MESUM di gunung adalah fenomena yang meresahkan di kalangan pendaki selain sampah, vandalisme, serta membuat keramaian tengah malam yang membuat pendaki lain tak bisa istirahat. Beberapa kali, berita tentang penggerebekan pasangan muda-mudi di dalam tenda sempat meramaikan beranda media sosial.
Terakhir pada Februari silam, beredar video penggerebekan pasangan muda-mudi di sebuah gunung yang sedang mesum di sebuah gunung. Tak hanya digerebek, keduanya juga dipermalukan dengan cara ditarik selimut penutup badan mereka sembari direkam.
“Mesum di gunung memang kurang ajar, tapi nggrebek sambil direkam kayak gitu juga biadab,” kata seorang kawan yang dulu merupakan aktivis mahasiswa pecinta alam (Mapala) salah satu kampus negeri di Yogya. Sebut saja namanya Tokek, semua anak Mapala memang selalu dapat nama lapangan yang aneh-aneh.
Menurut Tokek, tidak ada yang bisa dibenarkan dari kedua pihak, yang menggrebek maupun yang digerebek. Benar bahwa bercinta adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang. Tapi kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu selalu dibatasi oleh kebebasan individu lain.
Tapi itupun menurut dia tidak bisa menjadi dasar sekelompok orang menggerebek, merekam, dan mempermalukan sepasang kekasih yang sedang bercinta di gunung atau tempat umum lainnya.
“Terus harusnya gimana? Okelah, saya perjelas pertanyaannya, bolehkah orang-orang mesum di gunung?” tanya saya. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sering saya terima dari orang-orang setelah mendengar cerita tentang kisah pendakian saya yang sebenarnya hanya beberapa kali.
Tokek menarik napas panjang, sembari mengisap rokoknya yang sudah menyisakan puntung lalu mematikan di asbak yang sudah menggunung. Dia tampaknya akan memberikan jawaban yang panjang lebar. Asap dia hembuskan pelan dari mulutnya, seolah tak ikhlas hisapan rokok terakhirnya terlalu cepat habis.
“Izinkan aku berbalik tanya dulu, apakah mesum selain di gunung boleh?” tanya dia setelah tak ada asap yang keluar lagi dari mulutnya.
“Kalau dasarnya adalah norma dan budaya ketimuran, apalagi dari sudut pandang agama, bersetubuh sebelum sah sebagai suami istri tentu tidak boleh. Di manapun tempatnya,” jawab saya.
“Tepat. Seperti pepatah lama, di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Kita hidup di tengah masyarakat yang berpegang pada nilai dan budaya ketimuran, yang menjunjung ajaran agama sebagai pedoman hidup. Yang tidak membenarkan bersetubuh di luar ikatan pernikahan. Mestinya tak ada lagi pertanyaan, apakah boleh mesum di gunung? Toh di tempat lain pun, perbuatan asusila tidak dibenarkan,” jawab Tokek panjang lebar seperti sedang menceramahi saya.
Bahkan menurut dia, pasangan yang sudah menikah pun tidak selayaknya bersetubuh di gunung, di alam liar. Meskipun di sana tidak ada orang lain selain mereka berdua. Tidak hanya manusia yang yang harus dihormati, alam, baik itu pepohonan, rerumputan, semak belukar, serta hewan-hewan di dalamnya juga harus dihormati.
“Jangan pikir mereka tidak bisa menyaksikan perbuatan asusila yang dilakukan manusia. Mereka juga makhluk hidup, mereka hidup, hanya saja tidak punya mulut yang bisa menegur manusia secara langsung. Tapi jangan salah, jika alam sudah mengutuk, itu sangat mengerikan,” lanjutnya.
Apa yang dikatakan oleh Tokek sangat filosofis. Saya ragu apa yang dia katakan bisa diterima oleh orang kebanyakan, apalagi yang tidak punya pemahaman tentang kepecinta alaman sepertinya. Ditambah dengan semakin masifnya prinsip-prinsip kebebasan, golongan-golongan ‘open minded’ yang biasa menuding orang yang masih berpegang pada nilai agama dan budaya ketimuran sebagai orang kolot dan konservatif.
“Bebas boleh, tapi ya enggak kebablasan juga. Mesum di gunung atau alam terbuka justru tidak memanifestasikan pemikiran yang maju, melainkan sebuah kemunduran peradaban manusia. Berabad-abad peradaban manusia mengalami perkembangan, dari yang dulu bertempat tinggal di hutan, gua, dan sebagainya, melakukan semuanya di tengah alam liar, sampai kemudian mereka menemukan cara untuk membangun rumah dan kamar tidur untuk bercinta. Kalau kita kemudian bercinta di gunung, bukankah kita sudah kembali ke zaman ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu?” lanjutnya.
Tanpa permisi, dia mengambil bungkus rokokku, lalu mengambil satu batang dari dalamnya. Tak lama, asap keluar lagi dari mulutnya.
“Lagian capek-capek naik gunung kok cuman untuk mesum. Banyak hal yang bisa dilakukan dan dinikmati di atas gunung,” lanjut Tokek.
“Misalnya?”
“Paling simpel, makan mi instan, percayalah, tak ada mi instan yang lebih enak dari mi instan yang dimakan di atas gunung. Bisa juga menikmati miliaran bintang-bintang saat malam hari, matahari tenggelam ketika senja, atau saat terbit selepas subuh. Kalau buat orang-orang kayak kamu yang selalu resah karena setiap hari digilas modernitas kota, gunung menjadi tempat yang tepat untuk menikmati kesunyia, untuk berkontemplasi. Karena aku yakin, jomblo sepertimu tak mungkin punya akses untuk mesum, apalagi di gunung,” jawab dia diakhiri dengan ejekan.
“Cangkeman,” jawab saya singkat.
“Satu lagi, gunung adalah tempat yang paling tepat untuk mengingat Tuhan, untuk menyadari betapa kecil dan lemahnya kita. Berapa kali kamu nyaris mati karena kedinginan dan kelelahan di gunung? Di saat itulah kamu akan kembali ingat Tuhan. Saat itu kamu menyadari bahwa semua yang kamu miliki saat ini: kamar kos yang sempit dan pengap dengan kasur yang tipis, nasi telur dan gorengan dingin yang setiap hari kamu makan dari warmindo atau warteg, menjadi sangat berharga. Kamu jadi lebih mensyukuri hal-hal kecil yang selama ini tidak pernah punya nilai,” dia lanjut menceramahi saya.
Benar juga yang dia katakan. Meski mi instan di gunung adalah mi instan terenak, tapi jika pagi, siang, dan malam hari makan itu terus, lama-lama muak juga. Dan nasi telur dengan orek tempe dan sedikit sambal menjadi makanan yang paling saya rindukan.
“Sujiwo Tejo bilang, kalau kita ini kebanyakan pagi, kekurangan senja. Kebanyakan gairah, tapi kurang perenungan. Kita hidup dengan nafsu sebagai pegangan, minim menggunakan rasa dan akal,” kata Tokek.
Yogya, 26 November 2020
Foto: Pixabay
Komentar
Posting Komentar