SEBUT saja namanya Joni. Dia adalah seorang kawan di Jogja, salah satu yang kamar kosnya sering saya tumpangi ketika saya malas pulang seusai liputan. Dia penggemar Superman Is Dead (SID), tapi bukan fans fanatik.
“Hukum di Indonesia memang sudah jadi hukum rimba,” katanya tiba-tiba ketika kami sedang ngopi di sebuah kedai sederhana sembari tatapannya terus mengarah ke layar gawai yang dia pegang. Tentunya dengan bahasa Jawa khas Jogja.
Saya yang juga sedang fokus di depan layar laptop, menghentikan aktivitas jari-jari saya di atas papan ketik. Saya melepaskan sebelah alat pendengar yang tertancap di telinga kiri untuk menyimak pembicaraannya.
“Gimana?” tanya saya mencoba memperjelas yang dia katakan.
“Ini lho, Jerinx, masa cuman masalah IDI kacung WHO divonis 1 tahun 2 bulan. Bener-bener deh, hukum kita udah jadi hukum rimba,” jawabnya.
Saat itu saya baru tahu juga, kalau Jerinx, sang drummer SID itu sudah divonis atas kasus ujaran kebencian yang menjeratnya.
“Lho, kok bisa?”
“Ya mana aku tahu, emang aku hakimnya,” jawabnya ketus sambil ngedumel.
“Bukan, maksudku, kenapa bisa kamu bilang hukum kita sudah jadi hukum rimba?” tanya saya memperjelas maksud pertanyaan yang saya lontarkan tadi.
“Ya lihat saja, Jerinx yang cuman ngomong IDI kacung WHO divonis 1 tahun 2 bulan. Sedangkan kamu lihat, penyiram air keras ke mata Novel Baswedan cuman dituntut setahun. Parahnya lagi, 11 prajurit TNI yang mengeroyok orang sampai mati juga cuman dituntut 1 sampai 2 tahun,” lanjutnya panjang lebar, namun belum menjawab pertanyaan saya perihal hukum rimba.
“Iya, iya. Aku tahu. Yang aku tanyakan, apa korelasinya vonis Jerinx dengan hukum rimba?” tanya saya lagi.
“Dari kasus-kasus itu, kan kelihatan, siapa yang kuat dia bisa membeli hukum. Dia bisa kebal, atau setidaknya membuat hukuman yang dia terima jadi lebih ringan. Persis kayak di rimba, siapa yang kuat dialah yang akan menang, dia yang akan jadi penguasa,” jawabnya mulai geregetan dengan saya.
Saya tak sepakat sebenarnya dengan pendapatnya atau lebih tepatnya dengan frasa "hukum rimba" yang dia pakai. Tapi karena saya keburu dikejar deadline, saya hanya membalasnya dengan senyuman tipis, pura-pura setuju utuh dan seluruh. Daripada obrolan malam itu menjadi perdebatan panjang lebar yang tak berujung, dan pekerjaan saya jadi terbengkalai.
Ya, saya tidak sepakat dengan argumen dia yang menggunakan frasa "hukum rimba" untuk menggambarkan situasi hukum di Indonesia sekarang ini. Sebab, hukum rimba justru merupakan seadil-adilnya hukum. Di dalam rimba, hukum yang berlaku adalah apa yang memang sudah menjadi ketentuan. Rimba adalah tempat di mana hukum berlaku dengan sangat ideal dan teratur. Tentunya sebelum manusia masuk dan merusaknya.
Kehidupan di dalam rimba berjalan seperti apa yang sudah digariskan, sesuai dengan harmoni yang saling berkaitan satu sama lain. Itu kenapa, satu saja elemen rimba hilang, maka keseimbangan di dalam ekosistemnya akan terguncang.
Perihal siapa yang kuat dia yang akan menang, ini juga tuduhan manusia yang keliru. Harimau misalnya, karena merupakan predator puncak di dalam hutan, dia dijuluki sebagai si raja hutan oleh manusia. Padahal, percayalah, dia tidak pernah merasa lebih kuat dari hewan lain di dalam rimba, apalagi menjadi raja atau penguasa hutan.
Harimau hanya menjalankan kodratnya sebagai predator, sebagai pemangsa. Soal dia memangsa rusa, itu bukan karena dia kejam, karena memang takdirya memakan daging, dan rusa adalah salah satu sumber daging di dalam rimba.
Yang jadi pertanyaannya, apakah harimau pernah memakan yang bukan haknya? (Meski di dalam rimba, hewan dan tumbuhan tidak terikat oleh hak dan kewajiban). Jawabannya adalah tidak.
Harimau tidak akan memakan dedaunan yang merupakan hak rusa, gajah, atau belalang. Dia tahu, bahwa itu bukan jatah dia. Sebagai predator puncak, bukan perkara sulit untuknya memangsa apa saja. Tapi harimau (dan tentunya semua penghuni rimba) tidak melakukan itu. Mereka hanya melakukan apa yang menjadi kodrat mereka, apa yang sudah digariskan untuk mereka. Mereka hanya akan mengambil apa yang menjadi hak mereka, dan apa yang mereka butuhkan. Tidak lebih.
Harimau yang kata manusia adalah penguasa rimba, juga tidak pernah menindas ‘rakyat kecil’ penghuni hutan. Harimau tidak pernah menindas semut, lalat, nyamuk, atau kutu yang sebenarnya kerap mengganggunya. Harimau tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk menindas mereka. Itu baru satu pelajaran hukum yang ada di rimba dari seekor harimau.
Kengerian hukum rimba hanya merupakan kegagalan manusia dalam melihat betapa harmonisnya kehidupan rimba. Hukum rimba adalah manifestasi dari seadil-adilnya hukum. Dimana tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, penindasan, diskriminasi, serta subyektivitas dalam penegakannya.
Menyamakan hukum di negeri ini dengan hukum rimba, adalah penghinaan bagi para penghuni rimba.
Yogya, November 2020.
Foto: Pixabay
Komentar
Posting Komentar