengenang bagaimana leher Sayyidina Husein dipenggal, dan dijadikan mainan oleh pasukan Muawiyah. Mungkin tidak ada masa yang lebih kelam, ketimbang masa di mana cucu Nabi, sang Imam, dibantai di padang Karbala, 10 Muharam 60 Hijriah silam.

 

Anehkah, ketika umat Muslim, setiap 10 Muharam mengenang dan merenungi rasa sakit itu? Salahkah mereka yang atas dasar cinta terhadap cucu Nabi, memukul diri sendiri, untuk sedikit merasakan sakit yang dialami Imam Husein nyaris 1.400 tahun silam? Salahkah mereka, yang mencoba meresapi luka yang dirasakan cucu Nabi dan pasukannya, sampai mereka dituding bukan bagian dari Islam?

 

Aneh mana dengan mereka yang merayakan hari raya dengan pesta pora? Salah mana dengan mereka yang merayakan hari raya dengan euforia dan foya-foya? Pernahkah Nabi, dan Islam, mengajarkan pesta pora dan foya-foya? Bukankah sampai Beliau menghembuskan napas terakhirnya di dunia, selalu hidup dengan segala keterbatasan?

 

Hidup di sepetak rumah berukuran 8x4 meter, berdinding tanah liat, dan beratap pelepah kurma, Sang Nabi bahkan kerap mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar. Bahkan menjelang kematiannya, beberapa batu tampak diikatkan diperutnya, tanda bahwa sampai akhir hidupnya Nabi masih menahan lapar.

 

Bukan, bukan karena keterbatasan dan ketidakmampuan. Sebagai seorang pemimpin besar, sangat mudah untuk Beliau hidup bergelimang harta dengan segala gemerlap kemewahan duniawi. Tapi Nabi tidak melakukannya. Dia memilih berpuasa, sepanjang hidupnya.

 

Tapi, bagaimana tabiat orang-orang yang mengaku dirinyalah yang paling menaati perintah Nabi? Bagaimana bisa orang-orang yang mengklaim dirinya palingnyunah justru, tapi hidupnya selalu soal ambisi-ambisi duniawi, soal nafsu-nafsu yang tidak pernah dipuasai. Ah, ampuni kami yaa Nabi. Ampuni kami, Tuhan.

 

Saya teringat perkataan Mbah Mail, suatu sore di sebuah angkringan di sudut kota Yogya. Luka yang paling perih, patah hati yang paling remuk, serta masa yang paling kelam bukanlah ketika Imam Husein dan pengikutnya dibantai di padang Karbala. Luka yang paling perih, patah hati yang paling patah, dan masa yang paling kelam adalah ketika yang haq dan bathil sudah bias, dan manusia tidak bisa lagi membedakannya. Ketika orang-orang tega saling membunuh, demi kebenaran yang mereka perjuangkan masing-masing. Ketika pemimpin tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan menjadi ancaman.

 

Luka yang paling perih, duka yang paling lara, patah hati yang paling remuk, dan masa yang paling kelam adalah saat ini.


Yogya, 29 Agustus 2020

Foto: Pixabay 

Komentar